Kalimat yang baru saja mengusik pendengaran sang wanita telah membuatnya tersentak hingga matanya memanas seketika. Tanpa dapat terelakkan lagi air mata sudah menggenang di pelupuk. "Tapi, mencari pekerjaan sangat tidak mudah." Lirihnya.
"Lulusan apa?"
"Saya hanya lulusan SMA."
"Tak masalah. Datanglah ke kantor saya." Mneyerahkan kartu nama ke tangan sang wanita.
"Jadi, Anda menawarkan saya pekerjaan?" Tanyanya dengan rasa tak percaya.
"Hh mm."
"Anda sangat tampan dan juga baik. Terima kasih, Tuan ku."
"Hm, pergilah! Saya sedang ingin sendiri."
"Baiklah, kalau begitu saya permisi." Setengah membungkukkan badan sebelum berlalu dari hadapan Calvino.
Setelah kepergian sang wanita. Kini, menyisakan Calvino seorang diri. Di dalam malam yang sunyi sepi, semakin menghimpit Calvino ke dalam rasa entah apa itu namanya. Yang jelas kekosongan di dalam hati merindukan sang belahan jiwa.
Tidak Calvino pungkiri bahwa sudah ada Lenata di sisi. Namun, wanita tersebut hanya hadir sebagai pelengkap hidupnya. Lenata tak pernah bisa menjadi soulmate nya. Sampai kapan pun Lenata tak akan pernah bisa menjadi belahan jiwanya.
Entah apa yang salah dengan perasaannya pada Lenata? Yang jelas perasaannya sendiri tak bisa dipaksakan begitu saja, karena hingga detik ini di dalam sudut hati terdalam masih meneriakkan nama yang sama yaitu, Samara.
Egois? Ya, itu sangat tepat sebagai jawaban dari perasaan Calvino pada Lenata. Jujur, rasa cintanya pada Lenata tak pernah setulus hati.
Jika memang seperti itu untuk apa masih mempertahankan Lenata hingga detik ini? Jawabannya hanya satu, Calvino tidak pernah bisa menyakiti hati seorang wanita, terutama wanita yang dengan setia mendampinginya selama bertahun - tahun lamanya.
Eits, tidak hanya itu. Lenata, juga merupakan wanita yang kental dengan adat ketimuran, meskipun sudah bertahun - tahun menetap di London. Lenata merupakan gambaran wanita sempurna. Namun, sayang sekali kesempurnaannya tidak bisa menyentuh sudut hati Calvino.
Calvino terlihat kembali menyesap minuman kesukaan bersamaan dengan itu memfokuskan tatapannya pada lalu lalang kendaraan yang berada di bawah sana. Terlalu bosan pada aktifitas yang terlihat menyesakkan mata. Dia pun terlihat membuka layar laptop. Kini, tatapan serta fokus Calvino hanya tertuju pada berbagai laporan yang orang kepercayaannya kirimkan.
Seketika tatapannya membeliak pada salah satu laporan, dan hal inilah yang sangat mencuri perhatian Calvino. Di mana mengharuskan Calvino untuk segera mengatur penerbangan ke Dubai. Bersamaan dengan itu memberi perintah tak terbantahkan supaya penerbangannya dilakukan besok.
Hembusan nafas lelah mengiringi deru nafasnya beriringan dengan tertutupnya layar laptop. Dengan segera meraih kunci mobil. Namun, tak lupa meninggalkan lima lembar uang bernilai seratus ribuan yang Calvino yakini sangat cukup untuk membayar minuman yang dia pesan.
Langkah tegas terlihat menuju mobil kesayangan yang sudah dengan setia menunggui kedatangannya. Sebelum melajukan mobil dengan berkecepatan tinggi, kedua tangannya terlihat mencengkeram setir mobil dengan sangat kuat berpadukan dengan tatapan lurus ke depan.
Perlahan tapi pasti mobil sport keluaran terbaru tersebut terlihat meninggalkan parkiran spazio. Kini, dilajukannya mobil berkecapatan tinggi hingga tak berselang lama sudah mencapai pusat kota. Setelah cukup lama membelah jalanan. Mobil yang membawanya pergi sudah sampai pada apartement Calista.
Langkahnya terlihat tergesa menuju lift yang akan membawanya naik pada lantai paling atas. Dan ketika pintu terbuka, tampillah dekorasi yang sangat megah dan juga mewah.
Calvino terlihat menghembus nafas berat yang dia buang kasar mengiringi langkah kaki menuju dapur. Dengan segera meraih satu botol air dingin lalu, meneguknya hingga tandas.
