LUZ COMPANY
Dubai, Uni Emirat Arab
09.00
Sebelum semua karyawan datang, Calvino sudah berada di dalam ruangannya berteman segudang aktivitas tinggi. Larut ke dalam pekerjaan membuatnya melupakan satu hal bahwa siang ini dia harus menghubungi sang kekasih.
Tak ayal atas sikapnya yang terkesan acuh dan tidak perduli itulah yang selalu menyeret hubungan percintaan bersama Lenata selalu meruncing ke dalam pertengkaran. Calvino dengan sikap keras kepalanya, sedangkan Lenata merasa hilang kesabaran atas sikap sang kekasih yang menurutnya tak lagi perhatian semenjak kepulangannya dari Indonesia.
"Semua itu hanya perasaan mu saja, Lena. Tidak ada yang berubah. Ku mohon pahami kesibukanku."
"Dengarkan aku, Vin. Kita menjalani hubungan tidak hanya 1 atau 2 tahun. Aku sangat mengenal mu dengan sangat baik, Mr. Calvino Luz Kafeel." Nada suara Lenata setengah meninggi sehingga membuat Calvino merasa geram. Jujur, Calvino paling tidak suka jika pasangannya mengeluarkan nada tinggi dalam kondisi semarah apapun.
"Lena, please ... kecurigaan mu ini sama sekali tidak mendasar." Desis Calvino mencoba meredam amarah yang siap meledak.
"Alasan tidak perlu mendasar pada apapun. Permainan hati tidak memerlukan alasan." Bentak Lenata dengan suara meninggi membuat Calvino terperenyak sehingga harus menjauhkan ponsel dari telinganya sejenak.
"Tidak ada permainan hati, Lena. Tidak ada wanita lain di hatiku selain ... " seketika menghentikan kalimat ketika hampir saja menyebutkan nama Samara.
"Selain siapa, hah? Jawab!"
Siluet coklat tampak memejam sejenak, sementara Lenata langsung menyerang sang kekasih dengan kata - kata tajam mematikan.
"Tentu saja wanita itu kau, Lena."
"Bohong!"
"Please, percayalah padaku. Aku tidak berbohong."
"Dengarkan aku baik - baik. Aku sangat mengenal mu jadi, kebohongan sekecil apa pun tak akan pernah luput dariku. Camkan itu baik - baik." Nada suaranya terdengar tajam menggelitik pendengaran Calvino, dan penghakiman yang secara sepihak inilah yang telah membuat darah Calvino mendidih seketika.
Kini, habis sudah kesabaran yang coba Calvino tahan sedari tadi. Darahnya semakin mendidih beriringan dengan kepalan di tangan dan tanpa dapat ditahan lagi langsung membanting ponselnya ke lantai hingga ponsel dengan merk kenamaan tersebut hancur berkeping - keping.
Arrgghh, teriak frustasi Calvino.
Tidak tahan dengan amarah berselimut rasa frustasi telah membuat Calvino meninjukan tangannya ke dinding sebagai pelampiasan atas rasa yang kian menyeretnya ke dalam puncak emosi.
"Selalu saja melayangkan tuduhan tanpa bukti. Dasar tidak tahu diri! Merepotkan!" Geram Calvino berpadukan dengan kepalan di tangan hingga buku - buku jarinya memutih.
"Dan kau, Samara ... kenapa kau harus datang dalam wujud, Kiara? Kenapa, hah? Jawab! Jawab! Jawab!" Bersamaan dengan itu meninjukan kembali tangannya ke dinding berulang kali membuat darah segar merembas melalui sela - sela jari.
Pertengkaran dengan kekasih tercinta membuat Calvino tak bisa fokus bekerja. Hatinya masih saja berselimut emosi sehingga fokusnya sering kali terbagi antara pekerjaan, Lenata, Kiara, dan juga Samara.
Berurusan dengan satu wanita saja sudah membuat Calvino kerepotan. Kini, dia harus dihadapkan pada wanita asing yang belum pernah dia jumpai secara nyata. Sialnya, kehadirannya yang secara maya inilah yang justru menyiksa jiwa Calvino disetiap detiknya.
Seharusnya dalam kondisi seperti ini, sang kekasih datang sebagai pendamai jiwa. Sialnya, kekasih yang saat ini berada disisi justru dengan sangat kejamnya menghakimi seorang Calvino bahwa dia sudah membagi hati dengan wanita lain.
"Kau sudah gila, Lena. Benar - benar gila dan sialnya kau seret aku ke dalam kegilaan mu. Shittttt, benar - benar merepotkan!" Geram Calvino berpadukan dengan sorot mata nyalang.
