"Ayo, Lily!" Popi dengan riang menyeret Lily masuk ke dalam kamarnya tanpa menghiraukan Lily yang panik dan mencoba menarik tubuhnya mundur.
"Popi mau nenen!"
Lalu pintu tertutup dari dalam.
"P-Popi ...!" Panik Lily. "Nanti, Bunda lo masuk-"
Klik!
Popi cengengesan. Tangannya terangkat, memperlihatkan sebuah kunci yang kemudia ia taruh di atas meja di samping pintu. "Sudah Popi kunci," katanya riang.
Mulut Lily mengangga melihat itu. Gercep juga ni anak, gerutunya dalam hati.
Seolah tak ingin menyia-nyiakan waktu, Popi lalu kembari menarik ujung kaos Lily, menyeretnya dan mendudukkan Lily di tepi ranjang. Lily hanya pasrah, tak mampu mengelak, karena tenaga Popi cukup kuat. Membuat perlawanan yang Lily berikan tampak tak berarti dan sia-sia.
Lalu Popi ikut duduk di samping Lily. Dengan antusias, tangannya mencoba menarik kaos Lily ke atas, berusaha meloloskannya. Dan lagi, pergerakan cepat tak terduga itu mengagetkan Lily, membuatnya lengah dan loloslah kaos itu dengan mulus melewati kepalanya.
"Popi!" Seru Lily tertahan. Jantungnya makin berdetak tak karuan. Antara terkejut, takut, dan hormon yang semakin terangsang. Tangan Lily berusaha menutupi bagian depan tubuhnya yang setengah telanjang dengan menyilangkan tangan. Menghalau tatapan berbinar Popi yang selalu tertuju ke sana.
Melihat itu bibir Popi mengerucut. Matanya menyipit menatap Lily kesal. "Lily pelit!" Sunggutnya.
"Heh!" Satu tangan Lily terjulur berusaha menggapai kaso yang kini tengah di sembunyikan Popi di balik punggungnya. Wajah popi tampak menggemaskan dengan bibir negerucut sebal yang berbanding balik dengan matanya yang berbinar menatap dada Lily, membuat pipi Lily tanpa bisa dicegar bersemu merah. Karena ini adalah untuk pertama kalinya tubuh yang seharusnya tak boleh dilihat oleh lelaki, sekarang sedang dinikmati Popi dengan senikmat-nikmatnya nikmat.
"G-gila, ya, lo! B-balikin kaos gue!"
Bibir Popi mulai melengkung kebawah dan bergetar. Matanya membulat dengan sedikit cairang bening yang mulai timbul di sana. "Dasar Lily pelit! P-popi kan cuma mau nenen ...."
"Padahal tadi Lily janji mau kasih Popi susu ...." sambung Popi mulai terisak.
Lily hanya mampu meneguk ludah kasar. Ia lalu terdiam. Berusaha mengambil keputusan yang tepat.
Mungkin inilah saat yang tepat, pikirnya.
Karena walau ragu, tak dipungkiri bahwa Lily pun juga ingin mencobanya. Terbukti dengan bagian intimnya yang sudah terasa lembab.
Dengan menunduk malu, Lily akhirnya menurunkan tangannya ke atas paha, mencengkeram celana pendeknya gugup, membuat Popi yang tadi sudah hampir terisak kembali berbinar dan tanpa basa-basi lagi langsung menurunkan cup bra milik Lily.
"Waa ...." gumam Popi tanpa sadar. Matanya membulat menatap kuncup payudara pink milik Lily yang sudah mengkerut tegang dan agak menyembul sebab tertekan cup bra yang tadi diturunkan Popi, menjadikannya terlihat makin besar dan penuh.
Melihat tampang Popi yang mupeng, Lily hanya bisa menggigit bibir. Bagian intimnya makin berkedut. Baru saja Lily hendak menyuruh Popi agar segera melumat putingnya seperti yang diinginkan Popi tadi, namun tindakan yang dilakukan Popi berhasil menelan kembali seruan Lily. Yaitu ketika telunjuk Popi terjulur dan menekan tepat pada puting Lily hingga melesak masuk dengan raut penasaran.
Reflek Lily mendesah. "Ah ...."
"Wah ...." seru Popi kembali. Rautnya tampak takjub menatap payudara Lily. "Kenyel-kenyel," ujalnya seraya menotol-notol kedua puting Lily bergantian.
"Ah ... P-popih ...."
Lily yang awalnya berusaha menghalangi pergerakan Popi mulai menikmati sentuhan yang Popi berikan pada payudaranya. Desahannya makin lantang terdengar seiring sentuhan yang diberikan Popi semakin meningkat dan intens. Yang awalnya menekan-nekan, lalu menoel-noel, memilin, bahkan mencubit gemas puting Lily yang terlihat sedikit membesar.
