"Permisi, Sir."
"Ada apa? Cepat katakan!" Tanyanya tanpa mau mengalihkan tatapannya dari dokumen yang sedang diperiksanya saya ini.
"Mr. Emran sudah datang Sir, dan saat ini sudah menunggu di ruangan meeting."
Kalimat yang baru saja menggelitik pendengaran memaksa Calvino melirik pada arah jarum jam dipergelangan tangan. Setelahnya, dia pun tampak merapikan dokumen sebelum melenggang ke ruangan meeting dengan diekori oleh Kenan dibelakangnya.
Emran terlihat berdiri menyambut kedatangan Calvino memasuki ruangan. Bibir Calvino tampak mengulas senyum khas berpadukan dengan uluran tangan yang disambut hangat. "Selamat siang, Mr. Emran. Sorry membuat Anda menunggu lama."
"No problem, Mr. Calvino."
Bibir kokoh kembali mengulas senyum hangat. "Silahkan duduk kembali."
"Terima kasih, Mr. Calvino."
Saat ini keduanya terlibat ke dalam perbincangan serius mengenai kerjasama yang akan segera terjalin dengan Emran Company yang berada di London.
Seharusnya meeting bisa berjalan cepat. Sayangnya, semua tak seperti yang Calvino perkirakan. Meeting berlangsung dengan sangat lama atas beberapa syarat yang telah Emran ajukan.
"Saya harap kerjasama ini tidak hanya dengan Luz Company, Mr. Calvino."
Calvino langsung memicingkan sebelah mata hingga keningnya berkerut. "Maksud Anda?"
Emran tampak mencondongkan wajahnya ke depan berpadukan dengan tatapan menajam. "Demi berlangsungnya kerjasama ini. Besar harapan saya untuk bisa bekerja sama dengan Kafeel Group dan tentunya, Earl Company."
Tak ayal kalimat yang baru saja menyapu pendengaran telah memaksa Calvino menelan kasar saliva. Untuk hal satu ini dia harus membicarakannya terlebih dahulu dengan, Bram. Terutama Earl Company yang telah dihadiahkan secara khusus untuk Calista jika wanita tersebut mengubah keputusannya dengan tinggal di London.
Tatapan Emran menyirat penuh harapan yang sangat besar. "Saya harap keputusan Anda tidak mengecewakan saya, Mr. Calvino."
Sementara itu, Calvino hanya menanggapinya dengan seulas senyum tipis. Sangat tipis hingga Emran saja tidak tahu bahwa Calvino sedang tersenyum.
Jujur, untuk saat ini Calvino benar - benar tenggelam ke dalam dilema. Di satu sisi ada adik tercinta, akan tetapi di sisi lain ada rekan bisnis yang sudah terjalin selama bertahun - tahun lamanya. Ingin rasanya menghubungi Calista terlebih dahulu. Namun, untuk saat ini dia harus mengambil keputusan. dengan segera.
Meskipun berada di dalam dilema, akan tetapi seorang pengusaha muda seperti Calvino sangat bisa menguasai keadaan sehingga lawan bicaranya pun tak mengetahui kebingungannya saat ini.
"Jadi, bagaimana-"
"Kerjasama ini akan segera ditangani oleh, Mr. Kenan." Potong Calvino cepat.
"Terima kasih, Mr. Calvino. Anda tidak pernah mengecewakan saya. Sekali lagi saya ucapkan selamat atas kerjasama yang baru saja terjalin," ucapnya beriringan dengan senyum penuh kemenangan sembari mengulurkan tangan yang langsung disambut hangat. "Saya permisi."
"Silahkan, Mr. Emran. Mari saya antar sampai ke depan." Mempersilahkan kepada Emran untuk berjalan beriringan dengannya.
Tak ayal kedua lelaki muda, tampan, kaya, dan pastinya menyandang gelar billionaire tersebut telah membuat para wanita menjerit histeris.
"Terima kasih atas jamuannya, Mr. Calvino."
"Sama - sama, Mr. Emran. Terima kasih sudah menyempatkan waktu berkunjung."
"Saya harap secepatnya kita bisa bertemu di London. Saya tunggu kedatangan Anda."
"Saya usahakan secepatnya berkunjung." Berpadukan dengan seulas senyum hangat.
Calvino masih saja berdiri di sana hingga mobil yang membawa Emran pergi telah meninggalkan halaman utama Luz Company. Setelahnya, dia pun kembali ke lantai atas dengan diekori oleh Kenan dibelakangnya.
