Chereads / Disabled girl / Chapter 2 - two

Chapter 2 - two

••••••••••••••

"BASTIAN!!!!!"

Mereka berdua sontak terkejut dan menoleh ke sumber suara. Bastian langsung bangun dari posisinya. Dan Zian juga segera menyembunyikan ponselnya yang barusan ia gunakan untuk merekam, sedangkan Aleta masih dengan posisi berbaring dan air mata yang tidak berhenti mengalir.

Orang yang memanggilnya barusan adalah wali kelas mereka, Pak Adam. Pak adam menghampiri mereka berdua dan menampar keras pipi keduanya.

"KURANG AJAR! Jika bukan karena orang tuamu, kalian berdua sudah saya DO dari sekolah ini!"

Pak Adam berjalan berjalan mendekati Aleta dan membantunya untuk berdiri. "Sekarang kamu baik-baik aja, Bapak akan kasih hukuman buat mereka,,, Oke?"

Pak Adam dan Aleta sudah tidak ada di rooftop, kini tinggal mereka berdua yang merasa kesal karena waktu bersenang-senangnya terganggu.

"Sialan!" Bastian menendang dinding.

"Sakit banget pipi gua, setan! Padahal gua belom ngapa-ngapain," umpat Zian sembari mengusap-usap pipinya.

"Mana hp lu?!"

Zian langsung memberikan ponselnya. "Lu mau liat rekaman tadi?"

Bastian menggeleng. "Mau gua hapus." Ia mencari rekaman video barusan lalu langsung menghapusnya dan memberikan ponselnya kembali pada Zian.

________

Kini mereka berdua sedang berada di ruang guru, mereka tengah dimarahi habis-habisan oleh gurunya itu. Keduanya hanya diam dan terus memperhatikan Pak Adam dengan malas. Tak ada perasaan takut sama sekali, omelan seperti ini sudah menjadi makanan sehari-hari bagi mereka.

"Berani-beraninya kalian melakukan hal itu di sekolah!" Adam menggebrak meja, urat di lehernya begitu nampak, Adam sangat marah kali ini.

"Berarti di rumah boleh, gitu?" ucap Zian asal.

"Diam! Bisa-bisanya kamu menjawab!"

"Bisa lah, Pak. Kita kan gak bisu," sahut Bastian.

Zian langsung tertawa. "Emangnya cewe yang tadi ya, Bas."

"Astaga!!!" Adam memijat pangkal hidungnya, ia lelah menghadapi murid sialan ini. "Masuk ke kelas kalian!" Ia merasa akan percuma mengomeli anak nakal seperti mereka. Tak akan ada ujungnya.

Mereka berdua langsung pergi dari ruangan itu dan cepat-cepat masuk ke kelasnya. Bersamaan dengan tibanya di kelas, bel masuk langsung terdengar. Bastian segera duduk di kursinya dan terlihat jelas tubuh gadis itu bergetar serta dengan suara isakkannya.

Bastian menghela napasnya. "Eh, Cacat!" Aleta mengangkat wajahnya dan menatap Bastian. "Bisa jauhan gak duduknya? Gua takut kecacatan lu nular." Gadis itu mengangguk sembari sesenggukan lalu menggeser kursinya sedikit.

Setelah itu Bastian melihat Aleta berbicara dengan bahasa isyarat.

"Maaf kalau aku membuatmu jijik." ujar Aleta dengan bahasa isyarat.

Dahi Bastian mengernyit, ia tidak mengerti bahasa seperti itu. "Apaan si anjing? Gua gak ngerti bahasa begituan." ucapnya memalingkan wajahnya dan bermain ponsel.

Dirinya benar-benar merasa tidak nyaman dengan gadis baru di sekolahnya ini. Bastian mengeluarkan sebungkus rokok, ia mengapit sebatang rokok di mulutnya lalu membakar ujungnya dengan korek. Meskipun ini di dalam kelas, ia tetap tak peduli dan membiarkan asapnya itu mengepul di ruangan. Lagipula guru yang mengajar juga belum datang. Tidak ada yang berani menegurnya, hanya ada tatapan kesal yang ditunjukkan untuk laki-laki nakal itu.

