Chereads / Pernikahan Paksa Gadis Desa / Chapter 23 - Mandi Di Sumur

Chapter 23 - Mandi Di Sumur

*Flashback*

Laila sangat senang bisa bermain dengan kakeknya. Ia bahkan tertawa lepas saat dalam gendongan Pramono. Pramono menggendong Laila mengelilingi halaman rumahnya.

"Apa Laila senang?" tanya Pramono.

"Senang, Kek. Ayo kita ke sana, Kek!" tunjuk Laila ke arah bukit yang tinggi.

"Ke sana jauh, Laila. Kakek sudah lelah," tolak Pramono.

"Yah ... padahal, kan Laila belum!" protes Laila merasa sedih. Ingin rasanya gadis itu jalan-jalan ke bukit yang terlihat sangat menyenangkan di matanya.

Fattah yang melihat Pramono sudah kelelahan, lantas menghampiri mereka. Tidak ingin terlalu merepotkan Pramono, Fattah hanya ingin orang tuanya istirahat.

"Kamu digendong, mana bisa lelah," ungkap Fattah. "Ayo sama abi! Kakekmu sudah lelah," ajak Fattah pada Laila.

Laila turun dari punggung sang kakek. Namun Laila tidak langsung naik ke punggung Fattah. Ia saat ini tidak minta digendong oleh Fattah. Laila hanya berjalan dan melihat ke suatu arah. Fattah yang penasaran pun mengikuti kearah Laila memandang. Ternyata Laila sedang menatap bukit.

"Iya sudah, kita ke sana, yah!" tunjuk Laila ke arah bukit tersebut.

Fattah mengikuti ke mana Laila menunjuk dengan telunjuk kecilnya. Sebuah bukit yang terlihat hijau, begitu terlihat asri dengan adanya banyak pohon. Bagaikan lukisan alam yang menawan, membuat orang terbuai akan keindahannya.

Di bagian tengah bukit, terlihat air terjun yang sangat indah. Fattah pun tersenyum. Ia bisa saja mengajak Laila ke sana kalau waktunya tepat. Andaikan hari masih siang atau pagi, tentu Fattah tidak menolak permintaan puteri kecilnya.

"Iya, tapi besok pagi saja, bagaimana?" tawar Fattah pada gadis kecilnya.

"Iya sudah. Tidak apa-apa. Ajak kakek juga, yah!" pinta Laila. Laila mengalihkan pandangan ke arah Pramono yang duduk di tikar yang sudah selesai dianyam oleh Fattah.

"Baiklah, besok kita ajak kakek," pungkas Fattah. Ia tersenyum lembut pada anak gadisnya.

Fattah mengajak Laila untuk menghampiri Maisaroh yang sedang duduk dan melihat mereka berjalan. Wanita itu mengembangkan senyum melihat kebahagiaan yang terpancar di wajah suami dan putri kecilnya.

"Ayo, sudah main lari-larinya. Kamu harus mandi." Maisaroh mengajak Laila untuk pergi mandi karena hari sudah menjelang sore.

"Iya, Ummi," jawab Laila patuh. Kalau urusan mandi, Laila sangat senang. Apalagi saat mandi, ia juga bisa sambil bermain air.

Mereka pun masuk ke dalam rumah Pramono. Kedatangan mereka membuat hati Pramono bahagia. Apalagi sudah setengah tahun ia tidak jumpa mereka. Yang paling dikangenin Pramono adalah Laila. Kehadiran gadis itu menjadi hiburan tersendiri bagi sang kakek.

"Laila sungguh lucu. Cucu kecilku ini, semoga memiliki masa depan yang cerah." Pramono bergumam mengharapkan agar Laila tumbuh menjadi gadis yang baik. Baik secara hatinya dan baik dalam hidupnya. Tidak ada masalah yang sulit untuk dia hadapi.

Pramono mengikuti langkah Fattah, Maisaroh dan Laila. Ia cukup berjalan di paling belakang untuk melihat punggung mereka.

Air di desa sangat melimpah ruah di desa tersebut. Itulah mengapa orang-orang desa tidak khawatir kehabisan air. Pramono sendiri memiliki sumur yang sudah lama digali. Sudah puluhan tahun semenjak Pramono masih muda.

"Ummi, kita mandinya yang lama, yah," usul Laila. Gadis kecil itu sangat senang karena bisa merasakan mandi air dingin di belakang rumah.

"Iya, Laila ... jangan lama-lama. Kasihan sama abi dan kakek kamu. Nanti mereka tidak mandi-mandi," celetuk Maisaroh.

"Biarin mereka, Ummi. Laila ingin mandi yang lama. Biar badan Laila bersih. Kata abi, kebersihan itu sebagian dari iman, kan? Laila ingin seperti yang dikatakan abi." Laila nampak lugu mengatakan hal itu pada Maisaroh.

"Kamu jangan gitu, lah. Laila kan anak baik, jadi nggak boleh bikin orang tua repot. Kamu harus nurut sama orang tua."

