"Kenan, ke ruangan saya!" Pinta Calvino melalui sambungan telepon.
"Baik, Sir." Beriringan dengan langkah kaki menuju lift yang akan membawanya naik pada bangunan yang berada disamping gedung Luz Company. Ya, bangunan tersebut menyerupai sebuah apartement yang hanya dimiliki oleh sang billionaire - Calvino Luz Kafeel - yang sudah dilengkapi dengan segala fasilitas yang mampu menyilaukan mata.
Wajar jika Calvino diperebutkan oleh para wanita. Kemewahannya mampu memanjakan sang wanita bahkan sampai 7 turunan sekaligus.
Saat ini Calvino terlihat sedang memanjakan mata dengan majalah terbaru ditemani secangkir minuman kesukaan. Seketika menyudahi kesenangan dengan meletakkan majalah ke atas meja. Tatapannya tampak mengunci pada suara langkah kaki mendekat.
"Duduk!" Perintahnya.
"Baik, Sir." Kenan setengah membungkukkan badan sebelum mendudukkan bokongnya pada sofa yang berseberangan dengan Tuan nya.
"Kapan jadwal meeting dengan, Mr. Emran?"
"Lusa, Sir."
"Jadwalkan besok."
"Tapi, Sir ... "
"Apa kau tidak mendengar yang ku perintahkan, hah?" Nada suaranya terdengar tajam setajam tatapan yang dia lemparkan ke arah Kenan dan hanya ditatap seperti itu mampu membuat Kenan bagaikan dikuliti hidup - hidup saat itu juga.
"Baik, Sir." Jawabnya dengan suara beegetar.
Tanpa mengucapkan satu patah kata pun kilau coklat menajam penuh perintah tak terbantahkan supaya Kenan segera berlalu dari hadapannya. Sialnya, orang kepercayaannya tersebut seperti mengabaikan perintahnya dengan sengaja.
"Pergilah!" Nada suaranya terdengar lirih, akan tetapi penuh perintah tak terbantahkan. Sayangnya, Kenan tak juga beranjak dari posisinya saat ini.
Seketika itu juga Calvino memicingkan matanya hingga keningnya berkerut. "Ada apa? Cepat katakan!"
Kenan dibuat menelan kasar Saliva sebelum memulai kalimat. Sementara itu, ketajaman dari siluet coklat terus menerus menghujaninya dengan ketajaman penuh seolah berkata, cepat katakan, bodoh!
"Ms. Lenata, barusan menghubungi-"
"Terus?" Potong Calvino cepat.
"Ms. Lenata, memberi perintah supaya dipersiapkan pesawat jet untuk menjemputnya, Sir."
"Kapan?"
"Besok, Sir."
Kalimat yang baru saja menyapu pendengaran telah memaksa Calvino meletakkan kembali minuman kesukaan. Ditatapnya Kenan dengan tatapan tak percaya. Bersamaan dengan itu ponselnya berdering menampilkan nama Lenata.
Muak, itulah yang Calvino rasakan. Jujur, di dalam hati terdalam Calvino merasa tak tega menyiksa wanita yang dengan setia mendampinginya selama bertahun - tahun lamanya, akan tetapi perbincangan demi perbincangan dengan Lenata hanya akan meruncing pada pertengkaran. Dan tentu saja hal itulah yang semakin menenggelamkannya ke dalam lautan emosi.
Tanpa ada niatan untuk mengangkat panggilan. Diabaikannya panggilan tersebut begitu saja. Setelahnya, melemparkan ketajaman penuh ke arah Kenan. "Katakan padanya bahwa kedatangannya akan percuma."
Tidak paham dengan maksud dari perkataan Tuan nya. Kenan memberanikan diri bertanya. "Maksud Anda, Sir?"
"Sampaikan bahwa saya berada di luar Negeri dalam waktu lama, bodoh."
"Lalu, bagaiman kalau Ms. Lenata tetap memaksa datang, Sir?"
"Biarkan saja!"
"Baik, Sir. Saya permisi." Membungkukkan badan sebelum melenggang dari hadapan Tuan nya.
Setelah kepergian Kenan, Calvino tampak menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa dengan kedua mata memejam rapat. Tak berselang lama manik coklat kembali terbuka dengan menatap langit - langit ruangan.
Tanpa dapat dipungkiri pikirannya melayang jauh memikirkan Lenata. "Apa aku sudah bersikap sangat kejam padanya?" Tanyanya entah pada siapa karena nyatanya dia sedang sendirian.
