Entah sudah berapa lama tenggelam ke dalam pikiran sendiri yang jelas suara langkah kaki mendekat telah membuat Calvino menolehkan wajahnya. Terlihat langkah kaki gemulai beriringan dengan liukkan tubuh yang terlihat seksi dan juga menggoda.
Seandainya saja Calista tahu bahwa sepasang iris coklat telah menatapnya secara intens. Pasti dia akan langsung berteriak histeris. Sayangnya, dia tidak tahu sehingga dengan gemulai tetap melangkahkan kaki hingga pilihannya jatuh pada sebuah kursi yang berada pada ruangan paling ujung.
Calvino pun tidak ada niatan untuk mendekat kecuali mengamati wajah cantik dari jarak yang tidak terlalu jauh. "Earl ... Earl ... cantik, seksi, menggoda tapi, sayang sekali keras kepala." Ucapnya dengan suara lirih, sangat lirih hingga dia pun terdengar seperti sedang bergumam. Sementara Calista, wanita itu terlihat sedang menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi dengan mata terpejam.
Langkah kaki Calvino mendekat, mengamati kecantikan adiknya dari jarak yang lebih dekat. Kedua tangannya dia sandarkan pada sisi kursi berpadukan dengan wajah mendekat hingga satu kecupan sayang mampir dikening Calista.
Refleks Calista terperenyak. Bersamaan dengan itu langsung melayangkan pukulan pada lelaki yang sudah dengan lancang menodai keningnya. Tak ayal pukulan telak yang telah dia layangkan berhasil membuat tubuh Calvino terhuyung ke belakang. Calista tersentak dan lebih tersentak lagi ketika yang dia pukul adalah kakaknya sendiri yang juga merupakan saudara kembarnya. "Kak Calvin ... "
"Auch," rintih Calvino sembari mengusap mata sebelah kiri. "Kakak, ga nyangka bahwa tangan mu yang ramping ini bisa memukul dengan sangat keras." Ucapnya dengan suara sedikit meninggi.
"Pasti sakit ya? Coba sini Earl lihat mata Kak Calvin berdarah ga?"
"Bukan hanya sakit, Earl." Geram Calvino berpadukan dengan tepisan kasar pada tangan Calista.
"Ih, cemen. Gitu aja kok sakit. Katanya pejantan tangguh tapi, kalah sama perempuan." Cibir Calista.
"Hai, dengar ya Nona Kafeel. Kalau serangan mu tadi tidak mendadak maka, Kakak bisa menangkisnya dengan mudah. Kau ini selalu saja egois dan ingin menang sendiri."
"Salah sendiri pakai acara ngagetin. Lagipula sejak kapan Kak Calvin datang, hah? Kenapa tidak memberitahu kalau mau datang ke, Indonesia?" Berpadukan dengan tatapan menelisik. "Oh, Earl tahu sekarang. Jadi, Putra Kafeel yang sangat tampan dan digilai banyak wanita ini sengaja ingin memata - mataiku, hah? Jawab!"
"Ngacau! Sepertinya Kakak harus mengoprasi otak mu yang cantik ini supaya kuman - kuman yang bersarang di dalam otak mu ini bersih." Sembari menjitak kepala Calista. Tak ayal sang pemilik pun langsung merintih kesakitan.
"Ga usah alay, Earl. Kak Calvin, sangat tahu sekeras apa Kakak memukul mu."
Mendengar penuturan sang kakak yang terdengar sarkastik telah membuat Calista melipat bibirnya ke dalam. "Dasar menyebalkan! Datang ga kasih kabar. Sekarang seenaknya saja bersikap-"
"Apa itu harus?" Potong Calvino.
"Harus dunk. Setidaknya kalau Kak Calvin memberitahu Earl maka, Earl bisa jemput Kakak kan."
"Itu tidak perlu. Sudah ada, Kenan." Ucapnya dengan penuh penolakan.
Benar - benar menyebalkan! Kesal Calista berpadukan dengan bibir dilipat.
"Jangan lagi melipat bibir mu seperti ini, Earl sayang." Berpadukan dengan cubitan gemas pada pipi Calista. Tak ayal cubitan itupun membuat Calista merintih kesakitan. "Ih, selalu saja cubit pipi. Sakit tahu, Kak!" Bentak Calista berpadukan dengan kedua mata melotot hingga hampir keluar dari pemiliknya.
Seolah acuh pada protes sang adik. Kedua tangan Calvino melingkari leher Calista dengan santainya. "Coba katakan sama, Kak Calvin. Kenapa jam segini baru sampai di apartement, huh?"
"Calis kan kerja. Apa maksud Kak Calvin tanya seperti itu?"