"Iya, Ummi." Laila menarik tangan Maisaroh untuk cepat-cepat menuju ke sumur.

"Pelan-pelan, Nduk." Maisaroh yang ditarik Laila pun hanya bisa menurut. Tangannya terbawa Laila berlari. Padahal Maisaroh bukan wanita yang bisa lari dengan cepat. Apalagi dirinya memiliki riwayat penyakit jantung yang dideritanya. Membuatnya tidak bisa sebebas itu.

Maisaroh sendiri juga merahasiakan semuanya sendiri. Kesalahannya sendiri yang menerima lelaki seperti Fattah. Walau sebenarnya Maisaroh adalah anak seorang yang berada. Hanya saja ia menikah dengan Fattah tanpa ada restu orang tuanya.

Karena cintanya pada Fattah, membuat Maisaroh dibenci dan diusir oleh keluarga. Bahkan dirinya telah dicoret sebagai anggota keluarga. Untuk menutupi penyakit yang dideritanya, Maisaroh biasanya menghindar dari Fattah. Apalagi saat sakit jantungnya kambuh.

Saat ditarik oleh Laila, sakit itu terasa. Maisaroh sangat menderita dan mau tidak mau harus menutupinya. Ia memegang dadanya yang terasa nyeri. Dan itu diketahui oleh Laila.

"Ummi kenapa? Dada ummi sakit? Mau Laila pijitin, Ummi?" tanya Laila polos. Anak sekecil itu tidak tahu rasanya mengalami sakit yang diderita Maisaroh.

"Tidak apa, Nduk. Ayo mandi!" ajak Maisaroh. Ia terus berjalan ke belakang rumah untuk mandi.

"Ummi kenapa?" tanya Fattah yang melihat Maisaroh yang masih memegang dadanya.

"Tidak apa-apa, Abi. Ummi sedang agak capek. Bisa minta tolong timbain air di sumur, enggak, Bi?" tangkas Maisaroh.

"Oh, iya sudah, Mi. Abi yang timbain air untuk kalian mandi," pungkas Fattah. Fatah mendahului Laila dan Maisaroh. Ia ke belakang rumah untuk menimba air sumur.

Sumur itu terletak di belakang rumah. Ditutupi dengan pagar yang mengelilingi sumur itu. Maisaroh pun akan merasa aman kalau mandi di tempat tertutup. Karena sumur itu dikelilingi pagar yang rapat tanpa ada celah untuk mengintip. Apalagi tempat yang jauh dari pemukiman, tidak banyak orang yang pernah datang ke rumah Pramono.

Fattah menimba air sumur dengan timba manual. Masih menggunakan ember yang diikat dengan seutas tali.

Laila dengan sabar menunggu Fattah yang memindahkan air sumur ke sebuah tempat gentong terbuat dari tanah liat. Ada beberapa gentong yang diisi oleh Fattah.

"Ayo Abi! Abi ... Abi ... Abi ... Abi." Laila memberi semangat pada Fattah agar Fattah terus menimba dengan semangat.

Dan benar saja. Karena teriakan Laila, membuat Fattah semakin semangat. Ia menimba lebih cepat dan memenuhi semua gentong dengan air.

"Sudah, ayo mandi!" ajak Maisaroh pada Laila. Masih terasa sakit di dadanya, Maisaroh mengajak Laila mandi.

Maisaroh masuk dan menutup pintu kamar mandi atau sumur. Sementara Fattah kembali ke depan. Ia harus mengambilkan handuk untuk Laila dan Maisaroh.

"Laila, jangan main air! Ayo buka bajumu!" perintah Maisaroh. Ia membuka kerudungnya. Namun ia tidak membuka pakaiannya. Ia hanya membuka celana dalamnya. Karena Maisaroh memakai pakaian longgar yang tidak memperlihatkan lekuk tubuhnya.

Laila dan Maisaroh mandi bersama di sumur itu. Sementara Fattah membawakan handuk dua besar untuk Maisaroh. Dan satu handuk kecil untuk Laila.

"Asik ... ayo Abi ikutan mandi," ajak Laila.

"Tidak, Nduk. Kamu sama ummi duluan. Nanti abi," balas Fattah. Ia melihat Maisaroh sedang mengguyur tubuhnya dengan air. Juga melihat Laila yang dengan polosnya menyiram air ke kepalanya. Membasahi rambut panjangnya. Seketika senyuman terlukis di bibir Fattah.

"Apa, Abi?" tanya Maisaroh yang melihat gelagat Fattah yang memandangnya penuh arti. "Ayo Abi mau ngapain? Ada Laila, lho," goda Maisaroh. Ia tahu apa yang ada di pikiran suaminya. Namun ia harus menahannya sampai nanti.

"Iya, Ummi. Abi yang sabar. Abi keluar dulu, Ummi. Ayo Laila, mandinya yang bersih," ungkap Fattah, meninggalkan Laila dan Maisaroh.

"Iya, Abi." Laila tersenyum dan memakai sabun mandi.

***