Jam pelajaran sudah dimulai. Bastian juga sedang di kelasnya saat ini. Seperti biasanya, ia tidak menghiraukan ucapan guru yang mengajar di depan para murid. Sedari tadi dirinya hanya asyik menggambar yang sempat terbesit pada imajinasinya.
Bastian yang melihat hasil karyanya sendiri, kini tersenyum senang, karena bisa menyelesaikannya dalam waktu cepat. Sejak kecil, ia memang tertarik dengan dunia seni -menggambar. Ada berbagai macam objek yang sudah ia gambar. Tapi, Bastian sama sekali tidak pernah mengikuti kompetisi apa pun. Dirinya terlalu takut.
"BASTIAN!!!"
Bastian yang disebut namanya langsung menggosok-gosok telinganya. "Kenapa sih, Pak? Padahal dari tadi saya lagi diem."
"Dari tadi Bapak manggil kamu. Ke mana temen sebangkumu?"
Bastian melirik kursi sebelahnya, hanya ada tas yang terlihat di sana. Gadis itu ia sekap di dalam gudang, ia benar-benar kesal pada gadis bernama Aleta. "Gak tau."
Pak Yudha selaku Guru yang sedang mengajar barusan hanya mengeluarkan napasnya panjang, karena jawaban jutek dari muridnya ini. "Yaudah, sekarang kalian kerjakan halaman 73. Bel bunyi langsung kumpulkan di meja Bapak!" titahnya sembari pergi ke luar kelas.
Bastian kembali menggambar objek lain, dan tidak mempedulikan perintah Pak Yudha. Kini objek yang ia gambar adalah pemandangan. Dirinya teringat dengan salah satu jepretan Aleta di kameranya itu. Ia akui, semua jepretan Aleta bagus-bagus.
Sekitar beberapa menit, hasil gambarnya sudah selesai. Ia langsung beranjak dari kursi dan berjalan ke luar kelas. Tidak ada yang berani menegurnya, gurunya juga sedang tidak di dalam kelas, kan?
Tujuannya sekarang adalah menghampiri gadis itu di gudang. Namun, tiba-tiba ia mendengar suara teriakkan dari wali kelasnya yang sedang mengajar di kelas lain. Bastian juga membalikkan tubuhnya untuk merespons teriakkan Pak Adam.
"Hey!! Mau ke mana kamu?!"
"Gudang, ambil kursi."
"Emangnya di kelas kekurangan kursi?" tanya Pak Adam.
"Hmm, kena lem tikus. Udah ya, Pak. Saya buru-buru." Ia langsung pergi tanpa menunggu jawaban dari Pak Adam.
Bastian yang sudah tiba di depan gudang, langsung mengambil pengait kayu yang ia gunakan sebagai pengunci pintunya. Setelah itu ia mencoba membuka pintunya, namun seperti ada sesuatu yang mengganjal, sesuatu yang berat menghalangi pintunya. Dengan paksa, ia sedikit mendorong pintunya dan mengintip ke dalam untuk melihat apa yang membuat pintu begitu berat untuk terbuka.
Netranya membulat, saat melihat gadis itu tak sadarkan diri di balik pintu. Bastian berusaha mendorong pintunya lebih lebar lagi dan memaksa tubuhnya untuk masuk ke dalam.
"Aleta!" Ia menepuk pipi gadis itu dan berulang kali menyebut namanya, namun Aleta tidak kunjung membuka matanya.
Bastian menarik napasnya berat. Ia mengangkat tubuh kecilnya dan membawa gadis itu ke ruang UKS. Jangan beranggapan jika laki-laki itu merasa bersalah, ia hanya takut Pak Adam mengetahui ini dan mengadukannya kembali pada Ayahnya.
Bastian terus melangkah dan berhati-hati saat berjalan menuruni tangga. Ah sungguh, ia menyesal membawa gadis itu ke gudang. Ini benar-benar melelahkan, ia jadi harus membawa beban dari lantai tiga ke lantai satu. Makin bertambah saja rasa bencinya karena ini. Bastian juga masih heran kenapa Aleta pingsan seperti ini. Padahal yang ia lakukan hanya menyundutkan rokoknya barusan.
"Udah cacat, lemah mental pula!" gumam Bastian.