Namun tiba-tiba Popi menarik jarinya menjauh, membuat Lily mendesah kecewa.
"Salah!" Seru Popi tiba-tiba, mengagetkan Lily. Kepalanya menggeleng beberapa kali. "Harusnya Popi nenen, bukan cubit-cubit nenen," ujarnya.
Lalu tanpa memberi jeda untuk Lily memulihkan kesadarannya, Popi kembali memajukan tubuhnya dan tanpa basa-basi langsung melahap puting Lily, menghisapnya dengan hisapan cepat dan menuntut.
"Ah ...!" Jerit Lily tertahan. Lily yang tak siap hanya bisa mendesah dan meremas pundak Popi seraya memejamkan mata, berusaha menikmati sesapan lincah mulut Popi di putingnya. Walau beberapa kali Lily meringis menahan perih.
"Mm ...." gumam Popi ketika merasa seolah menyesap payudara Lily tidak memuaskan dahagannya. Ia makin menambah tempo kecepatan sesapan pada puting Lily dengan sedotan yang kuat. Sesekali kepalannya berpindah dari sisi ke sisi guna mencari kepuasan.
Menyusu pada Lily, Popi seolah merasa tak terpuaskan. Berbeda ketika Popi menyusu pada Maira. Hanya beberapa sesapan saja Popi sudah berhenti karena sudah merasa puas, atau kadang malah tertidur. Namun dengan Lily rasanya seolah berbeda. Ada sesuatu dalam diri Popi yang mendorong Popi melakukan sesuatu yang lebih guna memuaskan sesuatu yang mendorong Popi melakukan sesuatu agar terpuaskan.
Tubuh Lily yang sudah lemas hanya bisa terjatuh telentang di bawah himpitan tubuh Popi di atasnya. Popi lalu melepaskan kulumannya pada puting Lily dan berganti mengulum puting yang satunya.
Makin lama, kuluman Popi mulai terasa menyakiti Lily. Puting Lily mulai terasa perih seiring kuatnya sesapan Popi pada putingnya. Lily yang tak tahan mulai memukul-mukul bahu Popi.
"Ah ... ud-dah! ah ...."
Masih menyusu, Popi menggeleng kuat. Namun pulukan Lily pada bahunya yang makin keras membuat Popi menggeram rendah, merasa kesal. Bahkan Popi melampiaskan kekesalannya dengan menggigit kecil puting Lily, lalu menariknya, membuat Lily menggerang keras. Akhirnya dengan tak rela, Popi pun melepaskan kulumannya.
Matanya yang tadi menajam kini mulai kembali tatkala mendapati Lily meringis sembari mengelus salah satu putingnya yang tadi habis ia sesap. Rasa cemas langsung menyelimuti Popi.
"Lily!" Panggil Popi. Tanggannya mengguncang baku Lily beberapa kali. "Lily sakit?"
Mendapati Lily hanya diam meringgis membuat bibir Popi melengkung ke bawah dan mulai bergetar. "M-maaf ...." cicitnya merasa bersalah.
Masih meringis, Lily mencoba bangkit. "Shh ... gak papa."
Namun Popi malah makin terisak. Membuat Lily panik. Baru hendak menenangkan Popi, Lily kembali dikejutkan oleh perbuatan Popi. Sepertinya Lily harus menengur Popi agar tidak selalu membuat Lily jantungan oleh tingkahnya yang tak terduga.
"Mmh ...."
Lily langsung melenguh ketika Popi, masih dengan terisak, mengelus puting Lily dengan halus. Matanya menatap bersalah pada puting kecil yang masih menegang itu, seraya mulutnya tiada henti berguman meminta maaf.
Antara gemas, ingin marah, dan kembali terangsang, Lily hanya bisa mengeratkan cengkramannya pada bahu Popi seraya menggigit bibir keras guna menghalau desahan, karena kini tangan Popi tidak hanya mengelus, namun mulai mencubit dan memelintir kembali puting Lily dengan bibir mencebik imut dan mata yang sesekali masih meneteskan cairan bening.
Lalu pergerakan tangan Popi tiba-tiba terhenti. Popi menatap Lily memelas.
"L-lily masih s-sakit?" tanyannya.
Lily yang ditanya begitu mulai diserang kegugupan kembali. Putingnya memang sudah tidak sakit sebab rangsangan yang diberikan Popi tadi. Namun Lily juga paham apa konsekuensi bila ia berkata "tidak" sebagai jawaban atas pertanyaan Popi barusan.
