Gadis itu menatap kursi sebelahnya, sudah tiga hari Bastian tidak masuk sekolah. Semenjak kejadian lalu-saat Zian berteriak keras di kantin dan berkata jika ia meracuni Bastian, Aleta benar-benar tidak memiliki teman. Apalagi laki-laki itu sudah tiga hari absen, semakin yakin saja para murid jika Aleta benar meracuninya. Padahal sebenarnya Bastian terkena alergi. Dan belakangan ini juga, Zian seringkali mengganggu dirinya. Entah itu saat berangkat sekolah, istirahat, ataupun sepulang sekolah. Tapi, hari ini Zian juga absen sekolah.
Bisa dibilang hari ini menjadi hari keberuntungan bagi Aleta. Karena, tidak ada yang mengganggu dirinya. Andai saja setiap harinya tenang seperti ini, ia pasti bisa menjalankan sekolahnya dengan bahagia. Tidak harus punya teman, yang penting hidupnya tentram. Itu sudah cukup bagi gadis bernama Aleta ini.
Dan sekarang sudah waktunya pulang. Jika biasanya Aleta ingin cepat-cepat ke rumahnya, kini ia sengaja untuk pulang telat, ia ingin berjalan-jalan sembari mencari objek yang bagus untuk memotret. Kakinya terus melangkah dan berjalan sesuai arus. Senyumnya tidak luntur sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya juga Aleta memotret setiap objek seperti langit, gedung, dan tempat bagus lainnya.
Sudah hampir satu jam lebih ia berkeliling kota dengan jalan kaki, kini ia masuk ke dalam cafe untuk beristirahat sekaligus menghilangkan dahaganya.
________
"Nanti malem kita kesana, kan?" tanya salah seorang laki-laki dengan segelas Flat white yang baru ia seruput.
"Iya."
"Oke. Eh tapi, Bas. Alergi lo juga udah sembuh, kenapa lo gak sekolah?"
Bastian menghembuskan napasnya berat, tubuhnya juga ia sandarkan pada kursi. "Gua lagi ribut sama bokap." Laki-laki itu meminum habis Espresso-nya.
Zian menghembuskan napasnya kasar, kalau urusannya sudah dengan Ayah Bastian, ia hanya bisa pasrah. "Berarti besok lo masih bolos?"
Bastian hanya mengangkat bahunya. "Liat besok."
"Atas nama Aleta!"
"Eh?" Mereka berdua agak terkejut mendengar suara speaker.
"Aleta si cacat bukan, ya?" Bastian mengalihkan pandangannya ke meja kasir menunggu seseorang yang mengambil pesanannya. Begitu juga dengan Zian, ia ikut memperhatikannya.
Selang beberapa detik, keduanya tersenyum saat Aleta yang mereka kenal lah yang mengambil pesanannya itu.
"Samperin gak?" tanya Zian.
Tanpa menjawab pertanyaan Zian, Bastian langsung beranjak dari kursinya dan berjalan menuju meja Aleta. Namun, Zian hanya diam dan melihat mereka dari jauh. Terlihat tubuh Aleta menegang saat melihat Bastian sudah dekat dengan mejanya.
"Lama gak ketemu." Bastian menarik kursi dan duduk di hadapannya. "Lu kangen gua, gak?" tanyanya dengan bibir yang tersenyum miring. "Oia,, gua lupa, lu gak bisa ngomong." Bastian merasa senang saat melihat gadis itu sedang ketakutan.
Pandangannya beralih pada kamera yang berada di meja. Ia langsung menyambar kamera digital tersebut dan melihat semua hasil jepretannya. Tanpa Bastian sadari, bibirnya tersenyum kala melihat hasil foto jepretan Aleta. Bahkan Aleta pun sejenak terkesima dengan senyuman yang terlihat tulus itu.
Cekrek!
Bastian dengan tiba-tiba memotret Aleta yang berada di depannya. Gadis itu sempat terkejut, namun tetap diam tidak melakukan apapun. Masih tidak ada pergerakkan apa pun dari Bastian, laki-laki itu malah asyik melihat-lihat koleksi foto milik Aleta. Bastian seperti terhipnotis dan fokus pada kameranya. Kira-kira hingga beberapa menit ia teralihkan pada benda itu.
