Chereads / THE LOVE TRIANGLE | TLT / Chapter 9 - Chapter 09

Chapter 9 - Chapter 09

"Berjanjilah bahwa kau tidak akan pernah lagi menyakiti dirimu sendiri seperti ini." Pinta Calista yang tidak mendapati jawaban dari sang kakak. Calista mendongak berpadukan dengan tatapan penuh permohonan. Sang kakak tersenyum berpadukan dengan uluran tangan mengusap lembut puncak kepala sesekali mengecupinya dengan penuh rasa sayang.

Aku tahu bahwa kau memang memiliki tingkat emosi terburuk. Tapi, aku tidak akan pernah rela jika kau menyakiti dirimu sampai terluka parah seperti ini. Batin Calista. Seketika matanya memanas. Tidak mau air mata bodoh tersebut mencuat keluar dan mengaliri pipi mulus. Dia pun berusaha mengerjap berulang kali.

Paham dengan yang dirasakan oleh sang adik tercinta. Sebelah tangan kekar terulur merengkuh tubuh ramping di antara lengan kekar, sesekali mengecupi puncak kepala dengan penuh kelembutan dan kasih sayang.

Calista mengurai pelukan. Ditatapnya sang kakak dengan tatapan dalam dan lama. Setelahnya tatapannya beralih pada jemari kekar yang terluka. Dibawanya jemari tersebut mendekat ke arah bibir lalu, dikecupinya dengan penuh kelembutan.

Tanpa dapat tertahankan lagi setetes air mata telah mengalir hingga mengenai permukaan kulit. Refleks Calvino tersentak. Jari telunjuk terulur menekan dagu membawa siluet abu - abu kembali beradu tatap dengannya. Dengan penuh kelembutan di usapnya bulir - bulir air mata dengan ibu jarinya.

"Kakak, paling ga suka melihat kristal bening membasahi pipi mu yang putih mulus ini, sayang. Berjanjilah bahwa kau tidak akan pernah menumpahkannya lagi untuk alasan apapun."

Bibir ranum mengurai senyum miris. "Untuk apa aku harus berjanji, huh? Sementara kau sendiri tidak mau berjanji untuk ku."

Siluet coklat menggeliat gusar. Sorry, Earl. Permintaan mu ini sangat sulit. Kakak, tidak bisa berjanji untuk hal satu itu. Gumamnya dalam hati.

Bermanjakan pada sikap sang kakak telah mengiringi bibir ranum kembali mengukir senyum miris. "Kita ini saudara kembar. Kita bisa saling merasakan perasaan satu sama lain. Kita terbiasa berbagi apapun itu. Kita-"

"Apa maksud dari perkataan mu?" Potong Calvino.Terdengar suaranya sedikit menajam menyirat akan rasa tak suka.

Hembusan nafas lelah mengiringi deru nafas Calista berpadukan dengan lirikan tajam. "Tanpa ku katakan. Kau tentu tahu apa maksud ku."

Aku tahu, Earl. Sangat tahu. Tapi, untuk masalah satu ini lebih baik kau tidak tahu. Aku tidak mau menyeret mu merasakan kepedihan yang ku rasakan. Batin Calvino sedih.

Tidak mau terseret ke dalam perbincangan yang semakin menyudutkannya. Dia pun berusaha mengalihkan topik. "Bagaimana hubungan mu dengan lady killer?"

Calista mendongak. Siluet abu - abu menggeliat rasa tak suka. "Dia bukan lady killer. Cabut kata - kata menjijikkan itu dari mulut mu, Kak Calvin"

"Earl ... Earl ... lalu, apa namanya kalau bukan lady killer." Mencondongkan wajahnya ke depan berirama bisikan. "Buka mata mu lebar - lebar dan lihat bahwa lelaki yang kau cintai dengan sangat dalam ... " seketika menghentikan kalimat ketika mendapati bibirnya hampir saja keceplosan mengungkap tentang perselingkuhan yang telah Leonard lakukan.

Gusar, itulah yang Calvino rasakan sehingga terpaksa menelan kasar saliva bermandikan ketajaman dari siluet abu - abu.

"Ini sudah larut malam. Sebaiknya kau pergi tidur."

"Aku paling tidak suka ada pembicaraan buruk tentang kekasih ku."

"Hh mm."

"Aku tahu kalian tidak akur. Tapi, ketahuilah satu hal bahwa tak sekalipun Leo menjelekkan tentang mu!"