_________
Mata Aleta mengerjap, mencoba menyesuaikan silau lampu yang menembus kelopak matanya. Ketika matanya terbuka dengan sempurna, ia terlonjak kaget dan terbangun dari posisi tidurnya. Kenapa dirinya ada di sini? Bukannya tadi ia ada di gudang?
Aleta turun dari kasur dan ke luar dari bilik kamar. Ia juga meringis merasakan sesuatu yang melepuh di lehernya. Ini sangat perih. Langkahnya sedikit gontai dan menghampiri Dokter Angga yang sedang duduk di kursinya.
"Terima kasih, Dokter," ujar Aleta dengan bahasa isyarat.
"Kamu udah sadar?" tanya Dokter Angga, dan Aleta mengangguk dengan senyum yang terpatri.
"Tadi Bastian yang bawa kamu ke sini. Kalian deket, ya? Tapi kenapa kamu bisa deket sama anak nakal kayak Bastian?"
Aleta sempat terkejut jika ternyata laki-laki itu yang membawanya ke sini. Aleta mengambil pulpen dan menuliskan sesuatu di kertas.
'Aku gak deket sama dia kok, Dok.'
Dokter Angga melihat tulisan itu dan menganggukkan kepalanya. Setelah itu Aleta membungkukkan tubuhnya untuk pamit pada Dokter itu.
Aleta berjalan ke luar UKS menuju kelasnya. Sungguh, ia takut untuk bertemu dengan laki-laki itu. Meski memang dia yang membawanya ke ruang UKS, tapi kan dia juga yang membuat Aleta menjadi seperti ini. Aleta memiliki fobia Claustrophobia yaitu jenis fobia yang takut pada ruangan tertutup tanpa jendela.
Kini dia sudah tiba di kelas. Karena jam pelajaran juga masih berlangsung, Aleta mengetuk pintunya dahulu sebelum masuk ke sana. Semua murid langsung melihat ke arah Aleta, dari depan kelas ia juga bisa melihat Bastian yang sibuk dengan pena-nya.
"Dari mana aja kamu?" tanya Bu Sila menghentikan sejenak sesi pelajarannya.
"Dia dari UKS, Bu!" teriak Bastian, dan Bu Sila langsung menolehkan kepalanya ke arah murid itu. "Saya sendiri yang barusan bawa dia ke sana," tambahnya.
"Oke, sekarang kamu duduk." Aleta mengangguk dan berjalan ke tempat duduknya.
Saat sudah sampai di mejanya, ia sempat melihat gambar hasil karya Bastian. Semuanya tampak luar biasa. Dengan hati-hati ia duduk di sebelah laki-laki itu. Aleta mengeluarkan bukunya untuk mengikuti mata pelajaran saat ini. Namun di saat ia tengah fokus memperhatikan Bu Sila, ia merasakan laki-laki itu mendekat dan berbisik di telinganya.
"Lu utang sama gua," bisik Bastian kembali menjauhkan kepalanya.
Aleta menoleh. Ia benar-benar tidak mengerti jalan pikiran laki-laki ini. Apa dia juga tidak merasa bersalah sama sekali? Ini semua kan terjadi karena ulahnya. Kenapa jadi Aleta yang harus berhutang? Meski begitu kepalanya tetap mengangguk, daripada ia harus menerima hal yang lebih mengerikan lagi.
Bastian memberikan baju yang baru saja ia ambil dari tasnya. "Cuciin baju gua."
Aleta mengambil bajunya dari tangan laki-laki itu dan memasukkannya ke dalam tas miliknya. Pasrah, itu Aleta saat ini.
"Istirahat nanti beliin gua makanan. Gua males ke kantin," suruh Bastian, dan lagi-lagi Aleta mengangguk.
Laki-laki itu kembali pada aktivitasnya-menggambar. Ekor mata Aleta juga menangkap Bastian yang begitu serius dengan kertas-kertasnya. Aleta jadi ingin menggambar juga, tapi imajinasinya tidak sebaik imajinasi milik Bastian. Ia bingung harus objek seperti apa yang perlu dituangkan pada kertasnya. Aleta berpikir sebentar dan kepalanya malah memikirkan laki-laki di sebelahnya ini. Sepertinya ia akan menjadikan Bastian sebagai objek gambarnya. Ia juga akan memberikan ini sebagai tanda terima kasih.
