Chereads / Pernikahan Paksa Gadis Desa / Chapter 24 - Kabar Kecelakaan

Chapter 24 - Kabar Kecelakaan

*Flashback*

Seperti janjinya, Fattah pun mengajak Laila untuk naik ke atas bukit. Mereka berangkat pada keesokan harinya. Pagi hari setelah sarapan, mereka bergegas menuju ke atas bukit.

"Laila, pelan-pelan!" ucap Maisaroh mengingatkan.

Gadis kecil itu kadang berlari karena ingin segera sampai. Namun yang namanya anak-anak, Laila seakan tidak menggubris peringatan dari Maisaroh.

"Sudahlah, namanya juga anak-anak," sahut Pramono. Ia malah tersenyum, melihat Laila yang aktif.

"Iya, Bapak." Wanita itu mengangguk. Ia membiarkan Laila berlarian bersama Fattah.

"Ayo, Abi. Kejar Laila!" tantang Laila.

"Hemm ... awas kamu, yah!" seru Fattah. Ia pun mengejar Laila.

Senyuman bahagia terlukis di bibir Maisaroh dan Pramono. Mereka dikelilingi oleh Laila yang berlari mengitari mereka.

Mereka berjalan menyusuri jalan setapak. Setelah berjalan setengah jam, baru Laila merasa lelah. Ia lelah karena berlarian kesana-kemari. Fattah menggendong Laila yang kini sudah tidak mau jalan kaki.

"Ummi bilang juga apa?" ungkap Maisaroh. Melihat putrinya yang menyerah juga.

"Iya kan ada Abi. Iya kan, Abi?" tanya Laila polos. Ia melihat ke arah Fattah.

"Kamu dengerin apa kata ummi!" balas Fattah.

"Hihihi ..." kekeh Maisaroh karena telah dibela suaminya.

"Huhh ... kalian jahat," keluh Laila ngambek. Menampilkan wajah yang cemberut.

"Sudah-sudah. Kan kita sedang naik gunung. Lebih baik, kamu coba sholawatan, Laila! Kakek mau denger," pinta Pramono pada Laila. Pramono sangat suka kalau mendengar Laila yang bersholawat.

"Ayo, Nduk. Kakek kamu pengen sholawatmu," imbuh Fattah. Setidaknya kalau Laila menyanyi, menjadi hiburan bagi mereka, di tengah hutan tersebut.

"Nggak mau! Soalnya pada jahat ke Laila!" protes Laila. Malahan gadis itu menjulurkan lidahnya ke Fattah. "Wek."

"Iya deh, kami nggak akan ulangin lagi. Tapi coba tunjukin sholawat Kamu ke kakek. Kan Laila anak yang baik dan cantik," puji Fattah, mencoba membujuk Laila.

"Baiklah ... Laila mau." Akhirnya Laila mengalah. Dia memang suka dengan bersholawat. Apalagi yang telah diajarkan oleh Maisaroh padanya.

Mereka sudah sampai setengah perjalanan. Hanya perlu berjalan satu jam lagi, mereka akan sampai di air terjun. Laila yang masih dalam gendongan Fattah, mulai menunjukkan suara indahnya.

"Allahul kaafi robbunal kaafi. Qashadnal kaafi wajadnal kaafi. Likullin kaafi kafaa nal kaafi. Wa ni'mal kaafi alhamdulillah."

"Masha Allah, suaramu merdu sekali, Laila," puji Pramono.

"Iya, Kek. Terima kasih," sahut Laila. Gadis itu menyunggingkan senyum karena telah dipuji.

"Ayo lanjutkan, Laila," pinta Fattah.

"Allahul kaafi robbunal kaafi. Qashadnal kaafi wajadnal kaafi. Likullin kaafi kafaa nal kaafi. Wa ni'mal kaafi alhamdulillah. Jalan-jalan ke puncak gunung. Indah ciptaan Maha Agung. Ummi, Abi janganlah bingung. Punya Laila sungguh beruntung."

Laila bersenandung sambil tersenyum. Fattah dan Maisaroh tersenyum karena Laila bernyanyi begitu imut. Pramono pun tidak menyangka, anak itu bisa menyanyi seperti itu.

"Lanjut, Laila," pinta Maisaroh lembut.

"Allahul kaafi robbunal kaafi. Qashadnal kaafi wajadnal kaafi. Likullin kaafi kafaa nal kaafi. Wa ni'mal kaafi alhamdulillah. Lihat pohon daunnya menari. Memanggil kita melambai-lambai. Alangkah senang hati ini. Semua sayang Laila Fatihani."

Mendengar itu, semua terkekeh. Tidak menyangka, gadis kecil itu pandai membuat lirik sendiri. Memiliki kreatifitas di usianya adalah hal yang bagus.

"Laila pintar sekali," puji Pramono.

"Lanjut, Sayang," imbuh Fattah.

"Hemm enggak, Abi. Laila capek ...," keluh polos Laila.

