Tokyo, Jepang.
Di sebuah gedung tinggi perkantoran yang sangat megah dan modern.
BRAK!
Setumpuk dokumen dilempar begitu saja di atas sebuah meja.
Pada dokumen paling atas itu terlihat sebuah profil seorang wanita lengkap dengan foto pas yang terlihat sangat formal. Rambut perempuan itu hitam panjang dan diikat satu dengan poni indah menghiasi wajahnya.
Tertulis jelas di sana nama sang wanita dalam bahasa Indonesia: Risa Abdullah.
"Apa berita itu benar? Kau sudah memastikan kabarnya?" tanya sebuah suara berat.
Percakapan ini dilakukan dalam bahasa Jepang.
Meski ada nada marah dalam suaranya, ia berusaha tetap menjaga ketenangan dirinya.
"Iya. Itu benar, tuan muda. Risa Abdullah akan segera menikah minggu depan."
Pria berkacamata tipis yang menyampaikan berita itu berwajah datar dan terkesan dingin dengan rambut disisir sangat rapi, di tubuhnya melekat jas biru tua dengan sebuah sapu tangan putih mencuat dari sakunya. Ia berdiri dengan sangat tegap menunggu perintah seolah seperti seorang prajurit yang sangat patuh pada komandannya.
"Begitu?"
Sosok yang dipanggil tuan muda itu bertopang dagu dengan menyangga sikunya pada kedua sisi kursinya, berpikir dengan tatapan mata yang sangat dalam.
Ia pun memutar kursinya hingga menghadap dinding kaca tinggi di belakangnya, kali ini bersandar bertopang dagu dengan satu tangan di pelipisnya.
Secara keseluruhan, pria yang tengah duduk ini terlihat sangat tampan, cerdas, mempesona, berkharisma, dan berkelas. Pembawaannya sangat santai dan penuh ketenangan.
Siapa pun yang melihat pria ini meski hanya sepintas akan segera tahu bahwa sosok itu bukanlah pria biasa. Sosok yang sebaiknya jangan mencari gara-gara dengannya.
Kemeja putihnya yang begitu rapi dipadu dengan dasi hitam bergaris putih yang sangat mewah dan elegan, dan kaki jenjang indahnya berbalut celana panjang hitam disilangkan dengan angkuhnya. Kesan tinggi dan arogan tapi dingin memantul kuat pada permukaan dinding kaca.
"Apa Anda punya perintah lain, tuan muda?"
Tatapan tajam dan dalamnya mengamati pemandangan ibukota di luar sana. Dari pantulan kaca di depannya, ia terlihat sedang berpikir begitu dalam.
Cuaca pagi itu sangatlah cerah tanpa awan, sinar matahari pun begitu hangat menyinari gedung-gedung tinggi perkantoran lainnya, namun pria yang tengah berpikir di kursi berkuasanya ini terlihat sangat hati-hati dan penuh perhitungan, membuat atmosfer di ruangan itu sedikit tegang dan dingin.
"Cari tahu siapa calon suaminya dalam waktu 2 jam."
"Baik!"
Sang pria berjas biru tua itu membungkuk dengan satu tangan di dada.
"Ingat! Terus awasi perkembangannya. Risa hanyalah milikku seorang," peringatnya dengan gerakan tangan kiri di udara, masih dalam pose memunggungi sang bawahan.
"Tentu saja, tuan muda!"
Dengan perkataan itu, ia pun keluar dari ruangan yang hampir dipenuhi oleh dinding kaca.
Interior ruangan itu dihiasi dengan benda-benda berkilau dan mewah pada beberapa titik ruangan. Salah satu benda berkilau yang terbuat dari kaca adalah sebuah papan nama di atas meja kerja di sana, berbunyi dalam tata nama orang Jepang: Shiraishi Shouhei.
Shiraishi adalah marganya, yang merupakan salah satu Grup bisnis terkuat di negeri Sakura saat ini.
Dan Shouhei adalah nama dari lelaki tampan yang tengah tenggelam dalam pikirannya tersebut.
***
Jakarta, Indonesia.
Keesokan harinya.