Hubungan yang sering kali meruncing pada pertengkaran membuat Calvino sangat muak hingga ingin rasanya menyudahi kisah percintaan yang sudah terjalin selama bertahun - tahun lamanya.
🍁🍁🍁
KAFEEL COMPANY
London, Britania Raya
15.23
Sejak pertengkaran terakhirnya dengan Lenata telah membuat Calvino tidak mau lagi terlibat perbincangan dengan kekasihnya tersebut. Meskipun berulang kali Lenata berkirim pesan tak pernah sekalipun dia balas. Jangankan membalas pesan. Membaca pesan tersebut pun sama sekali tidak.
Calvino perlu waktu untuk menenangkan diri serta memikirkan tentang kelanjutan hubungannya dengan Lenata. Sementara Lenata tidak pernah merasa tenang. Pesan dan juga telepon yang diabaikan oleh sang kekasih telah membuatnya berada di dalam jurang ketakutan.
Dia terlihat menghentak - hentakkan bolpoint ke atas meja kerja dengan tatapan mengunci pada layar ponsel.
"Please, Vin angkat telepon ku sekali saja." Pintanya dengan mencoba kembali menghubungi kekasih tercinta. Sialnya, panggilannya pun tetap saja diabaikan.
Lenata terlihat meremas kuat ponsel yang ada di tangan. Ingin rasanya membanting ponsel tersebut, akan tetapi ponsel dengan merk kenamaan tersebut sangat disayangkan apabila dirusak begitu saja. Lagi pula tanpa Calvino dia tidak mungkin bisa membeli ponsel dengan harga yang menurutnya sangat fantastis.
Dan hal inilah yang paling Lenata takutkan jika tidak lagi menjadi kekasih dari sang billionaire. Hidupnya pasti akan berubah drastis. Tak akan lagi hidup dengan penuh kemewahan dan juga bermanjakan sesuatu yang silau. Ya, pasti dia harus bekerja keras untuk membeli barang - barang branded tersebut. Tetapi dengan menjadi kekasih sang billionaire, semua bisa terpenuhi dalam satu kali kedipan mata.
"Aku tidak mau kehilangan semuanya. Aku tidak mau. Terlebih aku sudah mulai mencintai Calvino, bahkan sangat dalam. Aku tidak bisa hidup tanpanya. Bagaimana pun juga hubunganku dengan Calvino harus membaik dan kembali seperti dulu. Apapun caranya akan ku lakukan demi membuat Calvino kembali mencintaiku."
Tidak mau kehilangan aset terbaik. Dia pun langsung menghubungi Kenan. Sialnya, orang kepercayaan Calvino tersebut tak juga mengangkat panggilannya. Meskipun begitu tak membuat Lenata menyerah. Dan ketika panggilan tersambung langsung menghujani Kenan dengan berbagai pertanyaan seputar kekasih tercinta.
"Sorry, Ms. Lenata. Mr. Calvino, sudah meninggalkan kantor sejak sore hari."
"Ke mana?"
"Untuk itu saya kurang tahu, Nona."
"Tidak tahu, hah? Dasar bodoh! Kau ini bisa bekerja apa tidak, hah? Kepergian Tuan mu saja tidak kau tahu."
"Sorry, Ms. Lenata. Bisa Anda katakan apa tujuan Anda menghubungi saya."
"Siapkan penerbangan saya ke Dubai."
Kenan langsung membeliakkan tatapannya. Terperenyak atas perintah Lenata? Tentu saja. Namun, tidak serta merta perintah tersebut dia laksanakan tanpa adanya perintah langsung dari Calvino Luz Kafeel.
"Apa telinga mu ini tuli, hah? Aku ini calon Istri Calvino jadi, perintahku adalah perintahnya!"
"I am sorry, Ms. Lenata. Perintah akan saya laksakana apabila diperintahkan secara langsung oleh, Mr. Calvino."
"Kalau begitu kau sampaikan kepada, Calvino!"
"Baik, Ms. Lenata. Permintaan Anda akan segara saya sampaikan."
"Bukan akan segera tapi, sampaikan sekarang juga, bodoh!"
"Baik, Ms. Lenata." Bersamaan dengan itu langsung memutus sambungan telepon. Kenan tampak memijat pangkal hidung di antara kedua alis.
Tak bisa ku percaya bahwa Tuan ku Calvino bisa mencintai wanita arogansi seperti, Ms. Lenata. Benar - benar wanita dengan etika buruk. Batin Kenan.
🍁🍁🍁
Next chapter ...