"Woy!" Bastian menendang kursi yang diduduki Aleta dan saat itu juga Aleta langsung menoleh. Bastian menekan pipinya keras lalu mengepulkan asap rokoknya tepat di wajah gadis itu.

Aleta langsung terbatuk-batuk. Namun, Bastian malah tertawa lepas melihat gadis itu menderita.

"Bas, udah! Matiin rokok lu!" suruh seseorang yang duduk di depannya. Laki-laki itu geram melihat Bastian yang tidak berhenti mengganggu Aleta.

Bastian terkekeh, ia menyundutkan rokoknya di tangan orang itu. Seketika dia langsung mendesis merasakan panasnya ujung rokok tersebut.

"Goblok!" umpatnya sembari melihat tangannya yang sudah melepuh.

"Gak usah ikut campur makanya, Sat!"

"Gak waras," gumam Satria berbalik ke depan. Ia masih merasakan perih di bagian tangannya.

Tak lama setelah itu guru jam pelajaran saat ini sudah datang. Guru itu menutup hidungnya karena merasakan bau asap rokok di ruangan kelas ini.

"Siapa yang berani-beraninya merokok di kelas??!!!"

Dengan santai Bastian mengangkat tangannya. "Saya, Bu."

"Keluar dari pelajaran saya!!! SEKARANG!!"

Bastian tetap diam tanpa menggubris bentakan gurunya ini. Ia juga sudah mematikan rokoknya dan kini tengah menelungkupkan wajahnya di meja.

"BASTIAN!!!!" Ibu Rani sudah kehilangan kesabarannya, urat lehernya juga tampak begitu jelas terlihat. Langkah kakinya terdengar nyaring saat menuju ke tempat duduk Bastian.

Semua murid terdiam ketakutan, sedangkan Bastian dengan santai ia mengangkat kepalanya dan menguap. "Ibu ngajar aja, saya mau tidur."

"Sini!" Rani menarik tangan Bastian dan menyuruhnya untuk berdiri di depan papan tulis.

"Kenapa sih, Bu?!"

"Diam di sini, angkat kaki kam–"

"Saya keluar aja, Bu." Bastian langsung memotong perkataan gurunya itu dan melengos keluar kelas. Bastian tidak akan mau jika ia harus disuruh mengangkat kakinya sebelah, itu akan membuat kakinya keram dan mati rasa.

"Dasar anak bandel!"

Mata Aleta juga memperhatikan punggung laki-laki itu yang hilang dibalik pintu. Setetes air bening masih terus keluar dari ekor matanya. Ia berpikir esok hari dan seterusnya mungkin akan terjadi hal buruk yang menimpa dirinya.

☘️

Kini Aleta tengah makan malam bersama Ayahnya, Ayahnya yang menyiapkan semua ini. Ia tidak memiliki Ibu, Ibunya sudah tiada saat di hari kelahirannya. Meski begitu mereka termasuk keluarga sangat mampu. Ayahnya pengelola bisnis brand pakaian yang terkenal, terkadang untuk brand itu sendiri juga Aleta pernah sesekali menjadi model pakaiannya.

"Gimana sekolah pertama kamu?"

"Menyenangkan."

"Gimana cara kamu komunikasi di sekolah? Ayah yakin gak ada yang ngerti bahasa isyarat."

"Menulisnya di buku atau mengetik di handphone."

Gilang tersenyum tipis, ia senang jika anaknya baik-baik saja. "Kalau ada yang gangguin kamu, bilang sama Ayah," ucapnya dengan tangan yang mengusap lembut rambutnya.

Aleta mengangguk dan melempar senyum. "Aku gak apa-apa."

Melihat anaknya berbicara dengan tangannya membuat hati Gilang sakit, hanya Aleta yang ia punya di keluarga ini. Setiap melihat anaknya, ia merasakan pilu di dalam benaknya. 

________

Esok paginya, setelah diantar oleh Ayahnya ke sekolah, kini gadis itu tengah berjalan menuju kelas. Ia harap hari ini akan baik-baik saja dan ia akan mendapatkan teman baru. Aleta sangat ingin memiliki teman, teman yang mau menerima dia apa adanya.

Dari depan, ia sudah melihat Bastian duduk di kursinya, laki-laki itu juga menunjukkan senyum yang ia tidak mengerti.