"Tidak ada satu pun kejelekan tentang ku lalu, apa yang mau dia ungkap, hah?" Kau terus saja membelanya. Menyebalkan! Lanjutnya dalm hati.

Enggan bertengkar dengan sang kakak. Dia pun menyudahi perbincangan tentang Leonard.

"Malam ini aku tidak mau tidur sendiri. Bolehkah kalau aku tidur bersama mu? Aku ingin menumpahkan kerinduan ku dengan memeluk mu." Pintanya dengan sangat manja.

Hembusan nafas berat mengiringi deru nafas Calvino. Jujur, dia juga sangat merindukan sang adik, akan tetapi di usia yang sama - sama sudah dewasa pantaskah kalau mereka tidur dalam satu ranjang dan dalam posisi yang ...

"Apa yang kau pikirkan, huh?" Sembari mengangkat sebelah alisnya.

"Permintaan mu." Singkat, padat, jelas, itulah kalimat yang meluncur dari bibir kokoh.

"Jadi, kau merasa keberatan dengan permintaan ku, hum?"

"Kita sudah sama - sama dewasa, Earl. Tidak sepantasnya kalau kita tidur dalam-"

"Aku tidak meminta tidur di ranjang mu, tapi ... "

"Tapi apa?" Desak Calvino dengan tak sabaran.

Calista langsung membaringkan tubuhnya dengan kepala menyandar diatas pangkuan sang kakak. Bermanjakan sikap sang adik yang sangat manja telah mengiringi bibir kokoh mengukir senyum bahagia. Diusapnya puncak kepala Calista dengan penuh rasa sayang.

"Aku tahu bahwa setelah ini punggung mu akan terasa sakit dan pegal - pegal. Tapi, aku benar - benar merindukan mu." Menghujani sang kakak dengan tatapan bersalah sambil menggigit ujung bibirnya.

"Tidurlah!" Mengusap puncak kepala berulang kali. Rasa damai yang menyergap Calista telah mencipta rasa kantuk sehingga tanpa butuh waktu lama dia pun sudah terlelap mengarungi mimpi indah. Padahal, tadinya banyak sekali yang ingin dia bicarakan dengan sang kakak. Huh, nyatanya dia pun dikalahkan oleh rasa kantuk.

Berbeda dengan Calista yang sudah terlelap didalam tidurnya. Calvino justru masih terjaga. Ditatapnya wajah sang adik yang sedang tertidur pulas. "Aku tahu bahwa kau pasti tahu betul akan kemiripan antara Kiara, dan juga Samara. Tapi, kenapa kau merahasiakan hal sebesar ini dariku, Earl? Kenapa?" Lirihnya.

Hambusan nafas lelah kembali meyergap ketika bayangan itu kembali berputar - putar di dalam benaknya bagai kaset rusak.

Calvino terlihat menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa dengan kedua mata menatap langit - langit ruangan. Sialnya, bayangan demi bayangan dari masa lalunya semakin terlihat nyata.

Siluet coklat memejam mencoba menepis bayangan yang terasa menyakitinya dengan sangat dalam. Menenggelamkannya diantara duri pesakitan.

Mau sampai kapan kau akan terus menyiksaku seperti ini, Samara? Mau sampai kapan, sayang? Gumamnya dalam hati.

Entah sudah berapa lama larut ke dalam lamunan berselimut kesedihan mendalam. Yang jelas ponselnya berdering dengan menampilkan nama Lenata. Tidak mau terlibat perbicangan panjang lebar dengan wanita yang berstatus sebagai kekasihnya tersebut. Dia pun terkesan mengabaikan panggilan.

Bukannya dia sengaja ingin mengabaikan Lenata. Hanya saja wanita yang kental dengan adat ketimuran tersebut sangat peka sehingga bisa mencium keadaannya yang sedang tidak baik - baik saja.

"Sorry, Len. Sorry. Good night, sayang. Sweet dream." Lirihnya sambil mencium foto Lenata pada layar ponselnya.

Setelahnya dia pun kembali menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa dengan mata terpejam. Sayangnya, pikirannya kembali berpusat pada Samara. Tanpa dapat tertepis lagi dia pun kembali terseret ke dalam rasa bersalah berkepanjangan.

Ingin rasanya melampiaskan dari kesakitan yang terus menerus membelenggu. Sialnya, dengan adanya Calista di dalam pelukan telah mengharuskannya melupakan keinginannya tersebut.

🍁🍁🍁

Next chapter ...