Chereads / Pernikahan Paksa Gadis Desa / Chapter 31 - Sepiring Berdua

Chapter 31 - Sepiring Berdua

Pria itu mengangguk memaklumi. Ia sudah bekerja lebih dari delapan tahun di keluarga Redho Hilmanata. Redho memperkerjakan pria itu sesaat belum memiliki anak. Ia juga menjadi saksi di mana Laila tumbuh menjadi sosok gadis yang sangat bersemangat dan membuat orang-orang mengaguminya.

Karena sifatnya yang periang dan ringan tangannya, membuat Laila menjadi panutan bagi warga sekitar. Ia juga termasuk kembang desa di desa itu. Apalagi wajahnya yang ayu dan meneduhkan itu membuat lelaki tidak berkedip saat menatapnya. Sifatnya yang mudah bergaul dengan siapapun, mulai dari anak-anak hingga orang tua. Laila tidak pernah memilih-milih untuk berteman dengan siapapun.

"Anak itu, menikah juga. Dulu anak yang masih segini," ucap pria itu sambil mengukur tinggi badan Laila saat masih sepinggangnya. "Sekarang sudah tumbuh menjadi gadis cantik dan sudah menikah. Tak terasa seperti kemarin saja. Laila, semoga pernikahanmu bahagia." Pria itu berbaur dengan yang lain.

Suasana semakin ramai karena kedatangan seseorang itu. Mereka menikmati acara itu dengan saling bertutur kata. Saling melempar canda.

"Acara ini, terasa lama sekali," keluh Hilman yang sedang memegang makanan yang akan diberikan kepada Laila.

Hilman masuk ke kamar pengantinnya. Ia mendapati Laila sedang duduk dan terlihat masih pucat. Karena tidak tega melihat wajah polos Laila, Hilman mengambilkan makanan untuknya. Mulai sekarang ia harus bertanggung jawab untuk menjaga dan mendidiknya. Walau ia masih belum menerima semuanya.

"Ini, makan!" Hilman meletakan makanan itu di meja dekat ranjang. Ia membukakan botol air mineral yang ia bawa bersama makanan dan menyerahkannya pada Laila.

"Terima kasih," ungkap Laila. Ia menerima air minum itu dengan kedua tangannya yang masih lemas.

Hilman duduk di tepi ranjang, membiarkan Laila minum air mineral tersebut. Kemudian Laila melihat makanan di piringnya sangat banyak. Ia terdiam sejenak dan melihat ke arah Hilman.

"Kenapa? Nggak mau makan?" Hilman bertanya pada Laila dengan lirih. Ia tidak tahu kesukaan Laila namun ia mengira Laila akan menyukai ayam goreng itu dan beberapa sayuran.

"Bukan itu masalahnya. Soalnya ini terlalu banyak untukku." Laila menelan ludahnya sendiri. Bagaimana ia bisa menghabiskan makanan itu, sementara kapasitas perutnya tidak sebesar itu.

Hilman menatap gadis itu dengan tatapan aneh. Ia tidak tahu mengapa Laila tidak lekas makan, makanan yang ia ambilkan. Padahal ia sudah mengira, semua orang desa pasti akan senang apabila diberikan ayam goreng. Namun melihat Laila, ia merasa dugaannya salah.

Laila lupa sesuatu. Saat akan minum, biasanya ia berdoa terlebih dahulu. Ia baru ingat ketika ia mau makan, makanan yang dibawakan suaminya.

"Astaghfirullah ... Ya Allah, aku lupa. Bismillahirrahmanirrahim. Allahumma baarik lanaa fiimaa rozaqtanaa wa qinaa 'adzaa bannar. Aamiin." Laila mengambil makanan yang ada di piring itu.

Laila tidak langsung menyuapkan makanan itu ke mulutnya. Ia malah mengulurkan satu sendok makanan itu pada Hilman. Hilman pun tidak menyangka Laila berani melakukan itu. Harusnya itu makanan untuk dirinya sendiri.

"Itu makanan buat kamu, Laila! Aku bisa ambil sendiri!" sergah Hilman yang menolak makanan yang disuapkan padanya.

"Ini kebanyakan, Mas. Aku tidak bisa habisinnya. Kata kakekku, kalau seorang istri menyuapi suami, maka istri tersebut akan mendapatkan pahala dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala," ujar Laila sambil menunggu Hilman menerima suapannya.

"Ngomong apaan, sih? Kamu dari pagi belum makan? Harusnya segitu habis, kan?" tutur Hilman.