Aleta berjalan ke belakang untuk duduk di tempatnya lalu saat sudah tiba di mejanya ia langsung duduk dan mengabaikan Bastian yang sedari tadi terus melihatnya. Aleta juga mendengar laki-laki itu tiba-tiba tertawa lepas. Memangnya apa yang salah dengan dirinya?

"Dasar bego!!" celetuk Bastian di sela tawanya.

Dia kenapa sih?

Aleta tetap diam tidak menggubris tingkah anehnya itu. Ia tidak menyangka harus duduk di sebelah orang yang bermasalah seperti laki-laki itu.

Tak lama bel masuk berbunyi, semua murid yang berada di luar pun langsung masuk dan duduk di kursinya masing-masing. Bersamaan dengan itu, Guru jam pertama mereka juga sudah bersiap memulai pelajaran.

Mereka semua tampak serius memperhatikan gurunya menerangkan pelajaran, kecuali Bastian. Aleta sesekali melirik ke arah laki-laki itu, yang Bastian lakukan sejak tadi hanya menggambar.

Ia tidak menyangka Bastian memiliki hobi yang sama dengan dirinya, Hasil gambar milik laki-laki itu pun sangat bagus. Sebenarnya Aleta sendiri pun tertarik dengan dunia seni, ia juga bisa menggambar dan sering kali ia melukis. Jika saja dirinya ini tidak cacat, mungkin Bastian mau berteman dengannya dan mungkin mereka bisa melakukan hobinya bersama.

Tak terasa sudah satu jam mereka menghabiskan waktu belajarnya di pelajaran pertama.

"Saya mau kalian berkelompok dengan teman sebangku kalian untuk tugas makalah ini."

Bastian yang mendengar itu langsung mendongak. "Saya gak mau, Bu!"

"Kenapa?"

"Masa saya harus satu kelompok sama orang bisu."

Aleta langsung merasakan sakit di hatinya. Begitu menjijikkannya kah dirinya?

"Bisu? Siapa yang bisu?" tanya Guru ini yang masih belum tahu jika ada murid baru penyandang disabilitas.

"Ini samping saya, Bu."

"Kamu tunawicara?" tanya guru itu lembut pada Aleta.

Aleta yang ditanya langsung berdiri, namun ia malah merasakan sesuatu yang aneh pada bokongnya, seperti ada sesuatu yang lengket sangat lengket. Dan saat itu juga Bastian kembali tertawa, tawanya begitu lepas hingga Aleta merasa sangat malu. Ia baru sadar, jika ternyata ini alasan Bastian tertawa saat ia duduk di kursi ini.

"Ada apa?!" Guru itu langsung berjalan ke arah meja mereka. Guru itu segera melihat ke rok dan kursi Aleta yang penuh dengan lem. "Bastian! Kamu pasti yang melakukan ini?"

"Iya... itu lem tikus." Bastian tidak berhenti tertawa sejak tadi, sedangkan Aleta hanya bingung harus bagaimana, rok nya rusak dan ini baru jam pertama.

"Antar dia ke koperasi untuk mengganti roknya dan kursinya juga kamu harus ganti dan ambil dari gudang."

"Males banget, Bu. Kenapa harus saya?" sengit Bastian tak terima.

"Kamu harus tanggung jawab, dan setelah ini kamu gak perlu berkelompok dengan murid baru ini. Ibu yakin bukannya berdiskusi kamu malah menjahilinya."

Bastian berdecak, ia malas jika harus mengambil kursi di gudang atas. Bastian beranjak dari kursi, ia menukar kursinya dengan kursi Aleta yang sudah penuh dengan lem lalu ia melapisi kursinya dengan robekan kertas agar tidak menyentuh langsung dengan celananya.

"Sudah, kan? Saya gak perlu ambil kursi di gudang ya, Bu." ucapnya kembali duduk di kursi bekas Aleta.

"Yaudah kamu anter ke koperasi."

Bastian menarik napasnya berat, ia kembali beranjak dari kursi lalu langsung menarik tangan Aleta ke luar kelas.

"Mulai hari ini, lu gak bakal hidup tentram. Inget baik-baik ya, Cacat!" gumamnya pelan.