Pagi ini, Lily tengah menyisir rambutnya di depan meja rias mini. Sinar mentari menerpa wajahnya. Kicauan burung terdengar saling berlomba dari taman belakang yang letaknya di sisi luar kamar Lily. Suasana pagi yang adem itu begitu menyejukan bagi Lily.
Dengungan irama perlahan mulai terdengar dari bibir kecil yang berisi itu seiring mata Lily yang terpejam nikmat. Lily begitu tak menyangka, bahwa rumah Maira sungguh senyaman ini di pagi hari. Yah, tak dipungkiri, rumah Maira memang salah satu rumah termewah di kompleks ini.
"Lily ...."
Lily menegak mendengar bisikan lirih di sisi telinga sebelah kirinya, namun ia tetap mempertahankan matanya yang terperjam. Bisikan lirih itu terdengar merdu di telinga Lily. Suaranya lembut bagai sepoi angin di pagi hari. Beberapa saat, Lily berpikir bahwa dirinya tengah berada di khayangan dengan sesosok pangeran tampan. Baru dia sadar ketika mendengar gerutuan kesal dari samping yang mengingatkan Lily pada sosok Popi. Membuat Lily agak melirik kecil.
Sebentar. Itu memang Popi. Yang tengah berdiri di sisinya dan menatapnya kesal. Melihat itu, Lily mendecak kesal.
"Ck. Ganggu ae lo!"
Popi mencak-mencak di tempat. "Lily jahat. Dipangil masa gak denger."
"Hm. Gue tuli."
"Ihhhh ... Lily!"
Memutar tubuh menyamping seraya menumpu siku di meja, Lily mendongak menatap Popi malas.
"Apa?" Tanyanya datar.
Popi langsung merekah. Seringai gembira tersinggung di bibirnya. "Nenen," bisiknya.
Grogi, Lily memalingkan wajah dan kembali menyisir rambutnya yang masih sedikit basah. Mencoba mengabaikan Popi yang makin mendekat padanya. Tiba-tiba sebuah jari menutul payudara Lily tepat pada kuncup putingnya, membuat Lily tersentak.
"Heh!" Seru Lily melotot galak pada Popi, yang sebenarnya hanya kedok untuk menutupi kegugupannya. "Berani lo tunyuk-tunyuk nenen gue?"
Popi malah makin cengengesana seraya telunjuknya makin menekan kuncup Lily hingga melesak. Membuat Lily agak meringis.
"Ayo ... nenen ...." rengek Popi.
Menampik tangan Popi, Lily berdiri dan mendesis. "Tangan lo nakal banget, ya. Pasti suka nonton bokep, kan, lo?"
Mata Popi bergulir ke sisi kiri dengan mulut yang mengkerut miring. "Mm ... apa itu bokep, Lily?" tanyanya polos.
Lily mengerjap tersadar, merutuki dirinya yang selalu asal bicara. Sudah cukup Lily memanfaatkan Popi untuk mengemut payudaranya. Jangan sampai ia juga mengajari Popi menonton video legend itu. Bisa gawat kalau Popi menjadi kecanduan seperti dirinya lalu setelahnya kepergok oleh Maria. Lily yakin, Popi pasti akan menyeret namanya yang menjadi satu-satunya terdakwah atas hilangnya kepolosan anaknya itu.
"Mm ... anu ... itu--ah! Lo gak perlu tau. Gak penting."
Lily makin gelapagap ketika raut penasaran Popi juga tak kunjung hilang. Lalu sebuah ide muncul di kepalanya.
"Ah! Nenen aja, yuk?" ajaknya yang Lily yakin Popi tak kan menolaknya.
Dan benar, Popi langsung mengangguk antusias dan menyeret Popi ke tepi ranjang, mendudukkannya di sana lalu membuka satu per satu kancing Lily hingga tampaklah bra hitam Lily yang tanpa busa.
Popi yang terburu membuka baju Lily, tampak lihai. Lily berpikir, apa mungkin Popi juga agresif seperti itu ketika hendak menyusu pada Maria? Sebenarnya kalau Lily pikir-pikir lagi, itu tampak tak masuk akal. Karena sekilas lihat, Popi itu seperti anak polos yang tampak benar-benar polos. Dan anak polos selamanya tak pernah bersikap agresif, kan?
"Ahh ...," lenguh Lily ketika tanpa aba-aba, Popi langsung mengemut putingnya setelah menyingkap turun bra sebelah kanan milik Lily.
Sesapan demi sesapan terasa menyenangkan sekaligus menggairahkan. Lidah Popi terasa memilin-milin puting Lily dalam setiap kulumannya. Lalu tangan Popi mulai merampat menyusuri pinggang dan berheti pada sisi payudara kiri Lily. Tak lama kemudian, Popi dengan gesit menggeser turun bra Lily hingga terbebaslah daging kenyal dengan kuncup merah muda untuk Popi remas-remas di telapak tangannya.