"Maka dari itu, kalau tidak makan lama, kita tidak boleh langsung makan terlalu banyak. Perut ini akan sakit kalau langsung makan sebanyak ini. Seharusnya setengah piring ini, sudah cukup," pungkas Laila, memperlihatkan piring yang penuh dengan makanan itu.

Hilman tidak tahu apa yang ada di pikiran Laila. Bagaimana ia bisa mengatakan itu padanya. Laila berbeda dengan Eva yang lemah lembut terhadapnya. Laila lebih terang-terangan mengungkapkan apa yang ada di benaknya. Tidak seperti Eva yang hati-hati dalam ucapannya.

"Kamu ngomong gitu, kayak dokter saja! Lagipula kamu perlu banyak makan. Jangan memikirkan apapun yang tidak perlu! Kamu habiskan makananmu!" Hilman berdiri dari duduknya. Hendak meninggalkan Laila.

Melihat Hilman akan pergi, Laila mencegah dan ia memanggil, "Mas, ayo makan bareng!" Tanpa menunggu lama, Laila kembali mencoba menyuapi Hilman. "Mas, sini aku suapin!" imbuh Laila.

"Akh, kamu, yah," balas Hilman. Namun karena dirinya juga merasa lapar, pada akhirnya pun menerima suapan Laila. Laila tersenyum melihat Hilman mau menerima suapannya.

Hilman lekas tersenyum. Sejenak ia melupakan semuanya. Ia lupa bagaimana keadaan Eva saat ini. Karena ia terhipnotis oleh Laila yang menurutnya sangat lucu dan menggemaskan itu.

Setelah menyuapkan makanan ke Hilman, Laila menyuapi dirinya sendiri. Keduanya sama-sama terkekeh setelah makan satu piring berdua. Laila tidak menyangka dirinya akan bahagia menikah dengan Hilman. Tidak seperti yang ada di bayangannya selama ini.

Laila kira, pernikahannya akan dipenuhi dengan penderitaan seperti kata orang-orang. Namun orang-orang yang berkata seperti itulah yang salah. Maka Laila tidak akan mengikuti orang itu.

"Alhamdulillah," tandas Laila setelah makanan di piringnya sudah habis. Ia sudah merasa cukup kenyang dengan sebagian kecil isi di piring itu.

Bukan Laila yang menghabiskan banyak makanan. Malah kebanyakan Hilman yang menerima lebih banyak suapan dari Laila. Dua suapan untuk Hilman baru satu suapan untuk Laila.

"Sudah habis?" Hilman tidak berpikir kalau makanannya sudah habis. Sebenarnya ia masih merasa kurang. Ia baru makan tadi pagi, sementara sekarang hari sudah sore.

"Alhamdulillah sudah habis. Apa Kamu masih kurang, Mas?" tanya Laila.

"Eh, sudah. Aku sudah kenyang," balas Hilman. Walau belum sepenuhnya kenyang, sekarang ia baru mengingat Eva. Ia harus mencari keberadaan istri pertamanya.

"Kalau sudah, kita berdoa lagi. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahilladzi ath-amanaa wa saqoona wa ja'alanaa minal muslimiin." Laila mengangkat tangannya berdoa setelah Hilman mengatakan sudah kenyang.

"Aamiin," sahut Hilman mengaminkan doa Laila.

Hilman merasakan perbedaan antara dua wanita yang telah menjadi istrinya. Kalau Eva, tidak akan berdoa dahulu sebelum makan. Berbeda dengan Laila yang telah belajar ilmu agama semenjak kecil. Mungkin mereka berbeda satu sama lain. Antara Eva dan Laila, sejatinya saling melengkapi untuk Hilman. Keduanya memiliki keunggulan masing-masing.

Hilman mengingat kalau Laila dari kecil sudah diajari ilmu agama dari kedua orang tuanya. Dulu saat masih kecil, Hilman juga ingat kalau Laila juga pintar mengaji. Dalam hidupnya yang sudah berumur dua puluh tujuh tahun, ia bahkan tidak banyak tahu tentang agama. Ia hidup seakan jauh dari itu.

Semenjak bertemu kembali dengan Laila, kehidupannya pun berubah. Ia berjanji pada dirinya sendiri akan memperlakukan istri-istrinya dengan baik. Apalagi ia sudah berniat akan lebih mendalami agama. Walau tidak begitu dalam, setidaknya ia tahu dasar-dasarnya.

"Aku pergi sebentar, mana piringnya?" Hilman mengambil piring yang kosong itu. "Kamu istirahat dulu di sini!" perintah Hilman. Ia kemudian keluar membawa piring kosong. Ia buru-buru pergi untuk mencari Eva yang tidak tahu berada di mana.

***