Chereads / Another World Chronicles Universe / Chapter 21 - Chapter 20. Trap in Dungeon [Revised]

Chapter 21 - Chapter 20. Trap in Dungeon [Revised]

Sepertinya, para otherworlder mempertimbangkan untuk berdoa secara khusyuk dan khidmat. Pasalnya, menara kembar atau Twin Tower memiliki dindin terbuat dari batu bata yang sudah diperkuat dengan sihir pelindung alias [Barrier]. Apabila ada musuh menyerang, dinding itu tidak dapat dihancurkan dengan mudah. Lantai pun memiliki tekstur serupa dengan dinding di sekitarnya. Langit menara juga gelap gulita. Tidak nampak bintang-bintang bersinar atau langit tertutupi awan. Berlika-laku seperti labirin. Ketika melintas ke sana, tidak ada lampu penerang atau obor di sekelilingnya. Sehingga tidak pernah lepas dari jebakan yang menanti. Oleh sebab itulah, Hiro menaruh penerang menggunakan sihir [Light].

Pemuda berambut coklat berada di depan. Sedangkan Yumi dan Rina di belakangnya. Entah kenapa keringat membasahi kedua pipinya. Pandangan pada indera penglihatan Hiro semakin tidak fokus. Dia mengusap-usap keringat di keningnya. Allen, Marc dan Ronald berada di posisi belakang. Terutama Allen yang berada paling pojok. Memegang pistol revolver. Jari telunjuk pada telapak tangan kanan menggenggam pelatuk. Tatapan serius dan melirik area sekitar. Termasuk Marc dan Ronald. Masing-masing dari mereka berjalan melangkah penuh hati-hati. Hawa di dalam dungeon mulai panas. Keringat menempel di sekitar wajah mereka. Termasuk Ronald yang bersikeras mengenakan masker gasnya.

Selama berada di dalam dungeon, Hiro dan kawan-kawan mengandalkan intuisi dan peta lama. Pemberian dari Kepala Desa Lancaster saat hendak ke dalam dungeon. Fan berniat diajak masuk ke dalam oleh Marc. Tetapi, jiwa petualang gadis bermata merah sudah mulai padam. Dipaksakan akan berujung beban bagi mereka. Karena itulah, Fan memilih berdiam di dalam kereta kuda. Tidur dengan nyenyak.

Tiba-tiba, sebuah injakan kaki dari Ronald. Tidak sengaja menginjak batu ke dalam. Memicu jebakan pertama. Rina dan Yumi menepuk jidat mereka. Dengan kata lain, Ronald merupakan paling ceroboh dalam waspada adanya jebakan. Muncul puluhan panah yang melesat dari jarak satu kilometer. Beruntung Allen dan lainnya sigap untuk mengatasinya. Rina memanggil [Giant Slime] untuk melindungi Marc dan Ronald, menghisap anak panah yang mengandung racun. Sedangkan pedang Hiro dikeluarkan dari sarung pedangnya. Berubah menjadi jenis Rapier. Dari ujung pedang hingga gagangnya berwarna merah dominan putih. Memiliki cabang pada bagian tengahnya. Menutupi jemarinya. Ada dua sisi terbuat dari besi, berbentuk lonjong lingkaran. Posisi tangan kanan mengangkat sikunya. Menyerang dengan secepat kilat. Ada 12 serangan searah meski jarak berdekatan. Kemudian, sebuah kayu dilontarkan dari arah Hiro. Pemuda berambut coklat melakukan teknik serupa beserta menangkisnya. Membuat Allen menilainya sebagai tindakan beresiko.

"Hiro, kau—"

"Fokus, Allen! Jangan pedulikan aku!" potong pembicaraan Hiro menangkis anak panah tersisa.

"Baiklah, baiklah!"

"Tapi—"

Namun, bahu sebelah kanan Yumi dicengkram oleh Rina sambil mengawasi [Giant Slime]. Menggelengkan kepalanya. Yumi hanya mengikuti perkataan Rina. Kemudian ada jebakan kedua menghampiri para otherworlder. Suara tanah bergetar dari arah belakang. Marc dan Ronald menoleh ke belakang. Sebuah batu berukuran raksasa. Tanpa basa-basi lagi, mereka berlari sekencang-kencangnya.