Apa dia juga tertarik sama fotografi? batin Aleta.
Sebenarnya Aleta cukup lega saat tahu Bastian sudah baik-baik saja, dan laki-laki itu juga tidak membahas tentang Alergi tiga hari yang lalu. Lagipula itu kesalahannya, jika Bastian alergi pada makanannya mestinya Bastian tidak memakan itu. Jadi, Aleta tidak bersalah sama sekali, kan?
Duk!
Bastian sedikit melempar kamera itu ke meja. "Foto lu keren-keren," puji Bastian.
Aleta yang barusan sempat kaget langsung tersenyum tipis dan mengangguk. Ia senang hasil jepretannya disukai, bahkan tidak menyangka jika laki-laki itu memujinya.
Namun, tiba-tiba hal tidak terduga terjadi. Bastian mengambil gelas Aleta dan menumpahkan isinya pada kamera tersebut. Aleta menganga terkejut melihat dia melakukan itu, sungguh tega.
Saat Bastian melakukan itu, terdengar suaranya tawaan dari jauh yaitu suara Zian.
"Sorry, gak sengaja. Sampai ketemu besok, Cacat," pamitnya lalu pergi dari hadapan Aleta.
Aleta menggigit bibirnya, berusaha untuk menahan tangisnya. Laki-laki itu sudah merusak kameranya, ia berpikir akan memberikan pelajaran pada Bastian. Dengan memantapkan niatnya, ia berdiri dan mendekati meja Bastian.
"Apa? Lu mau apa?" tanya Bastian mendongak melihat gadis itu berdiri di samping kursinya.
Aleta mengambil cangkir kopi milik Bastian lalu melempar isinya ke baju Bastian. Laki-laki itu langsung terkejut, sontak ia berdiri dan menatap Aleta dengan sangat tajam. Beberapa pelanggan juga menyaksikan kejadian itu.
Namun, tanpa berkata apa-apa, Bastian kembali duduk. Aleta juga segera Pergi dari hadapan laki-laki itu, ia mengambil kameranya yang tertinggal di meja lalu keluar dari cafe tersebut.
"Lu kenapa diem aja, Bas?" tanya Zian heran saat membiarkan gadis itu pergi.
"Bangsat!!" umpatnya sembari menendang kaki meja.
__________
"ARE YOU READY??" teriak Bastian selaku DJ dari atas panggung.
"READY!!! HUUUUU,,,," teriak para penghuni club dari bawah.
Bastian langsung beraksi dengan menggunakan beberapa peralatan yang ada di depannya. Tangannya begitu lihai dengan alat-alat DJ, sesekali dirinya juga ikut menari menikmati musik yang ia buat sendiri.
Gemerlap lampu warna-warni menghiasi setiap sudut Club. Semua pengunjung Club merasa senang bila DJ Bastian yang memimpin musik malam ini. Bastian juga sesekali berteriak memberi semangat bagi para penghuni disini.
Meski ia berada di dalam Club, sebagai DJ ia tidak bisa meminum alkohol, karena musiknya nanti akan menjadi berantakan dan jelek bila ia mabuk.
Sedangkan Zian, laki-laki itu berjoget bersama beberapa gadis di bawah. Berbeda dengan Bastian, Zian justru banyak meminum alkohol. Tidak ada yang bisa menandingi nikmatnya dunia malam, kata mereka.
Sejauh ini acara malam masih berjalan lancar, jarum jam sudah menunjukkan pukul 12 malam. Sudah dua jam ia melakukan tugasnya dengan alat DJ. Kini Bastian sedang duduk di kursi bartender sambil meminum beberapa gelas wine, sedangkan Zian entah apa yang ia lakukan dengan gadis-gadis disini.
Tiba-tiba ada seorang gadis cantik berambut pirang menghampiri Bastian dan langsung memeluk lengannya. "Hai, Sayang. Kamu kemana aja? Baru keliatan lagi, aku kangen," ucapnya dengan begitu manja.
Bastian tersenyum dan merangkul pinggang gadis di sebelahnya. "Yang penting sekarang gua ada di sini, kan?" Bastian mengecup ceruk lehernya. Ia juga rindu pada mainannya ini.