Dihembuskannya nafas berat yang dia buang secara perlahan dan disaat bersamaan ponselnya berdering dengan menampilkan nama yang sama.
Calvino tampak mengusap kasar wajahnya. "Kalau saja kau kurangi sifat pencemburu mu yang berlebihan itu. Mungkin hubungan kita akan baik - baik saja, Lena. Sayangnya, apa pun yang ku jelaskan tak pernah membuat mu percaya bahwa aku tidak sedang berselingkuh."
Tidak mau terpancing ke dalam lautan emosi, akhirnya dia putuskan untuk mematikan ponsel. Ya, memang seperti inilah Calvino Luz Kafeel, dia akan sulit diluluhkan jika egonya sudah terluka.
Saat ini pun dia tengah berdiri di sudut jendela bermanjakan lalu lalang para pekerja di bawah sana. Entah sudah berapa lama dalam posisi seperti itu yang jelas dia tenggelam ke dalam pikirannya sendiri.
"Apa ada yang menarik di bawah sana sehingga kau abaikan kedatangan Papa, hum?"
Suara yang datang secara tiba - tiba telah memaksa Calvino menolehkan wajahnya dengan segera. "Papa ... " ucapnya dengan rasa tak percaya mengiringi langkah kaki menuju sang ayah tercinta. Dengan segera dipeluknya tubuh yang tak lagi muda tersebut dan tentunya pelukan khas lelaki.
"Kenapa tidak memberi tahu kalau Papa mau berkunjung?"
Bramantara langsung menyipitkan matanya dengan kening berkerut. "Apa kedatangan Papa kali ini mengganggu mu?"
"Tentu saja, tidak. Hanya saja kalau Papa memberitahu kan Calvin bisa menjemput Papa di bandara. Oh, iya Mama mana? Tumben ga ikut." Sembari menelisik ke sekeliling.
"Siapa bilang Mama-mu ga ikut. Mama-mu masih ada di bawah dan sedang berbincang dengan, Kenan."
Perkataan sang ayah membuatnya tersentak. "Berbincang dengan, Kenan?"
"Hh mm."
Pasti membahas masalah, Earl. Batin Calvino sembari mendudukkan bokongnya pada sofa yang berseberangan dengan ayah tercinta.
"Ya, tebakan mu sangat tepat sekali, Vin." Sembari meraih majalah yang tergeletak di atas meja.
Huh, ga Papa, ga Earl. Sama saja, sama - sama bisa membaca pikiran meskipun aku tidak pernah mengatakannya. Batin Calvino dengan melemparkan lirikan tajam ke arah ayah tercinta. Sementara itu, yang dilirik tampak fokus membaca berita terbaru hari ini.
"Hum, perkembangan bisnis di Dubai sangat bagus, Vin. Bagaimana kalau kau buka cabang satu lagi?"
"Calvin, belum memikirkannya, Pa."
Ditatapnya putra kesayangan dengan tatapan yang tak biasa, bersamaan dengan itu menaruh kembali majalah ke atas meja. Bram sengaja mencondongkan wajahnya ke depan. "Jangan pernah membuang - buang kesempatan. Jika kau kuwalahan mengelola Luz Company maka, biar Papa kirimkan orang - orang pilihan untuk membantu mu."
Calvino tampak mengusap kasar wajahnya berpadukan dengan hembusan nafas berat yang dia buang secara perlahan. Tidak banyak yang dia katakan, meskipun begitu Bram sangat tahu bahwa sang putra sedang diselimuti masalah pelik.
"Apa ada masalah di perusahaan?" Tanyanya dengan tatapan menelisik mencoba mencari kejujuran melalui wajah tampan.
"Tidak ada, Pa. Semua aman terkendali."
"Kalau begitu ada masalah apa?"
"Tidak ada masalah apa - apa, Pa. Semua baik - baik saja."
Bram semakin mencondongkan wajahnya ke depan berselimut tatapan penuh intimidasi. "Dengarkan Papa baik - baik, Vin. Kau bisa saja berkata bahwa semuanya baik - baik saja. Tetapi tidak dengan tatapan mu. Tatapan mu menyirat hal berbeda."
"Itu hanya perasaan Papa saja." Kilah Calvino.
"Dan perasaan Papa tak pernah salah, Mr. Calvino Luz Kafeel. Katakan apakah semua ini ada hubungannya dengan kepergian mu ke Indonesia?"
Mendengar kata Indonesia telah membuat Calvino tersentak sehingga membeliakkan tatapannya seketika itu juga.
"Fix, berarti tebakan Papa benar."
πππ
Next chapter ...