Lenguhan Lily kian menjadi-jadi ketika Popi mulai menggigit-gigit kecil pada putingnya yang masih ia kulum. Dan juga jarinya yang memainkan putingnya yang satu. Entah itu dengan mencubit, menoel-noel, menyentil, ataupun memilinnya.
Seluruh gerakan Popi sungguh lihai dan begitu mahir. Entah itu naluri seorang lelaki atau Popi pandai karena sudah pernah melakukannya, Lily tak memikirkannya lagi. Ia larut dalam setiap sentuhan yang Popi berikan padanya. Tubuhnya terasa lemas dengan gelombang gairah yang tersulut kuat. Pikirannya sudah terombang-ambing melewati batas kesadaran. Seluruh indranya lumpuh di terjang gelombang gairah. Namun masih ada setitik indranya yang berfungsi ketika mendengar bunyi ketokan pintu pada pintu kamarnya.
"Lily?"
Suara itu ....
Perlahan-lahan, kesadaran kembali mengambil alih kendali diri Lily. Ia pun langsung mendorong tubuh Popi menjauh ketika sekilas matanya menangkap jarum pendek pada jam dinding hampir menyentuh angka tujuh.
Tanpa mengabaikan Popi yang protes, Lily langsung membenahi kembali seragamnya dan mengambil peralatan sekolahnya. Ia lalu menarik Popi dan membuka pintu, menyambut Maira dengan wajah panik kalang kabut.
"Tante, telat!" pekik Lily seraya kembali menyeret Popi ke kamarnya. Mengambil barang sekolah Popi dan berlanjut berlari menuruni tangga tanpa memperdulikan Popi yang memekik-mekik kesakitan sebab tangannya tengah dicengkeram Lily dengan kuat, dan mengabaikan Maria yang terngangga-ngangga pada sikap tak sopan Lily barusan.
***
Popi menggeledah tasnya dengan panik. Keringat dingin sudah habis membasahi sekujur dahinya hingga membuat rambutnya lepek. Bibirnya bergetar melengkung ke bawah dengan mata yang sudah berkaca habis-habisan.
Tak mendapatkan apa yang dicarinya, ia lalu menghampiri Lily yang tengah duduk lesehan dengan ke empat sahabanya di pojok belakang tempat peralatan kebersihan bertengger rapi di sana sambil cekikikan.
"Lily!" seru Popi, yang berhasil mengejutkan Lily dan ke empat teman Lily beserta seluruh siswa dan siswi yang tinggal di kelas selama jam istirahat berlangsung.
"Gawat. Botol minum Popi ketinggalan!" lanjut Popi berseru sembari berjongkok di samping Lily dan mengguncang lengannya.
Ke empat telan Lily beserta murid yabg lainya makin dibuat terkejut oleh sikap sok akrab Popi pada Lily. Mereka tak pernah sekalipun mendapati Lily beramah tamah pada Popi. Maksud beramah tamah di sini adalah menggoda Popi dengan godaan mautnya.
Salah satu dari teman Lily menyela Popi.
"Bentar, maksud lo apa sih he anak udik?!" bentaknya yang malah membuat Popi makin mencengkeram kuat tangan Lily sebab takut. Ingat, kan, kalau Popi itu berotot. Membuat Lily meringis ngilu merasakan sakit di lengan tangannya.
"Shh ... udah-udah. Gue kenal nih anak. Ingat, kita tetanggaan." ujarnya pada ke empat temannya. Lalu Lily menoleh pada Popi. "Lepasin tangan lo. Tangan gue sakit."
Popi menggeleng dan malah makin merapat pada Lily ketika ke empat teman Lily memelototinya. "B-botol Popi t-tertinggal," bisiknya takut-takut. "Popi gak bisa minum. Padahal Popi haus," sambungnya mengadu.
Menghela napas, Lily menatap Popi prihatin, mengabaikan keterkejutan seluruh murid yang ada di kelas. Karena bagaimana pun, Lily termasuk jajaran gadis paling cantik dan tentunya memiliki kriteria pertemanan yang tinggi.
"Terus mau lo apa?"
Popi makin merapat pada Lily hingga keduanya berdempetan dan bibir Popi terlihat hampir menyentuh pipi Lily.
"Nenen Lily," bisik Popi makin melirih seraya menundukan kepala karena tak kuasa mendapati tatapan tajam dari anak murid lelaki yang menatapnya penuh peringatan.
Lily hanya bisa meneguk ludah mendengar jawaban Popi yang sudah ia perkirakan. Pipinya jelas terlihat bersemu lantaran memikirkan akan berbuat mesum dengan Popi di sekolah. Dirinya merasa begitu tertantang ingin mencobanya. Adrenali terasa mengalir deras dalam dirinya, menyebar cepat ke seluruh bagian tubuhnya, dan itu berhasil menyingkirkan setitik rasa takut pada diri Lily.