"Baiklah, kita istirahat di sini dulu, yah?" ajak Fattah pada semuanya. Fattah menurunkan Laila ke bawah.

"Baiklah, Abi," jawab Maisaroh. Ia membuka tas yang berisi minuman. "Ini minum dulu," kata Maisaroh menyerahkan minuman yang ada di botol pada Fattah.

Mereka semua menikmati pemandangan dari atas. Melihat bagian lembah yang indah. Sesekali Laila harus digendong oleh Fattah karena kecapean. Perjalanan mereka berlangsung sekitar tiga jam. Sampai akhirnya mereka sampai di air terjun.

"Indah sekali Abi, Umi, Kakek!" seru Laia. Ia sangat senang, keinginannya telah terkabul. Maka ini sudah cukup untuk Laila meminta sesuatu yang menggembirakan.

Laila merasa sangat bahagia ketika melihat pemandangan yang belum ia lihat sebelumnya. Ia sangat senang karena bisa sampai di tempat yang sangat indah dan belum pernah ia kunjungi.

***

Hari demi hari, mereka habiskan bersama. Tepat seminggu, Laila berada di rumah Pramono. Rasanya Laila sangat bahagia tinggal bersama Pramono. Apalagi Pramono sangat baik padanya. Fattah dan Maisaroh pun merasa senang, Laila yang riang dan selalu semangat.

Letak rumah Pramono dan rumah Fattah berjarak lima kilometer sehingga mereka berniat untuk menginap lebih lama, atau berniat menjaga Pramono.

Di hari ke tujuh itu, Laila bersama Maisaroh tengah berada di pelataran rumah. Laila sedang belajar berkebun dengan Maisaroh. Hari itu Fattah sedang keluar membeli pupuk dengan membawa motor tua milik Pramono.

Siang itu langit sedang mendung. Tampak awan menutupi matahari. Seorang lelaki paruh baya tiba-tiba berlari dengan ngos-ngosan ke rumah Pramono.

"Assalamualaikum!" teriak lelaki itu dengan nafas ngos-ngosan.

"Waalaikumsalam warahmatullaah ... maaf, tapi mas Fattah dan bapak nggak ada di rumah," sahut Maisaroh.

"Eh ... bukan itu. Hosh ... hosh ... hosh ... itu ... Fattah-"

Suara lelaki itu tertahan karena terlalu lelah berlari. Lelaki itu bernafas tersengal sehingga ia terlebih dahulu menyiapkan diri untuk mengatakan apa yang harus ia informasikan.

Maisaroh melihat nafas lelaki itu ngos-ngosan, segera mengambil air bening dan memberikannya pada lelaki itu. Maisaroh tidak perlu mengambil di dalam karena ia sudah membawanya untuk ia dan Laila minum. Untungnya ia belum minum dari gelas itu. Jadi ia memberikan air dengan gelas tersebut.

"Ini minum dulu, Pak," ucap Maisaroh. Ia menyerahkan air kepada pria itu.

"Terima kasih," ucapnya menerima air itu dan langsung menenggaknya.

Maisaroh tidak langsung menanyakan maksud kedatangan lelaki itu. Ia tahu lelaki itu sangat lelah, jadi ia tidak berani menanyakan kedatangannya.

"Huhh ... ini soal suamimu, Fattah." Pria itu berhenti berbicara. Ia tidak mau terburu-buru karena ia takut, Maisaroh akan kaget karena ucapan yang tiba-tiba.

"Kenapa dengan suamiku?" tanya Maisaroh yang merasa heran. Yang ia ingat, suaminya sedang membeli pupuk untuk kebunnya. Mengapa ada orang yang mengabarinya? Maisaroh pun dibuatnya penasaran.

"Itu suamimu ... kecelakaan motor," ungkapnya dengan suara parau.

"Innalilahi ... Ya Allah," sebut Maisaroh panik. " Apakah dia baik-baik saja?" tanya Maisaroh. Ia merasa khawatir jika terjadi sesuatu dengan suaminya.

"Tidak, Mbak. Dia mau dibawa ke rumah sakit. Tetapi mungkin belum ada kendaraan lewat."

"Subhanallah ... Ya ... Allah ..." keluh Maisaroh sambil memegang dadanya yang terasa sangat sakit.

"Kamu kenapa, Mbak?" tanya lelaki itu panik. Ia tidak tahu mengapa wanita itu terlihat tidak baik-baik saja. Ia menyangka karena syok, jadi merasa sedih.

"Mas Fattah ... Ya Allah ... kenapa kamu, mas?" keluh Maisaroh. Ia merasakan dadanya sangat sakit. Membuatnya meneteskan air matanya.

"Mbak?" panggil pria itu. Ia menjadi serba bingung dengan kejadian seperti ini. Bingung harus berbuat apa.

"Ada apa ini?" Tiba-tiba Pramono muncul. Ia tidak tahu apa permasalahan yang terjadi.

***