Popi menggigit bibir melihat Lily yang masih saja terdiam. Ia yang terbiasa selalu melakukan sesukannya langsung merunduk seraya membuka mulut lebar-lebar, memasukan puting Lily kembali ke dalam kulumannya dan menyesapnya cepat.
Kontan Lily melenguh keras. Tangannya berpindah di rambut Popi dan meremasnya. Tubuh Lily pun mengeliat ketika merasakan telapak Popi di pinggangnya, mengelus halus di sana.
"Mm ... Popih ...."
Popi yang mendengar Lily menyebut namanya makin mempercepat tempo sesapannya. Entah apa yang terjadi, jantung Popi berdegup keras ketika mendengar Lily menyebut namanya barusan. Hawa panas terasa menyebar cepat di sekujur tubuh Popi seiring makin bringasnya sesapan Popi pada payudara Lily. Walau secara naluri Popi tak menghisap puting Lily keras karena takut Lily akan kesakitan.
Melenguh keras, Lily mendorong tubuh Popi sekuat tenaga hingga termundur, meninggalkan hawa dingin di permukaan putingnya dan hawan panas di seluruh tubuhnya. Lily rasa, apa yang mereka lakukan sudah terlalu jauh. Bisa berbahaya bila tidak segera dihentikan. Karena Lily tahu betuh ciri-ciri lelaki sedang engas.
"Lily!" Pekik Popi tak terima. Napasnya memburu dengan mata menajam serta rahang yang mengeras. Membuat Lily meneguk ludah kasar, tak kuasa melihat betapa jantannya Popi sekarang.
"Kok Lily dorong Popi, sih?! Popi, kan, masih mau nenen!" Sambung Popi kesal. Bibirnya mengerucut disertai mata yang menyipit, khas Popi ketika sedang kesal.
Lily bersungut. "Lo ngenyot nenen gue kenceng banget sampe rasanya mau copot aja nih pentil tapi masih belum puas juga?"
"Haa?" Popi menatap Lily tak paham.
Lily mendecak. "Nenen gue sakit," katanya ketus.
Sebal juga Lily dengan Popi. Ya bagaimana, sedari tadi Popi terus saya menatap payudara Lily penuh minat. Padahal bibirnya tengah menyebih kesal dan menyipit. Jangan lupakan ucapan Popi yang suka seenaknya seperti barusan. Lily sebal saja ketika mendapati dirinya bukannya marah atau tersinggung seperti biasa jika dirinya diperlakukan seenaknya, ia justru malah terhibur melihat Popi seperti itu.
Popi kembali memasang tampang hendak menangis. Melihat itu Lily mendecak kesal pada dirinya sendiri. Popi sialan, lo bikin gue gemes terus tau, gak?! Dasar anak udik sialan, gerutunya dalam hati.
"Gak, gak. Nenen gue dah gak sakit, kok," ujar Lily, membuat Popi tak jadi terisak.
"M-maaf, Lily. Nenen Lily enak soalnya. Lebih enak daripada nenen Bunda," tutur Popi.
Tanpa bisa dicegah, pipi Lily kembli bersemu. Apalagi tadi Popi mengatakannya dengan raut serius. Kekesalannya yang tadi menelingkupi dirinya menguap begitu saja.
"M-masa?"
Popi mengangguk antusias. "Hu'um. Nenen Lily kenyel-kenyel, kalau nenen Bunda kewer-kewer."
Mendengar itu, tawa Lily pecah seketika. Kini gantian pipi Popi yang bersemu menikmati tawa renyah Lily dari dekat. Bibirnya tanpa sadar tersenyum begitu saja.
"Kewer-kewer gimana, sih, maksud lo? Hahahaha." tanya Lily sembari tertawa. Membuat Popi tersentak tersadar.
"Em, kewer-kewer gitu," jawab Popi kikuk.
Lily kembali tertawa mendengarnya. "Yaampun. Kasihan banget, sih, lo. Besok nenen sama gue aja, deh." ujarnya tanpa sadar karena masih tak habis pikir oleh perkataan Popi yang sungguh menggelitik jiwa.
Tak bisa dicegah, Popi berseru riang seraya melompat-lompat dengan kedua tangan yang terangkat ke atas. "Yey! Popi bilang Bunda dulu kalau mulai sekarang mau nenen sama Lily aja!"
Lily tersedak dan langsung menarik tangan Popi yang hendak berlari ke luar kamar. Dalam hati merutuki dirinya yang asal bicara.
"Jangan!" Serunya panik. Sangking paniknya, Lily malah kembali mengucapkan kalimat yang tak terpikirkan olehnya akan ia ucapkan pada Popi. Walau Lily teramat ingin mengungkapkannya.
"L-lo boleh nenen sama gue sepuanya asal jangan kasih tau Bunda lo."