"Suamiku, apa kau yakin dengan pernikahan ini? Kenapa begitu tiba-tiba?" protes seorang wanita pada seorang pria yang sibuk memperbaiki dasi merahnya di depan cermin besar.
Sang suami memejamkan mata lelah, keningnya ditautkan kencang.
"Kita tidak punya pilihan, istriku. Satu-satunya agar perusahaan selamat adalah dengan menikahkan Risa dengan putra mereka."
"Tapi, apa kau tahu seperti apa putra mereka? Kenapa begitu mudah menerima tawaran perjodohan itu?"
Sang istri yang memakai daster merah muda berdiri dari tepi tempat tidur. Wajahnya cantik untuk ukuran seusianya yang sudah mencapai usia 40 tahunan. Ia berjalan menuju sang suami dan meraih dasinya, membantunya membuat simpul karena sejak tadi selalu gagal di tangan pria itu.
"Aku sudah memberitahu Risa agar menghadiri pertemuan yang sudah diatur siang ini. Mereka bisa saling kenal dan berbincang-bincang satu sama lain. Tidak ada salahnya, kan? Lagipula, selama ini dia selalu saja gagal dalam percintaan. Ini seperti keberuntungan untuknya. Umurnya juga sudah sangat pantas untuk menikah."
"Kau benar, suamiku. Tapi, Risa sama sekali tak menyukainya!"
"Dengar. Risa harus belajar menyukai pria itu. Kalau dia hanya ingin mengejar pria-pria yang disukainya yang selalu berakhir gagal, apa kau mau dia jadi perawan tua?"
"Apaan, sih! Tidak boleh ngomong, gitu, dong!"
Perempuan itu memukul dada sang suami, wajahnya cemberut.
--------------------
*Catatan Author
Halo!
NatsuHika alias Nat-chan di sini!^^
NOVEL INI HANYA BISA DIBACA DI GOODNOV*L
UNTUK MASUK KE DR*AM* / INNOV*L, BELUM PASTI, YA, GUYS!
JADI BARU 1 TEMPAT AJA DULU.
CEK DI SANA, YA, KALO KEPO! J
(TANDA * DI ATAS GANTI JADI HURUF "E" )
SELAIN DARIPADA ITU ADALAH APLIKASI PALSU ALIAS BAJAKAN PENUH TIPU2
CEK LEBIH LANJUT JIKA ADA PEMBAHARUAN INFO PINDAH LAPAK LAIN KE:
FB AUTHOR: NATSUMI HIKARU
--------------------
"Sudah. Sudah. Aku berangkat dulu."
Usai dasinya terpasang dengan baik, pria itu meraih tas kerja yang ada di atas kursi rias sang istri.
"Kau tidak sarapan dulu?"
"Di kantor saja, sayangku. Hari ini ada rapat penting. Calon besan kita ingin melakukan inspeksi kinerja perusahaan. Semua dokumen harus disiapkan dengan baik."
"Suamiku, apa kau tidak merasa aneh?"
"Aneh? Aneh bagaimana?"
Langkahnya terhenti menuju pintu, sebelah keningnya terangkat penasaran.
"Itu, loh. Selama ini, kan, perusahaan kita baik-baik saja. Kenapa setelah kita kenal perusahaan dari Grup Budiraharja, tiba-tiba saja perusahaan kita tertekan di mana-mana?"
Sang suami memucat, dan berdeham kaku.
"Tidak usah memikirkan soal perusahaan. Ini terlalu berat untukmu. Lebih baik bantu saja Risa menyiapkan penampilan terbaiknya untuk bertemu dengan putra Grup Budiraharja itu. Kesan pertama itu sangat penting."
Sang istri menghela napas berat, bertopang dagu dengan bertumpu pada telapak tangannya dan menatap sendu punggung sang suami yang berjalan cepat keluar ruangan.
Di lantai bawah, seorang perempuan berambut hitam sebatas punggung duduk menikmati roti bakarnya. Ia memakai kaos rajut merah burgundy dengan leher turtle neck dan rok plisket cokelat tua, memberikan kesan dewasa dan profesional.
"Aku pergi dulu! Jangan lupa untuk datang ke kafe itu, ya!" teriak sang ayah dari arah tangga.