Dua sejoli yang duduk satu meja ini, sibuk pada dunianya tanpa mempedulikan Bu Sila yang sedang menerangkan.
Dirinya kini mulai fokus mencoret-coret kertas dan sesekali ia juga melirik ke arah Bastian untuk melihat bentuk atau lekuk wajah laki-laki itu. Setelah beberapa menit menuangkan isi pikirannya, kini ia menyelesaikannya. Ia berharap Bastian akan menyukai ini. Tidak harus suka sih, yang terpenting menghargai.
Aleta menepuk pundak laki-laki itu, dan sekarang ia menoleh. "Apa?"
Bastian terkejut saat melihat Gadis itu memberikan robekkan kertas yang berisi gambar dirinya. Dengan cepat ia menyambar kertas itu dan memperhatikannya lama. Ia menoleh sekilas pada Aleta dan kembali melihat gambarnya. Ia tidak menyangka gadis itu juga pandai dalam hal ini. Berarti mereka memiliki hobi yang sama, kan? Di bawah gambarnya juga terdapat tulisan Makasih udah bawa aku ke UKS. Perlahan bibirnya tertarik ke atas, ia menyukai gambar ini. Sangat. Ia menyelipkan kertasnya pada sebuah buku yang tebal. Bastian akan menyimpan ini dengan baik.
__________
Aleta kini sedang berjalan ke kelasnya setelah membelikan makanan dari kantin. Ia membeli ini untuk Bastian, sebenarnya Zian juga menitip. Jadi, Aleta membeli makanan untuk dua laki-laki menyebalkan.
Sambil terus melangkah, ia malah teringat wajah Bastian yang tersenyum karena hasil gambarnya itu. Aleta senang, dia tidak merobek kertas itu. Meskipun Bastian tidak mengatakan apa pun, tapi bisa terlihat jelas jika dia menyukainya dan akan menyimpan gambarnya.
Setelah tiba di kelasnya, ia tidak melihat ada Bastian di dalam. Aleta berjalan ke kursi Zian dan memberikan makanannya pada laki-laki itu.
"Thanks," gumam Zian fokus bermain pada ponselnya.
Aleta mengangguk dan kembali berjalan ke mejanya. Ia duduk di tempatnya dan menyimpan makanan Bastian di area meja laki-laki itu, sedangkan Aleta mengambil bekalnya di tas, dan memakannya dengan lahap. Sambil menikmati makanannya, Aleta memainkan ponselnya untuk mencari tempat-tempat yang bagus sebagai objek potretnya. Dengan sesegera mungkin, Aleta akan meminta garansi untuk kameranya.
Aleta merasakan kursi sebelahnya berdecit, dilihat dari ekor matanya sudah pasti itu Bastian. Ia tetap fokus pada ponselnya dan menyuapkan makanan beberapa kali. Namun, seketika ada benda kecil yang dilempar dari laki-laki sebelahnya.
"Salep buat leher lu," ucap Bastian dengan tatapan dinginnya. Sebenarnya ia gengsi memberikan itu, tapi ada sedikit perasaan bersalah pada Aleta.
Aleta mengambil obat itu, ia tidak menyangka ini. Apa laki-laki itu ke luar hanya untuk membeli obat cream ini? Apa itu berarti dia juga merasa bersalah? Meski tidak tahu alasannya, Aleta tetap merasa senang.
"Terima kasih."
Bastian menatap gadis itu berbicara dengan bahasa yang tidak ia mengerti. Tapi, ia merasa jika itu ucapan terima kasih.
"Beberapa hari ke depan, lu bakal jadi budak gua. Karena lu masih punya utang sama gua. Inget itu ya, Cacat," ujarnya mendorong tempat makan Aleta hingga terjatuh ke lantai, dan membuat nasinya berserakkan di bawah.
Aleta tersentak. Ia pikir Bastian akan berhenti melakukan hal buruk padanya. Tapi,, kenyataannya? Laki-laki itu sama sekali tidak pernah peduli padanya. Ia benar-benar lelah menghadapi Bastian yang kasar seperti ini. Aleta sangat ingin pindah ke sekolah lain. Sungguh! Ia benci di sini. Tapi, di sisi lain ia tidak bisa memberitahu Ayahnya tentang perundungan yang ia alami. Karena sejak awal, Aleta sudah bilang pada ayahnya, jika ia merasa nyaman sekolah di tempat ini.