Sebuah kereta kuda berpacu dengan cepat. Dua ekor kuda meringkik keras. Melaju berkecepatan tinggi. Roda dalam kereta kuda berputar tanpa henti. Goncangan kecil muncul akibat jalan berlubang di sekitar. Mengakibatkan Marc mengendarai kereta kuda dengan hati-hati. Di sampingnya, Alexis mengamati di depan matanya. Begitu lengang dan tidak ada tanda-tanda monster di sekitarnya. Melintasi jalan hutan belantara. Bahkan, mereka harus menghadapi hewan seperti lebah berukuran manusia dan slime secara gantian. Karena kereta kuda melaju dengan cepat, Allen yang mengambil bagian. Dua pistol revolver ditembakinya. Mengenai sekumpulan lebah maupun slime. Sengaja kereta kudanya tidak berhenti di tengah jalan. Keempat anggota yang dipimpin Alexis harus mengenal betul kekuatan yang dimiliki para otherworlder. Untuk saat ini, Allen yang memperlihatkan ketangkasan dalam menembak. Menyisakan ketiga remaja yang duduk selonjoran.
Quest kali ini memiliki dua tugas yang harus diselesaikan. Yaitu membunuh 50 ekor serigala beserta investigasi sebuah bangunan menara kembar. Dipimpn oleh Hiro Sakaki dan Alexis memulai perjalanannya menuju pedalaman Desa Lancaster. Demi mendapatkan pengalaman baru dalam, Alexis beserta anggota party-nya membiarkan kelompok Hiro yang mengambil bagian untuk berburu.
Sementara itu, Fan sangat terkesan dengan tembakan Allen. Hingga pria tua berambut putih menjelaskan senjata yang dimilikinya. Tanpa menyembunyikan apapun. Di usia Allen yang sudah menginjak 63 tahun, dengan tenang dapat mengalahkan monster melalui sekali tembakan. Daya serangan yang ditimbulkan oleh pria tua berambut putih, sama persis dengan serangan jarak jauh Marc walau beda tipe senjata.
Mereka berencana untuk istirahat terlebih dahulu. Tetapi, waktunya tertunda oleh sekumpulan monster berupa beruang berukuran raksasa. Kini, giliran Yumi, Rina, dan Hiro mulai bertarung secara serius. Allen berjaga-jaga menodongkan pistol revolver apabila melewati ketiga remaja itu. Hiro mengayunkan pedang Great Sword miliknya. Hentakan pedangnya menghancurkan sebagian besar tanah yang ada di depan pemuda berambut coklat. Yumi dan Rina saling bekerja sama dan mencari cara untuk mengalahkan beruang raksasa. Makhluk itu menerjang Rina. Gadis berambut panjang dengan tenang, mencengkram tongkatnya. Mengayunkannya tepat mengenai bola mata beruang tersebut.
Job Rina sendiri merupakan summoner, yang berawal dari permintaan gadis berambut panjang untuk memunculkan Yumi. Sedangkan Job gadis ponytail adalah Priestess. Walau demikian, kemampuan bisa berganti menjadi Monk jika situasinya terdesak. Hiro masih berkutat pada teknik pedang walau berganti jenis senjatanya. Tidaklah mengherankan job Swordsman begitu jelas. Anehnya, Fan tidak bisa menilai kemampuan Allen. Seandainya ada sebuah pilihan yang mendekati, jatuhnya ke job Archer. Tetapi itu tidaklah mudah. Allen tidak menyukai hal-hal berkaitan dengan busur atau anak panah. Sampai pria tua berambut putih diejek oleh teman-teman anggota party-nya.
"Bagaimana kalau kita namakan job Howdy Boy?" usul Hiro nyengir.
"Janganlah, Hiro. Dia kan pakai senjata ala koboi barat. Jadi mana mungkin dipanggil Howdy Boy," cibir Rina.
"Benar juga."
"Kalian ini. Mau sampai kapan mempermainkan job milikku?" gerutu Allen menahan rasa malu.
Ketiga remaja itu terus tertawa terpingkal-pingkal mengejek job milik Allen. Puas mengejek pria tua berambut putih, Hiro dan Rina beristirahat sejenak setelah mengambil drop item untuk bisa dijual. Sedangkan Allen berjaga-jaga untuk memasang perangkap, berupa dua buah kayu yang diikat dengan tali. Sedangkan Alexis meminum potion berwarna biru. Menambah energi sihir yang ada dalam tubuhnya. Rasanya pahit di pangkal lidah.