"Sepertinya ada yang kehausan nih." Cibir Calista.
Seketika menolehkan wajahnya dengan tatapan memicing. "Sejak kapan kau disitu, hah?"
"Hai, dari tadi Earl di sini. Kak Calvin saja yang jalan tidak melihat kanan kiri."
"Dari jam berapa kau pulang?" Tanyanya tanpa mau melihat ke arah Calista. Bersamaan dengan itu melenggang begitu saja menuju ruang santai. Calvino terlihat menghempas kasar bokongnya pada sofa panjang.
"Ada apa?" Tanya Calista beriringan dengan langkah mendekat.
Pertanyaan dari sang adik telah memaksa Calvino menolehkan wajahnya dengan segera. "Maksud mu?"
"Sepertinya kau sedang berfikir berat dan Kenan juga baru saja dari sini, mencari mu." Mencondongkan tubuhnya ke depan berirama dengan pertanyaan sarkastik. "Pasti sudah terjadi sesuatu yang buruk pada Luz Company kan?"
"Pertanyaan macam apa ini?"
"Cih, aku tanya serius kau malah mencibir."
"Lagi pula untuk apa mempertanyakan segala sesuatu yang kau sendiri pun sudah tahu jawabannya, Nona Calista Earle Kafeel." Kesal Calvino.
Tak ayal Calista pun langsung mengumpat sumpah serapah atas sikap sang kakak. Hih, selalu saja menyebalkan. Sambil mengerucutkan bibirnya hingga maju beberapa senti ke depan.
Tidurlah!" Mengusap puncak kepala sambil lalu sebelum menenggelamkan tubuhnya ke dalam kamar kesayangan.
"Malam ini ... Earl, tidur sama Kak Calvin lagi ya?" Pinta Calista dari ambang pintu.
Tidak baik berbicara dari situ, Earl. Masuklah!"
Bibir ranum tampak mengulas senyum bahagia sambil memasuki kamar Calvino. Calvino terlihat merentangkan sebelah tangannya seolah menyambut kedatangan Calista untuk segera berhambur ke dalam pelukan.
Tanpa rasa malu maupun sungkan Calista pun langsung meringkuk dipelukan Calvino. "Tidurlah!" Sambil mengusap puncak kepala Calista dengan penuh rasa sayang. Usapan demi usapan telah mengantarkan Calista pada rasa nyaman sehingga tidak butuh waktu lama dia pun sudah bergelung ke alam mimpi.
Sementara Calvino, dia masih saja terjaga hingga pagi menjemput. Diliriknya sang adik yang masih saja terlelap. Dengan gerakan hati - hati memindahkan kepala Calista ke bantal. Sialnya, gerakannya inipun semakin menyeret Calvino pada rengkuhan tangan ramping.
Shittt, kalau seperti ini bagaimana aku bisa beranjak dari ranjang? Umpatnya.
Tidak ada pilihan lain akhirnya dia pun kembali membaringkan tubuhnya. Kembali direngkuhnya kepala Calista supaya menyandar ke sebelah lengan kekar.
Tanpa Calvino tahu, Calista pun mengulas senyum geli atas sikap sang kakak. Sorry ya, Kak. Bukannya Earl mau bersikap egois. Jujur, Earl masih kangen banget sama, Kak Calvin. Dan moment - moment seperti ini sangat langka kita temui. Batin Calista sembari membuka sebelah matanya.
Diliriknya sang kakak yang kembali memejam rapat. Bersamaan dengan itu dia pun semakin merapatkan pelukan.
Akibatnya, keduanya bangun kesiangan. Beruntung, ini weekend jadi Calista bisa bermalas - malasan diatas ranjang. Namun, hal itu tidak dia lakukan. Dengan segera melenggang ke dapur, menyiapkan sarapan untuk kakak tercinta.
"Lebih baik cari pembantu, Earl." Saran Calvino.
"Tidak perlu, Kak."
"Kakak, ga mau kalau Adik Kakak ini sampai kecapean." Sambil mengusap puncak kepala sambil lalu.
"Biasanya juga engga. Ini karena ada Kak Calvin saja jadi, ya ... "
Calvino langsung berkacak pinggang. "Oh, jadi menurut mu kedatangan Kakak ini merepotkan mu, huh?"
"Bukan begitu juga. Lagi pula siapa yang bilang seperti itu? Itu kan perasaan Kak Calvin saja."
πππ
Next chapter ...