Tamu yang di undang sudah hadir malam itu. Selain kawan sekolah Diao Chan, nampak juga beberapa rekan kerja ayahnya. Diao Chan nampak cantik dengan dress yang bertemakan Snow White lengkap dengan mahkotanya. Gadis itu memang menyukai tokoh-tokoh kartun sehingga kali ini ia merengek meminta pakaian yang persis dengan tokoh kartun putri salju. Sedikit kekanakan memang untuk gadis remaja sepertinya. Namun, Diao Chan tak peduli.
Lee Kuan Si datang bersama kakak dan kedua orangtuanya. Wajahnya penuh senyuman, dan saat melihat Diao Chan untuk sesaat ia merasa sedikit gugup. Namun, ia teringat ketika ia tak sengaja mendengarkan isi hati gadis itu.
"Cantiknya calon menantuku ini," ujar Cha Yujin sambil memeluk Diao Chan.
"Bibi ini, bisa saja. Terimakasih, bibi Cha. Mana kak Kuan dan kak Jian juga paman Lee?" tanya Diao Chan. Cha yujin langsung menunjuk suami dan anaknya yang nampak sedang menikmati hidangan makan malam yang telah di sediakan dan bergabung dengan tamu yang lain. Bukan hal yang sulit sebetulnya bagi Yukio untuk mengadakan ulang tahun putrinya di hotel berbintang yang mewah. Namun, Diao Chan menolak.
"Halaman rumah kita juga luas ayah. Kita hanya tinggal mendekorasinya, lalu menyewa tenda untuk pesta kebun. Lagipula, aku suka keindahan malam di halaman rumah kita. Aku bisa menikmati keindahan sinar bulan dan bintang."
Dan, akhirnya Yukio dan Sun Xia hanya bisa mengikuti keinginan Diao Chan.
Dan saat melihat tamu yang di nanti sudah datang, acara puncak pun langsung di mulai.Setelah menyanyikan lagu selamat ulang tahun, dan meniup lilin, Diao Chan pun memberikan potongan kue pertama pada kedua orang tuanya. Dan, potongan kue keduanya dengan sedikit ragu, ia menghampiri Lee Kuan Si dan memberikan potongan kue kedua itu pada pemuda tampan bertubuh tinggi itu. Sekilas Kuan Si melihat kalung yang ada di leher Diao Chan. Entah mengapa ia merasakan dejavu. Dan, tanpa di duga ia memeluk gadis cantik di hadapannya itu dengan erat. "Aku mencintaimu," ucapnya yang tentu saja membuat kedua orang tuanya tersenyum bahagia.
***
Kim Min Jae dan Eun Tak menatap Hyun Jae yang nampak kurang bersemangat. Wajahnya kelihatan seperti kurang tidur dan matanya sembab.
"Hyun, kau sakit?" tanya Kim. Hyun Jae menggeleng. "Aku baik- baik saja, bu. Hanya, semalam aku bermimpi lagi. Dan, aku jadi tidak bisa kembali tidur."
"Mengapa kau jadi sering bermimpi Hyun? Rasanya, kau jadi sering bermimpi sejak ibu hampir meninggal waktu itu."
"Sepertinya begitu, bu. Entahlah, beberapa hari sejak kejadian itu aku merasakan ada sesuatu yang hilang. Aku merasa ada sesuatu yang aku lupakan. Dan, aku seringkali merasa rindu. Tapi, aku sendiri tidak tau siapa yang aku rindukan." ujar Hyun Jae.
Kim menghela napas. "Berusahalah untuk melupakan sejenak mimpi- mimpi itu Hyun. Ayo, sekarang kau makan yang banyak. Bukankah ini adalah hari pertamamu menjalani pendidikan dan berangkat ke asrama?"
"Iya, bu. Ibu tenang saja, ya. Aku tidak apa- apa kok. Lihat, aku makan banyak- banyak ya," ujar Hyun Jae. Ia pun makan dengan lahap. Sebenarnya, ia malas untuk makan.Tapi,ia tidak mau ibunya kecewa karena ia menyia-nyiakan masakannya. Apalagi, mulai hari ini ia akan tinggal di asrama dan hanya pulang seminggu sekali.
Setelah selesai sarapan, dengan semangat yang kembali menyala Hyun Jae pun pamit Hyun Jae akan tinggal di asrama sampai pendidikannya selesai. Ia akan berkumpul dengan siswa siswi lainnya terlebih dahulu baru mereka akan bersama- sama naik bus ke asrama.
Hyun Jae memutuskan untuk melewati jembatan penyeberangan saja. Entah mengapa hari ini ia ingin sekali melewati jembatan penyeberangan.
Saat ia berjalan, pandangan matanya teralihkan pada seorang wanita tua. Wanita itu menggelar tikar di atas jembatan penyeberangan itu. Ia menaruh barang- barang dagangannya. Entah mengapa Hyun Jae begitu tertarik melihat barang dagangannya. Hyun Jae pun berhenti dan mampir. "Apa saja yang kau jual, bibi? Apakah ada barang yang cocok untukku beli?" tanya Hyun Jae dengan ramah. Wanita tua itu tersenyum. Hyun Jae melihat ada banyak aksesoris cantik yang di jual bibi itu.
"Ini akan lebih pantas untuk kau pakai. Kalung ini sudah lama mencari pemiliknya," ujar wanita itu sambil menyerahkan kalung yang hiasan berbentuk bulan sabit kepada Hyun Jae.
"Pakailah, tidak apa- apa meski kau pakai bersamaan dengan kalung pemberian bibimu."