Tiba-tiba, muncullah lima ekor serigala bertanduk melompat dari hutan. Kedelapan orang mengeluarkan senjata masing-masing, bersiap untuk menyerang. Rina mengayunkan tongkat Suara hentakan terdengar hingga ujungnya bersentuhan di tanah. Saat serigala bertanduk menerjangnya, tongkat milik gadis berambut panjang diayunkan dari arah samping kanan. Gaya ayunan Rina mirip dengan salah satu pemain golf. Fan maupun Alexis memiringkan kepala, menandakan tidak mengerti dengan serangan dari gadis tersebut.
"Akhirnya aku dapat melepaskan stress juga," ucap Rina menyeringai bernada tinggi.
Satu persatu, Allen maupun Yumi melancarkan serangannya. Dimulai dari tembakan dua butir peluru mengenai kepala serigala bertanduk. Serta gadis rambut ponytail melepaskan sebuah pukulan ke arah mereka, sampai kepala mereka penuh berlumuran darah. Rombongan serigala yang tersisa memilih melarikan diri. Hiro berlari kencang, menghentakkan kedua kakinya dengan suara sepatu besinya berbunyi. Pemuda berambut coklat tidak membiarkan mereka kabur begitu saja. Ayunan Great Sword dari Hiro, mampu menebasnya dengan cepat secara horizontal. Kepala mereka melayang di udara. Sedangkan badan serigala bertanduk tersungkur di tanah beserta bercucuran darah. Hiro menarik napas panjang, menyarungkan pedang besarnya. Langkah kaki kanan pemuda berambut coklat berjalan untuk menguliti kulit serigala bertanduk. Dan diambil tanduknya sebagai barang bukti. Sedangkan serigala yang terkena tebasan, digorok lehernya sampai darah mengalir di tanah. Yang ada malah cipratan darah mengenai wajah Hiro beserta baju zirahnya. Setelah itu dia membuka [Inventory], mengusapnya dengan handuk basah. Setelah perburuan serigala berakhir, mereka melanjutkan perjalanan.
"Ngomong-ngomong, aku ingin bertanya kepada kalian berempat. Kalian punya hubungan apa satu sama lain? Padahal kalian tidak memiliki hubungan darah sama sekali," tanya Alexis.
"Bagaimana menjelaskannya ya … kebetulan saja kami memiliki memiliki tujuan yang sama. Jadi kami memutuskan untuk membuat party bersama-sama. Rina, Yumi dan Allen adalah para survivor party sebelumnya. Sedangkan aku sendiri baru memulai petualangan pasca memutuskan untuk berkelana," jawab Hiro berbohong.
"Lagipula, pemuda ini berasal dari selatan. Tentu saja Hiro baru memulai perjalanan karena kemampuan pedangnya semakin tajam. Dan kepala desa menyarankan untuk bertemu denganku dan dua gadis ini."
"Walau baru pertama kali?" tanya Fan menaruh rasa curiga terhadap keempatnya.
Sebuah anggukan dari kepala Hiro. Berusaha menepis reaksi mencurigakan dari pertanyaan Fan. Menyimak penjelasan dari Hiro dan Allen. Gestur pemuda berambut coklat nampaknya tidak lantas percaya begitu juga. Fan meyakini, keempat orang tersebut sedang menyembunyikan sesuatu. Mata merahnya melotot tajam pada wajah Hiro. Keringat dingin membasahi pemuda berambut coklat. Mata Hiro terus melirik ke samping kiri. Bibirnya digigit. Enggan bertatap muka dengan Fan yang masih terus mencurigainya. Ketika gadis bermata merah itu melontarkan sesuatu, dengan cepat Ronald menadahkan tangan kirinya.
"Fan, hentikan. Mereka punya masalah yang tidak mau diungkapkan oleh siapapun. Kita tidak berhak untuk ikut campur."
"Kenapa, Ronald? Sudah jelas dia itu—"
"Aku tahu apa yang kau pikirkan, Fan! Tapi cobalah hargai privasi mereka. Aku yakin, Hiro dan kawan-kawan berbohong karena tahu ada suatu peristiwa yang membuat kita sukar dipercaya. Benar begitu bukan Hiro?" ucap Marc tanpa menoleh sedikitpun.
"Begitulah. Karena … masa laluku agak suram."