Gadis itu juga mulai nakal, tangannya menyusup masuk ke dalam bajunya dan meraba-raba dada bidang Bastian. Namun, Bastian langsung menahan tangan gadis itu.
"Jangan di sini, Angel." Bastian menarik tangannya dan membawa gadis itu ke dalam ruangan yang sepi.
Angel tersenyum manis, ia tak sabar ingin melakukan itu dengan laki-laki yang tengah menggenggam tangannya. "Aku akan bikin kamu puas malam ini, Bas."
_________
Pagi ini Bastian berangkat ke sekolah. Sebenarnya ia malas, tapi mengingat dendamnya pada gadis cacat itu ia menjadi kesal dan sangat ingin memberinya pelajaran. Hanya butuh waktu sepuluh menit untuk Bastian tiba di sekolah. Ia langsung memarkirkan motornya dan bergegas menuju kelas.
Bibirnya tersenyum saat gadis itu sudah duduk di kursinya. Bastian mempercepat langkahnya menghampiri Aleta yang sedang asyik membaca buku.
Brak!
Bastian menggebrak meja dan membuat gadis itu terlonjak kaget. "Gede juga nyali lu berangkat ke sekolah."
Aleta menunduk, ia juga meneguk air liurnya beberapa kali. Sebenarnya ia pun tidak menyesali perbuatannya itu, menurutnya itu pantas Bastian dapatkan. Tapi, sepertinya Aleta dalam masalah besar kali ini.
Bastian merogoh sesuatu dari dalam tasnya dan melemparnya tepat ke wajah Aleta. "Cuci baju gua!!"
Gadis itu mengambil baju yang menutupi wajahnya setelah itu melemparnya ke lantai. Toh dia juga merusak kameranya, kenapa Aleta harus bertanggung jawab atas bajunya? Jika ia bisa berbicara, tentu saja akan banyak makian yang ia keluarkan untuk Bastian.
Bastian terkekeh kala melihat gadis itu sedikit berani, ia langsung menyambar tangan Aleta dan membawanya ke suatu tempat.
Aleta pun bersikeras untuk melepaskan genggamannya, laki-laki itu terus berjalan sambil mencengkram kuat pergelangan tangan Aleta. Sekolah juga masih terlihat sepi, jadi tidak ada yang melihat mereka berdua.
Mereka sudah tiba di suatu tempat, yakni gudang atas. Gudang ini sangat jarang dilewati oleh orang-orang di sini. Bastian menghempaskan tubuh Aleta ke dalam dan membuatnya tersungkur di bawah. Ia juga masuk ke dalam gudang dan menutup pintunya rapat.
Ctak!
Bastian menekan saklar lampu sehingga ruangan ini terlihat lebih terang, walaupun sedikit meremang. Bastian berjalan mendekati Aleta, sesekali ia juga meregangkan otot-otot lehernya.
Aleta segera berdiri dan mundur perlahan, ia takut, sangat takut. Namun sialnya, Aleta malah merasa punggungnya menyentuh dinding. Terlihat jelas senyum mengerikan dari wajah laki-laki itu. Dan dia juga menyalakan sebatang rokok. Aleta membeku saat laki-laki itu semakin dekat dengannya.
Bastian menghimpit tubuh Aleta di sudut ruangan. Ia mengeluarkan asap rokoknya di wajah Aleta dan membuat gadis itu terbatuk beberapa kali. Bastian mengapit kembali rokoknya di mulut dan sekarang menahan kedua tangan Aleta di atas kepala dengan satu tangannya.
Laki-laki itu mengambil rokok di mulutnya lalu menempelkan ujung rokok tersebut pada leher Aleta dan menekannya. Seketika gadis itu berteriak kesakitan merasakan panasnya ujung rokok di area kulit lehernya.
"Perih?" tanya Bastian menginjak rokoknya yang baru saja ia buang.
Aleta menangis, seharusnya kemarin Aleta tidak boleh memberanikan dirinya untuk melawan laki-laki di hadapannya ini. Pada akhirnya ia sendiri yang akan merasakan akibatnya jika berani melawan.
"Masih berani ngelawan?"