"Kenapa banyak sekali jebakan bermunculan! Ini pasti ulah kalian bukan?" sembur Rina menuduh Marc dan Ronald.

"M-maafkan kami!" jawab Marc dan Ronald serempak.

Hiro berlari ke arah berlawanan. Sikut kanan menekuk. Lurus menusuk sebanyak 6 kali. Menumpasnya dengan cepat. Ditambah lagi, mood Hiro masih buruk. Allen merasakan aura ketegangan dari pemuda berambut coklat itu. Menjilat bibirnya bagian atas.

Sebagai hukuman karena bertindak ceroboh dalam menangani jebakan, Marc maupun Ronald tidak diperbolehkan untuk makan malam. Marc dan Ronald terus berjalan dengan minuman botol tersisa. Allen mengambil alih posisi belakang. Membantu Marc dan Ronald supaya tidak menginjak jebakan di dalam dungeon minim penerangan. Suara sepatu bergesekan dengan bebatuan. Marc dan Ronald memegang senapan masing-masing. Mengenakan masker gas terlebih dahulu. Kedua bolanya melirik area sekitar. Menghindari adanya gas beracun yang muncul secara tiba-tiba. Pakaian seragam New Germany penuh kotoran debu. Allen bertanya-tanya mengenai kegunaan masker tersebut di dalam dungeon.

Mereka berenam telah sampai pada sebuah pintu berukuran raksasa berada di depan. Bentuk teksturnya memiliki keanehan berupa berbentuk segitiga disertai besi pada gagang pintunya. Tidak ada jendela dan terdapat lonceng emas buatan. Ada sebuah lubang kecil dekat pintu. Sehingga seekor tikus bisa masuk dengan mudah. Yang membuatnya aneh, tidak ada lubang kunci sama sekali di sekitar.

"Bagaimana cara kita bisa masuk, kalau tidak ada lubang kunci?" tanya Marc.

Allen mengangkat kedua bahunya. Tetapi, pria tua berambut putih mencari tahu. Rina, Yumi dan Ronald menadahkan kedua telapak tangan. Mencari sebuah pemicu untuk pintu rahasia. Saat baru proses pencarian, suara bergemuruh dari belakang. Dikejutkan oleh segerombolan monster menuju kemari. Allen, Marc dan Hiro mengambil posisi melawan. Mengacungkan rifle beserta desert eagle. Suara tembakan silih berganti. Selongsong peluru berjatuhan di mana-mana. Ronald mengambil tindakan. Pria bermasker gas berbalik arah, menarik pelatuk pada flamethrower miliknya. Api membara di sekitar area. Membuat sekumpulan monster tidak bisa mendekat maupun melintasi mereka. Marc mengisi amunisi. Sedangkan Allen menembak tiap kepala monster. Hingga suara Ronald berteriak lantang, tidak menyadari di sampingnya terdapat ular raksasa. Hiro bertukar posisi dengan dia. Mengayunkan pedang bertipe Rapier. Berlari dan menerjang sekaligus.

"Terima ini!" teriak Hiro menusuknya berkali-kali hingga monster ular raksasa tewas seketika.

Pedang Rapier mengeluarkan elemen api. Pada bagian tengahnya, pemuda berambut coklat baru sadar ada roda gerigi yang menempel. Warna merah, biru, hijau, kuning tua, putih dan hitam. Yang Hiro aktifkan berupa batu berwarna merah. Dengan cepat, memutar roda gerigi ke non elemen. Tangan kanan menggenggam ujung pedang sambil memasang kuda-kuda seperti seorang atlet anggar umumnya.

"Itu kan …" ucap Allen belum selesai bicara.

Tidak salah lagi. Teknik anggar dia gunakan untuk menyerang musuh. Kemudian, hentakan kaki Hiro mulai bergetar. Para monster yang mengerumuninya, bergidik ketakutan. Baik Rina maupun Yumi merasakan tekanan teknik pedang Grandark milik Hiro. Para monster yang sempat ketakutan mulai menyerbu lagi. Hiro berniat untuk mengakhirinya dengan sekali serangan. Akan tetapi, Marc dan Roland menarik pemuda berambut coklat untuk pergi. Terdengar suara pintu mulai terbuka.