Dengan dada berdebar, Lily mengangguk. Popi girang bukan main melihatnya. Tanpa basa-basi, rasa canggung, takut, dan sebagainya, Popi langsung menarik Lily agar berdiri dan berlanjut menarik Lily agar pergi dari kelas.
Satu hal yang berhasil mengambil kembali sedikit kewarasan Lily saat ini.
Kenapa Popi menarik dirinya pergi dari keramaian? Ini sesuatu hal yang normalnya dilakukan oleh orang yang normal ketika hendak berbuat suatu hal yang tidak lumrah dalam kebiasaan sehingga ia membutuhkan ruang tersendiri. Contohnya ketika hendak berbuat mesum, bukan?
Suara pintu terkunci berhasil menyadarkan Lily yang baru saja sadar bahwa kini ia dan Popi tengah berada di toilet siswi.
Tunggu, toilet?
"P-pop ...," panggil Lily takut.
Tanpa menghiraukan Lily, Popi dengan cepat membuka beberapa kancing seragam Lily, menurunkan bra Lily ke bawah, merundukan badan dan langsung melahap salah satu dari ke dua daging gemuk itu ke dalam mulutnya, dengan satu tangan yang bekerja aktif memainkan sebelah payudara Lily.
Lantaran Lily ketakutan oleh sikap agresif Popi, tak dipunggiri bahwa Lily teramat sangat menikmati seluruh sentuhan yang Popi berikan padanya. Setiap jilatan, sesapan, gigitan, sungguh berhasil menerbangkan kewarasan Lily. Ditambah lagi remasan, cubitan, pilinan pada sebelah payudaranya yang membuat kewarasanya yang sudah terbang, kini menjadi terombang-ambing di angkasa.
Perlahan, Popi mulai memepet Lily ke dinding toilet. Tubuh Lily dan tubuh Popi saling bergesekan di antara keganasa Popi ketika mengulum payudaranya. Apalagi kini kedua kaki Lily saling melebar guna menjaga keseimbangan, malah diselipi sebelah kaki Popi. Membuat seluruh titik sensitifnya seolah disetrum listrik, bergetar meminta sentuhan yang lebih.
"Ahh ... Popihh ...."
Dan entah dorongan dari mana, Lily akhirnya menarik kepala Popi hingga kulumannya pada payudara Lily terlepas. Lily lalu merunduk, menempelkan bibirnya pada bibir Popi, melumatnya pelan.
Seluruh pergerakan Popi berhenti. Ia hanya diam, seolah tak paham apa yang tengah terjadi antara dirinya dan Lily. Dan setelah beberapa lumatan tanpa balasan, Lily akhirnya memundurkan wajah dan menatap tepat mata Popi dengan bergairah. Sedangkan yang ditatap hanya memberikan tatapan biasa seolah barusan yang terjadi bukan apa-apa.
Hello, bukan apa-apa?! Yang benar saja! Ini adalah ciuman pertama Lily dan pasti juga ciuman pertama Popi.
Harusnya Popi bersorak sudah dicium oleh Lily dan juga mendapatkan ciuman pertamannya. Namun nyatanya apa yang terjadi tak sesuai harapan.
Akhirnya Lily melepaskan pipi Popi dengan agak mendorongnya termundur. Hilang sudah seluruh eufora yang tadi ia rasakan. Kini yang tertinggal hanyalah rasa kesal dan sedikit perasaan kecewa ketika mendapati Popi hanya bertingkah biasa saja.
Merapikan pakaiannya, Lily pun berjalan hendak keluar. Namun baru beberapa langkah, tangan Lily dicekal oleh Popi.
"Mm ... L-lily ... marah?" tanya Popi takut-takut.
Mendengus seraya menyentak genggaman Popi pada tangannya, Lily berseru, "Bodo!"
Bibir Popi perlahan mulai bergetar dan tak lama suara isak tangis mulai menyerkap indra pendengaran Lily. Berusaha tak memperdulikan Popi yang terisak, Lily melanjutkan langkah. Namun langkahnya kembali tertahan ketika mendengar isakan Popi yabg kian menjadi.
Menghela napas, Lily akhirnya berbalik dan menghampiri Popi kembali.
"Sorry," katanya.
Sesenggukan, Popi memeluk Lily erat, membuat Lily menegang dengan dentuman dada yang menggila. "Huhu Lily ...," isak Popi tersendu di bahu Lily.
Setelah isak tangis Popi mereda, Lily melepaskan pelukan Popi padanya. "Udah, jangan nangis lagi," kata Lily seraya menarik tangan Popi keluar dari toilet. "Kita ke kelas. Bentar lagi bel."
Popi menggeleng seraya memaku langkah. "Gak!" serunya. Lalu ia menunduk dan menatap Lily takut-takut. "Tadi nenennya belum selesai," kata Popi Lirih.
Mengulum bibir, Lily lalu meringis terpaksa. "Cepetan."
Dengan cepat, Popi kembali membuka seragam Lily dan mulai melakukan keinginannya.