"Nah betul kan kataku? Jadi jangan memaksakan sesuatu yang bukan ranah kita. Lagipula, jika mereka berbohong, memangnya apa yang salah? Selama mereka bisa jalani quest dengan sungguh-sungguh, pasti mereka percaya pada kita. Yang paling penting sekarang, tidak saling berkhianat itu sudah cukup bagi kami. Benar begitu, kan?" ketus Marc.
Fan memalingkan wajahnya. Dia terhenyak dengan perkataan Marc maupun Ronald. Fan tahu, memaksakan sesuatu hingga bercerita layaknya orang lagi masalah itu tidaklah sopan. Helaan napas panjang keluar dari mulutnya. Fan membungkukkan badannya.
"Maafkan aku telah bersikap kurang ajar."
"Tidak apa-apa. Aku paham maksudmu baik. Tapi … kami berempat berusaha bangkit supaya bisa move on dari masa lalu kami," ujar Hiro menurunkan kepala.
Di samping itu, Fan menatap tajam pada Marc dan Ronald. Kedua prajurit New Germany memalingkan wajahnya. Takut gadis bermata merah ngambek. Yang lebih kesal lagi, Alexis tidak menunjukkan rasa bersalah sama sekali. Dia malah sibuk mengibaskan rambutnya atau menyisir rapi. Pemuda berambut coklat melengkung mencairkan suasana di tengah situasi suram.
"Tumben sekali Marc kau mengatakannya dengan bijak. Aku jadi iri," cibir Alexis.
"Kau mengejekku ya Alexis? Habis, mereka berempat ini punya masa lalu yang tidak bisa disampaikan kepada siapapun. Aku ingat betul reaksi mereka itu," ujar Marc bernada dingin.
Alexis bergumam panjang. Mencerna perkataan dari Marc. Suasana kembali mencair. Tiupan angin berhembus kencang, menusuk ke dalam pori-pori kulitnya. Meski cuaca masih siang bolong, tetap saja hawa di udara begitu dingin. Fan menggosokan anggota badannya.
"Dingin sekali," keluh Fan.
"Padahal siang begini. Tapi kenapa terasa dingin sekali ya?"
"Apa karena cuaca di sini susah diprediksi ya?" celetuk Yumi.
"Bisa jadi. Aku tidak mengerti secara logisnya. Setahuku, musim gugur maupun dingin pasti hawanya dingin di luar sana. Tapi ini malah sebaliknya."
Mulut Yumi berhembus mengenai kulit mulus putihnya. Berkali-kali dia usap hingga suhu tubuh mulai hangat. Allen merogoh sesuatu dari sakunya. Pria tua berambut putih menyodorkan sebuah coklat berbatang pada Yumi. Gadis ponytail menerima makanan darinya. Mengucapkan terima kasih pada Allen. Fan mengerutkan kening.
"Bukannya itu coklat?" tanya Fan.
"Ini pertama kalinya kau melihat coklat dalam bentuk batang. Biasanya, aku sama Alexis sering minum coklat panas.
"Sebenarnya, dua-duanya sangat bagus untuk kesehatanmu. Baik untuk kondisi psikologismu dan menghilangkan rasa kecemasan berlebihan," ucap Allen.
Fan mengangguk-angguk mengerti. Allen pun memberikan satu batang coklat lagi untuk gadis bermata merah. Dia menerima pemberian pria tua berambut putih, mengunyah coklatnya berkali-kali hingga ditelan ke dalam kerongkongan. Rasanya begitu manis dan nikmat.
"Bagaimana rasanya?"
"Enak sekali. Bolehkah Aku boleh minta lagi tidak?" kata Fan memasang muka melas.
"Kau ini benar-benar suka coklat, ya."
"Teman-teman! Sepertinya kita sudah sampai nih!" kata Ronald berteriak dari kejauhan.
Jari telunjuk Ronald diacungkan pada sebuah desa. Tepatnya di barat laut. Hiro, Yumi, Rina dan Allen menyipitkan kedua mata mereka. Beberapa rumah dan penjaga mulai terlihat. Beberapa orang sedang mencangkul ladang dan menaburkan benih tanaman ke dalam tanah secara bergantian. Ada juga mengangkut barang berupa daging atau mentahan besi. Keduanya saling gotong royong untuk mendorong barang. Sekumpulan sapi dan kerbau sedang membajak sawah, mendorong traktor. Beberapa petani memecut berkali-kali sapi dan kerbau. Salah satu pekerja menggotong tiang besi. Keringat membasahi kedua pipinya. Dibantu anak-anaknya, yang terlihat ingin meringankan beban orang tua dengan memikul barang yang bisa dibawa. Semua orang bekerja keras demi mendapatkan hasil yang terbaik. Ada juga sekelompok orang sedang menenteng tombak tajam dan busur panah dari kayu. Sedangkan kelompok lainnya mengikat kaki seekor babi dalam keadaan sudah tidak bernyawa.