Risa yang mendengar perintah tanpa bisa diprotes itu hanya bisa menekuk wajah muram.
Selera makannya tiba-tiba lenyap. Ia melempar begitu saja roti bakar yang ada di tangannya dengan perasaan malas, dan segera meneguk air minumnya sampai habis.
"Putriku, kenapa kau tidak protes? Ini adalah masa depanmu, bukan? Apa kau rela menikah dengan orang yang tidak kau kenal sama sekali?"
Ibu Risa, Sarah Sabran menuruni tangga dengan anggunnya.
"Sudahlah, bu. Aku juga sudah capek. Mungkin memang takdirku untuk dijodohkan," jawabnya dengan wajah masa bodoh.
Sang ibu sedikit terkejut mendapati anak ceria itu menjadi lesu tak bertenaga.
"Memang kamu mau kalau dia itu botak, gendut, dan jelek?"
Seketika wajah Risa memucat seperti bubur busuk.
"Ibu... kenapa ibu meracuni pikiran polos penuh harapku ini? Bisa saja, kan, dia tak seburuk yang ibu katakan?"
Ibunya melipat tangan dan membuang muka dengan wajah kusut, mulutnya dimajukan dengan mata menyipit kesal.
"Ibu ini mau menantu yang tampan dan cerdas, Risa!"
"Hish! Ibu! Permintaannya aneh-aneh! Sudah tahu putri satu-satunya ini selalu gagal menjalin kasih, masih saja dituntut ini itu!"
Risa berdiri dari duduknya, menggigit gigi marah. Nadi di pelipisnya seolah akan meledak detik itu juga. Sudah syukur dia menerima perjodohan yang tak ada jalan keluarnya itu, sekarang ibunya bicara yang tidak masuk akal padanya. Benar-benar bikin hati panas saja.
"Kamu lembur saja hari ini, ya! Biar punya alasan tidak datang ke pertemuan itu!" saran ibunya dengan penuh semangat, berteriak dengan satu tangan berada di sisi mulutnya.
"Ya, ampun! Pagi-pagi sudah berisik sekali!" gumamnya kesal, menarik tas selempang lebih erat ke tubuhnya. Rambut ikal indahnya melambai indah ketika berjalan cepat menuju pintu utama.
"Aku pergi dulu, bu! Assalamualaikum!"
"Waalaikumussalam... haduh... anak itu... bikin cemas saja..." bisik sang ibu pada dirinya sendiri.
"Dia kenapa, lagi, bu?" tanya sebuah suara berat pria dari seberang ruangan.
"Oh! Raza! Nasihati adikmu itu! Masa karena gagal percintaan terus dia mau terima begitu saja perjodohan yang diatur oleh ayahmu? Kamu, kan, seorang dokter, ceramahi sedikit dia soal gen turun temurun! Ibu mau punya cucu-cucu yang tampan dan cantik! Juga pintar dan cerdas! Apa ibu tidak boleh meminta hal seperti itu padanya? Dia, kan, cantik, masa tidak ada satu pun pria yang serius dengannya?" jelasnya dengan kedua tangan berada di pinggang, ekspresinya dibuat mengkerut sebal dan manja.
"Haaah... ibu. Itu, kan, keputusan Risa. Biarkan saja. Mungkin itu jodohnya, kan? Dia juga tak mempermasalahkannya. Mau dia cantik atau tidak, kalau bukan jodohnya? Kita bisa apa?"
Raza meletakkan jubah putihnya pada sandaran kursi, dan duduk meraih beberapa lembar roti di depannya.
"Tapi, kan, kita tidak tahu seperti apa calon suaminya itu!"
"Ya, sudah, tinggal lihat saja, kan? Lagipula, jika pernikahan ini menguntungkan kedua belah pihak, kenapa tidak?"
"Haduh! Raza! Kalian ini kembar, tapi kenapa sikapnya juga sama-sama keras kepalanya menentang ibu!"
"Jangan marah-marah terus, bu! Nanti keriputnya bertambah. Ibu mau?"
"Raza!"
Dokter muda berwajah tampan ini tersenyum jahil pada ibunya.
----
Lihat di bab 9 info tentang novel ini....