Calvino tampak menghembus nafas berat sembari mengusap kasar wajahnya. Baginya tak masalah jika Kafeel Group bekerja sama dengan Emran Company. Bagaimana pun juga dia lah yang memegang kendali atas berlangsungnya perusahaan tersebut, akan tetapi Earl Company.
Hembuskan nafas lelah tampak mengiringi deru nafasnya. Bersamaan dengan itu pintu ruangan terbuka sehingga bertatapan secara langsung dengan sang ayah yang hendak keluar ruangan. "Papa ... "
"Apakah sudah selesai meeting nya?"
Calvino mengangguk.
Tatapan Bram memicing pada punggung kekar yang berjalan menjauhinya. "Apakah terjadi sesuatu?"
Yang ditanya langsung memutar tubuh. Bibir kokoh tampak mengulas senyum sembari mendudukkan bokongnya pada sofa merah. Sebelah tangan terulur menepuk ruang kosong disebelahnya supaya sang ayah juga mendudukkan bokongnya di sana.
"Kau belum menjawab pertanyaan, Papa. Apakah ada masalah dengan meeting kali ini?"
Calvino tidak juga menjawab kecuali melempari sang ayah dengan tatapan yang sulit diartikan. Dan tentu saja hal tersebut membuat Bram disergap rasa ketakutan berlebih. "Jangan bilang bahwa Mr. Emran menolak kerjasama dengan Luz Company."
"Hal seperti itu tidak mungkin terjadi, Pa."
"Terus?" Desaknya dengan tak sabaran. Bagaimana pun juga Bram harus segera mendapatkan penjelasan.
"Tidak ada masalah apa - apa, Pa. Hanya saja-"
"Apa?" Potong Bram cepat.
Kembali ditatapnya sang ayah dengan ketajaman penuh. "Setali tiga uang."
Tatapan Bram semakin memicing, tidak paham dengan perkataan putra tercinta. "Pakai bahasa yang jelas dan lugas! Jangan memakai peribahasa! Papa, ga paham." Dasar Anak muda! Lnjutnya dalam hati.
Calvino tampak mengulas senyum geli, akan tetapi segera menyembunyikan senyumannya. Terlebih tidak mau dianggap menertawakan kebodohan sang ayah.
"Mr. Emran, tidak hanya menginginkan kerjasama dengan Luz Company."
"Terus?"
"Kafeel Group dan juga Earl Company menjadi incaran."
"Itu berita bagus. Lalu, masalahnya di mana kenapa kau terlihat risau, huh?"
Calvino langsung beranjak dari duduknya. Dia terlihat mendekat ke arah jendela dengan menyandarkan tangannya ke dinding. Sementara itu, tatapannya tampak lurus ke depan bermajakan lalu lalang para pejalan kaki.
"Jangan pernah melewatkan kesempatan emas, Vin."
Calvino langsung menolehkan wajahnya. "Sama sekali tidak, Pa. Hanya saja Calvin merasa lancang pada Earl Company. Bagaimana pun juga perusahaan tersebut milik, Earl. Tidak seharusnya Calvin bersikap dengan sangat lancang tanpa meminta persetujuan Earl terlebih dahulu."
Mendengar penuturan sang putra telah memaksa Bram mendekat ke arah Calvino. Sangat dekat hingga bisa menyentuh pundak kekar membuat sang pemilik menolehkan wajahnya dengan segera.
"Perusahaan tersebut memang akan Papa hadiahkan jika Earl mau mengubah keputusannya dengan tunggal di London. Nyatanya ... "
"Earl, belum memutuskan apa pun. Jadi, jangan tergesa mengambil keputusan."
"Semua ini karena pengaruh lelaki berandalan tersebut."
"Ya, Papa benar. Semua ini memang pengaruh Loenard, dan dia lah alasan utama Earl tidak mau meninggalkan Indonesia."
"Untuk itulah Papa serahkan Earl Company padamu. Jika nantinya Earl mengubah keputusannya. Kau tidak keberatan kan menyerahkan kembali perusahaan tersebut pada Adik-mu?"
Bibir kokoh tampak mengulas senyum khas sehingga menambah ketampanannya menjadi berkali - kali lipat. "Tentu saja, Papa. Jangankan perusahaan. Nyawa sekalipun Calvin rela demi, Earl."
Kalimat menenangkan yang baru saja menggelitik pendengaran membuat senyuman tersungging dibibir Bram. "Papa, tinggal dulu ya."
"Hh mm,"
Sebelum meninggalkan ruangan ditatapnya putra tercinta dengan ketajaman penuh. "Ingat, malam ini kita makan malam di luar jadi, jangan pulang terlalu malam. Jangan membuat Mama-mu menunggu."
"Hh mm,"
🍁🍁🍁
Next chapter ...