Marc memecut tali pelana untuk berbelok ke kiri. Bertuliskan 'Selamat datang di Desa Lancaster'. Yumi, Rina, Hiro dan Allen takjub warga Desa Lancaster yang penuh semangat. Terutama anak-anak yang membantu kedua orang tuanya dengan mengangkat barang secara gotong royong. Bagi Alexis dan Fan, hal itu sudah menjadi umum. Karena sejak kecil, mereka dididik untuk bisa mandiri. Setelah menginjak usia remaja, mereka diperbolehkan memilih pekerjaan yang disukai. Tetapi pilihan anak kadangkala tidak direstui oleh orang tua. Meski pada akhirnya anak itu bersikukuh meninggalkan desa, tetap saja tidak kabar sama sekali membuat orang tua was-was. Menunggu bertahun-tahun untuk bisa pulang. Mereka berharap anak laki-lakinya akan meneruskan usaha keluarga menjadi prajurit yang mengabdi ke istana kerajaan atau kekaisaran. Sebaliknya jika anak itu perempuan, maka mereka ikut dalam seleksi untuk menjadi seorang pelayan. Atau dijodohkan dengan orang-orang kaya semacam pedagang atau bangsawan untuk jadi selir.
Pada akhirnya, Alexis dan Fan memilih untuk jadi petulang demi mengubah nasib mereka. Sementara itu, Allen sedang mengecek silinder pada pistol revolver miliknya. Sama halnya dengan Marc dan Ronald yang meminta tolong pada Alexis dan Fan untuk memegang tali pelana. Bagi kedua prajurit New Germany, dunia yang mereka tinggali tidak jauh berbeda dengan dunia sebelumnya. Marc dan Ronald mengerti akan hal itu.
Kereta kuda berhenti di tengah jalan. Membiarkan Hiro dan anggota party lainnya untuk turun. Sedangkan Ronald dan Marc memarkir kereta di samping sebelah kanan. Alexis dan Fan bertatap muka dengan Hiro dan anggota party lainnya.
"Kalian empat ingin mendapatkan pengalaman seumur hidup bukan?" tanya Fan.
"Tentu saja!" kata Yumi, Hiro dan Rina penuh antusias.
"Kalau begitu nikmatilah selagi bisa! Karena sewaktu-waktu kita belum tahu, kapan diri kita akan mati dipanggil oleh langit," celetuk Alexis mengibaskan rambut coklat melengkung.
"Dasar bodoh! Ini terlalu menyedihkan," gerutu Fan.
"Terus bagaimana?" tanya balik ke Alexis.
"Untuk saat ini, nikmati saja. Kau ini memang suka berkata manis pada perempuan. Tapi tidak dengan laki-laki."
Alexis menggerutu saat mendengar kata-kata tajam dari Fan. Kemudian, Ronald dan Marc datang menyusul. Mengerutkan kening karena tidak mengerti pokok pembahasannya. Akhirnya, Marc memulai berbicara tanpa memandang mata Allen. Masker gasnya bersuara dengan napas aneh. "kalian bertiga kuakui sangat kuat dalam pertempuran secara individu. Tapi kalian masih bau bawang. Alias belum memiliki pengalaman bertarung sesungguhnya. Kuharap dengan adanya quest yang kalian pilih nanti, diharapkan kalian bisa mengatasi permasalahan dalam quest tersebut serta menyelesaikannya dalam waktu yang diberikan oleh guild. Jadi jangan menyerah dan terus semangat. Itu saja!"
"Itu saja, dengkulmu! Kau ini tidak pernah sekalipun memikirkan kata yang tepat untuk petualang baru!" bentak Ronald.
"Berisik! Coba kau yang jelaskan kepada mereka, Ronald. Daripada aku yang menjelaskan, mereka mana paham."