"Cepat masuk!" perintah Marc kepada Hiro berupa menarik lengannya.

"Tapi—"

"Kau ini bodoh atau bagaimana? Tidak peduli kau kuat sekalipun, selama kita di dungeon yang tidak dikenal, untuk apa bertarung mati-matian? Saat ini lebih baik kita mundur dan lari saja bodoh!" bentak Rina.

"Yang dikatakan Rina benar. Tidak ada gbanunanya kita bertarung dalam kondisi kurang menguntungkan. Apalagi, aku merasakan bala bantuan para monster telah datang," kata Allen menambahkan perkataan Rina.

Sebelum masuk ke dalam, Marc mengaktifkan skill [Goliath Tracked Mine] untuk mengulur waktu. Tembakan dan ledakan yang dilakukan mereka tidaklah seberapa. Setidaknya, benda yang terpanggil bisa membunuh beberapa monster. Seekor gajah dalam evolusi, menyeruduk dengan kekuatan penuh. Allen menarik pelatuknya, membidik ke salah satu pantulan cermin sebelah kiri. Peluru melesat cepat. Melubangi tiap monster di depan mata. Pria tua berambut putih mengaktifkan skill yang dimiliknya.

"[Accuracy Point] … [Blast Shot]!"

Kemampuan membidik dan akurasi Allen yang paling tertinggi diantara lainnya. Karena itulah, dia meningkatkan levelnya, memilih skill [Accuracy Point].

Satu persatu mereka telah memasuki ruangan. Termasuk Hiro sekalipun. Saat masuk, ada sebuah tulisan di dinding yang susah dipahami. Rina mengangkat tongkatnya dari dalam. Memerintahkan monster panggilan, [Giant Slime] untuk menyerap tubuh para monster serta memperlambat laju mereka. Akhirnya, tubuh slime terbentang menyerupai dinding sebuah dungeon. Yang membedakan hanya warna biru muda, lengket dan kenyal. Mengakibatkan sekumpulan monster tidak bisa bergerak. Sisi sebelah kiri [Giant Slime] menyerap monster yang dibunuh Allen dan para otherworlder lainnya. Allen mengeluarkan sebuah granat. Melemparkannya pada [Giant Slime]. Makhluk itu membelah diri dan tubuh aslinya masuk ke dalam celah ruangan. Tubuh klonenya meledak. Menghancurkan seperempat monster di depan mata. Kemudian, [Giant Slime] melakukan teknik itu lagi. Marc, Ronald dan Allen menaruh granat ke dalam tubuhnya. Dengan cepat, klone miliknya keluar dari ruangan. Menghisap para monster untuk menjauh. Sebuah ledakan besar menanti mereka. Hancur berkeping-keping. Rina mengelus [Giant Slime] yang asli, membiarkan dia memakan bangkainya.

Hembusan angin kencang beserta sebuah portal misterius menghisap mereka. Bentuknya menyerupai kosmik luar angkasa, menarik semua orang ke dalam. Mengakibatkan para otherworlder tidak bisa keluar dari ruangan itu. Jeritan melengking keluar dari kerongkongan mereka. Di lain pihak, Wilhelm dan Jacob merasakan energi yang misterius. Mereka berdua menoleh ke luar. Anehnya, energi itu mulai menghilang. Jacob menoleh pada wanita berambut panjang. Dia berlutut di hadapan Grimm bersaudara.

"Rapunzel."

"Ada apa Tuanku?"

"Segera investigasi lantai pertama. Kemungkinan besar ada energi yang tidak kuketahui di dalam menara!" perintah Wilhelm.

"Perintah saya laksanakan Tuanku."

Rapunzel pergi meninggalkan ruangan Grimm bersaudara. Menutup pintu rapat. Kedua mata Jacob menjadi tidak fokus. Dia menoleh pada adiknya, Wilhelm. Menghisap jempol dengan raut wajah kesal. Jacob menghela napas. Menatap sebuah pintu dari kayu, berhenti untuk menulis. Sepertinya aku tidak bisa mengabaikan satu ini, gumamnya dalam hati.