.
Hyun Jae mengerutkan dahinya. Bagaimana wanita itu tau, bahwa kalung yang Hyun Jae pakai adalah pemberian bibinya. Hyun Jae tersenyum lalu memakai kalung dengan hiasan bulan sabit yang di berikan wanita itu. Entah mengapa saat memakainya Hyun Jae merasa menemukan sesuatu yang hilang.
"Dia akan kembali kepadamu tak lama lagi. Saat ini dia sedang menjalankan beberapa tugas. Tapi, ia akan kembali memenuhi janjinya kepadamu."
"Maksud bibi? Dia siapa?" tanya Hyun Jae tak mengerti.
"Kau pasti akan mengerti nanti, Hyun Jae."
"Bagaimana bibi tau namaku?"
Wanita tua itu hanya tersenyum. "Pergilah sekarang, Hyun Jae. Nanti kau bisa terlambat."
"Ah, berapa harga kalung ini?"
"Tugasku hanya mengembalikan kalung itu kembali kepada pemiliknya. Jadi, kau tidak perlu membayarnya."
"Kalau begitu terimakasih, bibi. Sampai jumpa."
"Sampai jumpa."
Hyun Jae pun beranjak dan segera berlalu dari sana. Setelah beberapa langkah, penasaran Hyun Jae menoleh. Namun, kembali dahinya berkerut. Wanita tua itu sudah tidak ada di tempatnya tadi.
****
Yue Liang berjalan perlahan mengikuti kemana Gong Ming membawanya.
"Jangan dulu kau buka matamu," ujar Gong Ming.
"Sebenarnya kita mau kemana?"
"Sebentar lagi sampai."
Setelah sampai Gong Ming pun membuka penutup mata Yue Ling. Dan, gadis cantik itu menjerit tertahan saat melihat bunga- bunga anggrek yang cantik, kembang api dan lampion- lampion cantik di hadapannya.
"Kita akan menerbangkan lampion- lampion itu. Juga menyalakan kembang api itu. Dan, aku punya sesuatu untukmu." ujar Gong Ming.
"Masih ada?"
Gong Ming mengangguk dan mengeluarkan sesuatu. Yue Ling tersenyum saat melihat sebuah kalung dengan hiasan liontin berbentuk bulan Sabit. Perlahan, Gong Ming memakaikannya di leher jenjang Yue Ling.
"Aku mencintaimu," ujar Gong Ming.
"Aku juga..."
Dan, sepanjang malam itu mereka menerbangkan lampion- lampion yang sudah berisi kertas permohonan ke langit. Mereka juga menyalakan kembang api, sehingga membuat suasana malam menjadi lebih terang dan hangat dengan warna warni yang cantik.
"Apa permohonan yang kau tulis?" tanya Gong Ming.
"Aku akan memberitahu jika kau sudah memberitahu apa permohonanmu."
Gong Ming tersenyum, "Aku memohon pada dewa supaya kita bisa selalu bersama, pada kehidupan ini dan kehidupan selanjutnya. Jika kelak aku reinkarnasi, aku ingin menjadi belahan jiwamu. Di manapun kau berada, aku akan selalu mencari jiwamu."
"Aku memohon, supaya aku selalu bisa melihatmu."
"Hanya itu?"
"Ya, hanya itu. Sesederhana itu."
Gong Ming memeluk Yue Liang. "Aku akan selalu setia dan menjagamu."
Bulan dan bintang menjadi saksi janji mereka untuk saling menjaga, saling mencintai.
***
Lee Kuan Si melepaskan pelukan dan mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya. Ia menatap Diao Chan penuh kelembutan.
"Mungkin selama ini aku terlalu takut untuk menyatakan perasaanku sendiri dan aku selalu saja mengganggu dirimu. Bahkan sejak kecil mungkin kau menganggap aku sangat menyebalkan. Aku minta maaf Diao Chan. Tapi, malam ini, aku ingin menyudahi semuanya.
"Sebenarnya, saat aku berkata kau jelek, kau itu sangat cantik, hanya saja aku terlalu gengsi mengakui. Saat aku mengatakan kau menyebalkan, aku sesungguhnya sedang merindukan dirimu. Dan, saat aku bersikap tak acuh padamu, sebenarnya saat itu aku sedang cemburu, karena perhatian dirimu terbagi tidak hanya tertuju padaku. Aku cemburu jika kau dekat dengan Lee Jian Si kakakku sekalipun. Aku juga kesal jika kau tersenyum manis pada pemuda lain yang terang- terangan menyukaimu. Aku hanya mau kau menjadi milikku.
"Jadi, malam ini aku memberanikan diri untuk mengutarakan isi hatiku di hadapan kedua orang tua kita. Maukah kau menjadi kekasihku? Ah, tidak. Calon istri saja. Dan maukah kau menunggu untuk aku menyelesaikan pendidikanku terlebih dahulu baru kemudian kita menikah? Aku ingin menjadikan dirimu satu-satunya ratu di hidupku. Satu-satunya wanita yang aku cintai setelah ibuku. Bisakah?" Ujar Lee Kuan Si dengan suara lantang.
Diao Chan menatap Kuan Si tak percaya. Kedua netranya berkaca- kaca. "Kau mau kan menjadi penjaga hatiku, Diao Chan? Kalau kau mau, terima kotak ini, lalu pasangkan cincin yang satunya kepadaku. Supaya aku bisa memasangkan yang satu di jarimu. Tapi, jika kau menolak pasangkan kedua cincin itu padaku."