"Kau ini—"
Allen berusaha menengahi mereka berdua. Bukannya mereda, malah keributan di antara kedua prajurit New Germany malah semakin memanas. Sebuah todongan senjata rifle ke arah Allen, Dia menepisnya ke samping kanan dengan cepat. Todongan senjata pistol desert eagle pada mereka berdua. Keringat menetes dari dahi Ronald dan Marc. Para warga yang melihatnya bersorak gembira. Alexis memecah ketegangan dengan cara bertepuk tangan cepat. Disusul para warga yang antusias melihatnya. Fan menatap mereka dengan penasaran. Sedangkan Rina menepuk jidatnya sendiri. Marc dan Ronald yang melihat para warga bersiul dan sorak gembira, menutupi wajah mereka dengan rasa malu. Lengan panjang kain dari pakaian koboi Allen diusapnya pada bekas keringat yang menetes di keningnya.
"Kakek hebat sekali!"
"K-kakek?" ucap Allen kebingungan.
Pujian yang dilontarkan anak kecil menghampiri Allen, Marc dan Ronald. Rambut hijau tua disertai membawa perisai dan pedang terbuat dari kayu. Pakaian pun compang-camping. Menimbulkan tidak ada kesan sebagai seorang prajurit. Hiro menghampiri anak kecil itu. Mengelus rambutnya dengan ekspresi senyum lebar. Anak kecil berambut hijau berusaha melepaskan diri.
"Lepaskan, kak!" rontanya.
"Maaf, aku terlalu bersemangat."
Anak kecil berambut hijau memandang Hiro dengan jijik. Ekspresi barusan membuat pemuda berambut coklat sedih. Rina dan Yumi menepuk pundaknya dengan iba. Sedangkan Marc, Ronald dan Alexis tidak kuasa menahan tertawa melihat tingkah laku Hiro mendapatkan cibiran dari seorang bocah.
"Oi kalian! Mau sampai kapan berdiri terus menerus? Bantu aku dong untuk pindahkan barang!" celetuk Allen.
"Sebentar!" sahut Alexis mengangkat barang yang ada di dalam kereta kuda.
Ronald sendiri menaruh Flamethrower di dalam kereta. Tetapi, tidak melepaskan masker gasnya. Marc mengangkat logam besi yang dibawa oleh sekelompok anak kecil.
"Terima kasih bantuannya!" ucap pria tua murah senyum.
"Sama-sama," jawab Marc membalasnya dengan senyuman juga.
Alexis sendiri mengumbarkan senyuman yang memesona. Pesona tersebut membuat para gadis desa, menghampiri pemuda berambut coklat melengkung itu. Kedua mata beserta derapan langkah kakinya penuh dengan hawa nafsu bergejolak. Sampai-sampai, para gadis desa mengerumuni pemuda berambut coklat melengkung bernama Alexis. Fan dengan sigap, mendorong para gadis tersebut.
"Sudah, sudah! Lebih baik kalian pergi dari sini sebelum aku akan menghajar kalian semua!"
"Dasar pelit! Bilang saja dia itu kekasihmu bukan?"
"Betul tuh! Aku tahu kalian berdua punya hubungan khusus. Benar begitu teman-teman?"
Ucapan salah satu gadis desa itu, seketika berubah 180 derajat dari wajah Fan. Gadis bermata merah memerah, menutupinya dengan kedua telapak tangan. Sambil menatap Alexis mengedipkan kedua matanya. Yumi menyenggol pinggul Rina tiga kali. Mengacungkan jari telunjuknya dari kejauhan.
"Ricchan, Ricchan. Sepertinya dia sedang kasmaran tuh," goda Yumi.
"Mana mana?" Rina menyipitkan matanya.
Ekspresi wajah memerah pada Fan dan aura ketampanan Alexis mulai merasuki dirinya. Bibirnya, isyarat tubuh hingga gelagat dari gadis bermata merah itu begitu kaku. Serta jemari-jemarinya bergerak tidak keruan.
"Kau benar Yumi. Tapi, entah kenapa Alexis tidak peka terhadap perasaan dari Fan," gumam Rina.
"Entahlah. Apa sebaiknya kita membantu Fan?"
Namun sebuah gelengan dari kepala Rina. Dia merasa tidak perlu ikut campur mengenai hubungan asmara di antara mereka. Kedua party itu berjalan menuju sebuah rumah. Dindingnya terbuat dari kayu dengan cerobong asap di sebelah kiri. Tertulis nama beserta posisinya sebagai Kepala Desa Lancaster.
Langkah kaki mereka berjalan, menaiki anak tangga. Membiarkan Kepala Desa membuka pintunya. Dipersilakan pada para petualang untuk masuk terlebih dahulu. Rina dan Yumi mengucapkan 'Sumimasen' yang artinya permisi dalam bahasa Jepang.