"Kakak, ga bermaksud apa - apa sayang. Oh, iya dimana teman mu?" Tanya Calvino sembari memutar bola matanya. "Siapa namanya?" Berpadukan dengan sebelah alis terangkat.
"Kiara."
"Hm, Kiara. Dimana dia?"
Siluet abu - abu menyipit berpadukan dengan kening berkerut. "Mau apa tanya - tanya tentang, Kia?"
"Earl, Kakak kan cuma tanya jadi, apa salahnya?"
Calista mengedikkan bahunya. "Kali aja Kak Calvin mau berbuat macam - macam."
Tatapan Calvino menajam. Tenang saja Earl sayang, Kak Calvin ga akan berbuat macam - macam kecuali ... wanita yang bernama Kiara Larasati itu menyeret mu ke dalam bahaya. Dan jika hal itu sampai terjadi maka, jangan salahkan Kakak kalau ada tindakan yang kamu ga suka. Gumam Calvino dalam hati.
Seolah tahu dengan yang dipikirkan oleh sang kakak, Calista langsung menghujani Calvino dengan kata - kata sarkastik. "Jangan berani berbuat macam - macam apalagi sampai menyentuh, Kiara! Dia itu sahabat ku dan aku sudah menyayangi Kia layaknya kasih sayang ku pada saudara perempuan ku sendiri."
"Kau ini sangat keterlaluan, Earl. Kak Calvin ini bukan penjahat. Tega sekali kau berkata kejam seperti itu."
"Siapa yang bisa menjamin seorang Calvino Luz Kafeel ... " Calista sengaja menjeda ucapannya setelah mendapati tatapan menajam dari sang kakak. Tidak mau terlibat ke dalam perdebatan panjang, Calista pun langsung melenggang ke lantai bawah meninggalkan sang kakak yang masih saja menatap nanar kepergiannya.
Setelah kepergian Calista, Calvino kembali mendudukkan bokongnya pada kursi panjang dan disaat itu pula Kenan datang. "Permisi, Sir."
"Hm." Berpadukan dengan lirikan tajam supaya Kenan segera mengekorinya ke ruang kerja. Sialnya, Calista juga ada disana. Seketika tatapan Calista menajam pada sang kakak dan juga pada Kenan yang berada tepat dibelakang Calvino. "Apa ada hal penting yang ingin Kak Calvin bicarakan sehingga membawa Kenan kemari?"
Calvino mendekat lalu, menghujani puncak kepala dengan usapan sayang. "Kau lebih tahu dari yang ku pikirkan, Earl."
"Lalu?" Tanya Calista dengan mendongakkan wajahnya seolah menantang sang kakak. Calvino pun juga mendekatkan wajahnya berirama dengan bisikan. "Keluarlah dan tunggu Kakak-mu ini di ruang santai. Jangan pergi ke mana - mana sebelum Kak Calvin selesai meeting dengan, Kenan!"
Siluet abu - abu menggeliat rasa tak suka. "Kau selalu saja mendominasi dengan arogansi mu. Kau tak ada bedanya dengan, Papa."
"Hai, dengar ya Earl sayang. Tak seharusnya kau samakan Kakak-mu ini dengan, Papa."
"Suka tidak suka. Itulah kenyataannya, Tuan Calvino."
Calvino tampak mengusap kasar wajahnya. Tatapannya menajam pada sang adik seolah memintanya untuk segera keluar meninggalkan ruangan. Sialnya, Calista seperti tidak memahami tatapan Calvino hingga dia pun terlihat santai disuguhi sikap sang kakak. "Earl, keluarlah sebentar! Ada yang perlu Kak Calvin bahas dengan, kenan."
"Hal penting apa yang akan Kakak bahas dengan Kenan sehingga Earl tidak boleh tahu, hah?"
Mengusap puncak kepala Calista dengan penuh rasa sayang. "Earl, ini masalah perusahaan Kakak di Dubai jadi, keberadaan Earl disini akan percuma karena apapun yang Kak Calvin jelaskan, Earl tidak akan paham."
Calista langsung beranjak dari duduknya bersamaan dengan itu mendekatkan wajahnya pada sang kakak. "Jangan membodohi ku, kak Calvin. Jangan kau lupakan satu hal bahwa kita ini saudara kembar. Tanpa saling mengatakannya pun kita bisa saling merasakan. Dan ... " Calista sengaja menjeda ucapannya berpadukan dengan tatapan menajam penuh ancaman. "Jangan sesekali berfikir untuk mencelakai sahabat ku, Kiara Larasati!" Ancamnya sebelum meninggalkan ruangan dengan membanting pintu di belakangnya.
πππ
Next chapter ...