Selama di dalam ruangan, terlihat desain interiornya dari pahatan kayu. Pajangan foto keluarga bahagia. Hiasan seperti cangkir, teko antik hingga emas sudah diukir nama beliau. Hingga 8 orang duduk dari arah berlawanan. Putri Kepala Desa menyuguhkan 8 gelas berisikan minuman air putih. Izin pamit untuk membantu ibundanya di ruangan belakang. Kepala desa mengangguk pelan. Melihat putrinya keluar pergi ke ruang belakang sambil memasang wajah tersenyum pada para tamu. Kemudian, melanjutkan pembicaraan mengenai quest yang diberikan.
"Akhir-akhir ini, Desa ini seringkali diteror oleh sekumpulan serigala. Kami berusaha mengusirnya dengan membunuh beberapa dari mereka. Akan tetapi, mereka terus menerus membawa bantuan. Hingga satu persatu orang-orang kebanggan kami tewas dimakan oleh mereka. Walau para petualang yang mendapatkan quest serupa, menyarankan untuk pindah ke lokasi yang aman dari sekumpulan monster. Kami menolak usulan tersebut. Karena tanah Desa Lancaster adalah pemberian dari seorang dermawan bernama Kevin Lancaster. Apabila kami pindah dari sini, belum tentu desa lainnya akan mau menerima kami. Jadi, para warga sepakat untuk tinggal di sini sambil berharap, ada orang yang dapat menghentikan para serigala datang kembali."
Kepala Desa menitikkan air mata. Membasahi kedua pipinya. Menunjukkan rasa iba dan simpatik pada para petualang yang bertamu di rumahnya. Dari gestur dan tutur katanya, Kepala Desa telah berbicara jujur menurut Allen. Pria tua berambut putih melirik Yumi perihal penjelasan dari beliau.
"Apakah ada hal janggal ketika anda diteror oleh para serigala itu?" tanya Rina.
"Jika diingat-ingat, dulu arah barat, terdapat gedung menara yang memiliki penyangga dari batu beton."
"Penyangga dari batu beton?" tanya Rina lagi.
Untuk mempermudah penjelasannya, Kepala Desa itu menggambar sketsa kasarnya. Rina, Yumi dan Hiro melihat lukisannya. Alexis, Fan, Marc dan Ronald juga memperhatikan ukiran sketsa yang dibuat beliau. Sambil menunggu selama setengah jam, Kepala Desa telah menyelesaikan gambar sketsanya. Dua buah menara dari sisi berlawanan, terbuat dari batu bata yang kokoh. Cat dinding putih sempurna dengan dedaunan melilit tiap menara.
"Apakah gambar ini ada kaitannya dengan quest yang kita ambil?" Rina bertanya.
"Sepertinya begitu. Tapi entah kenapa, aku mulai curiga. Kalau begitu, kami akan mengambil gambar ini sebagai referensi kami dalam menyelesaikan quest. Sekaligus basmi para serigala yang meresahkan para warga."
"Terima kasih banyak, wahai para petualang. Saya berdoa semoga anda diberikan keberkahan dari Dewa."
"Dewa … kah?" gumam Allen.
Seketika, ekspresi Alexis mendadak berubah mengeras. Kedua telapak tangan dikepalkan sekeras batu. Tatapan kedua bola matanya memancarkan kebencian yang mendalam pada Dewa. Aura yang terpancar mengandung unsur negatif. Fan melirik pada Alexis, memaksakan telapak tangan kanannya menggenggam tangan kiri pemuda berambut coklat melengkung. Perlahan tapi pasti, Alexis mulai tenang kembali. Tarikan napas keluar dari rongga hidung pemuda itu. Membuang napas hingga aura negatif perlahan mulai meredup. Sebuah lirikan tajam dari Hiro pada Alexis. Pemuda berambut coklat melengkung itu berusaha untuk menahan diri. Tiba-tiba, pedang Hiro berubah dengan sendiri. Melengkung ke samping kanan tajam. Yumi mengerutkan kening.
"Ada apa, Hiro-san?" Tanya Yumi.
Hiro mencengkram gagang pedangnya. Senjata milik Hiro bernama Grandark, mengeluarkan aura berwarna hitam dengan lambang seekor naga warna serupa, mengeluarkan suara melengking. Jenis pedang itu dinamakan Scimitar.