"Iya, nenen." Bibir Popi kembali melengkung ke bawah. "K-katanya mau kasih s-susu ...," kata Popi kembali hendak terisak sebab mendengar nada tinggi Lily barusan.
Gila! Nenen, katanya?!
Lily jadi canggung, gugup setengah mati. Jantungnya berdegup cepat seiring syaraf di titik sensitif tubuhnya mulai berkedut. Kenapa Popi sampai berpikir pahwa dia akan menyusui dirinya? Tunggu-tunggu, bukan itu masalah utamanya. Tapi, bagaimana Popi bisa mengetahui kata "nenen" yang sangat keramat?!
Em, bentar ... Popi bukan cowok mesum, kan?
Kegugupan makin menyerang Lily ketika Popi --masih dengan menahan isak tangis-- mulai bangkit dari duduknya dan berjalan menghampirinya yang masih berdiri di depan almari. Tanpa sadar, langkah Lily termundur hingga punggungnya menempel pada bagian dalam pintu almari yang terbuka.
"Mana nenennya?" cicit Popi.
"N-nenen ... a-apa?" Pandangan Lily berlarian, sebisa mungkin tidak menatap mata Popi yang sesekali mengamati dadanya.
"K-kan kalau minum susu harus nenen." Popi makin intens mengamari dada Lily. "Kebetulan Popi lagi haus."
Lily panik ketika Popi mulai memepet dirinya. Walau dia suka menggoda cowok di sekolah, paling-paling Lily hanya akan berpose yang membuat lekuk tubuhnya terlihat jelas dari luar seragam. Bahkan genit-genitnya Lily pada cowok, ia belum pernah berciuman.
"S-susu maksud gue, bukan nenen. T-tapi susu kemasan."
Popi menggeleng. "Iya, susu nenen." Kini bibirnya mulai mengerucut. "Ayo, Lily ... nenen ...." rengeknya. Tangannya meraih ujung kaos Lily dan menarik-nariknya. Membuat jarak di antara keduannya makin menipis.
"Gu-"
"Ih!" Seru Popi. Mukannya mengerut dengan mata menyipit kesal. "Lily ingkar janji! Katanya mau kasih Popi susu ...."
"Popi ...." Suara Maria menginstrupsi rengekan Popi, membuat Popi langsung berlari menghampiri Maria yang tengah berdiri kaku di sisi pintu dan menggelatut manja pada tubuh wanita berusia 50 tahun itu.
"Bunda ... nenen ...." rengeknya, masih belum berhenti.
Maria gugup. Matanya melirik Lily yang kini tengah membelalakan matanya tak percaya. Menatap dirinya dan Popi bergantian. Maria tak menyangka jika mereka akan ketahuan secepat ini oleh Lily.
"Sstt," bisik Maria pada Popi. "Minum susu, bukan nenen, Popi."
Popi menggeleng. "Nenen!" Serunya.
Merasa Popi tak bisa diajak kompromi, Maria hanya bisa tertawa canggung. "Ahaha. Popi-- dia ...." Maria menghela napas. Rasa-rasanya sudah percuma untuk menyangkal.
"Kita makan dulu aja, yuk!" Ajaknya canggung dan berlalu menuju ruang makan, diikuti Popi yang masih merengek.
Lily masih berdiri kaku menatap kosong pintu kamar. Pikirannya melalang buana, lalu hinggap pada ilustrasi reka adegan yang pernah ia tonton bersama temannya. Di mana di sana menampilkan hubungan terlarang antara anak dan ibunya. "Step Mother" judulnya.
"Gila ...," gumamnya tanpa sadar.
Lily menggelengkan kepalannya beberapa kali guna kembali menjernihkan pikirannya. Setelah berhasil menguasai diri, Lily mulai melangkahkan kaki menuruni tangga, menuju ruangan yang dipenuhi aroma sedap ayam panggang, tanpa mengganti baju terlebih dahulu. Dan sepertinya Maria tak mempermasalahkan pakain Lily yang minim.
Makan bersama perdana mereka berjalan hikmat. Hanya denting sendok dan garpu yang saling bersinggung dengan piring keramik saja yang mengisi kecanggungan di antata mereka.
Oh, ralat. Hanya di antara Lily dan Maria. Menengok Popi malah dengan santainya minta tambah paha ayam panggang.
"Lily!" Serunya seraya mengacungkan paha ayam panggang dalam genggaman. Mulutnya celemotan dengan bumbu. "Paha ayam!" Pamernya.
"A ... ehem!" Lily berdehem canggung mendapati Maria menatapnya dengan alis terangkat. Walau setelahnya, Maria malah ikut berdehem dan meletakan sendok di sisi piring, tanda makan telah usai.
"Lily." Panggil Maria serius. Tangannya terlipat di atas meja. Menghela napas, Maria kembali melanjutkan. "Tante tahu, kamu pasti berpikiran-"
"A ... gak kok, Tante! Hehe." Lily menyela dan tertawa gugup. Dadanya tiba-tiba berdegup kencang, antara menanti pernyataan atau malah tak siap mendengarnya.
Maria kembali menghela napas. Matanya menatap sedih Popi yang masih menikmati menu makan siangnya tanpa merasa terusik oleh kecanggungan yang menerjang dua orang wanita di sisinya.
"Siap gak siap, kamu memang harus mengetahuinya," kata Maria.
Meneguk ludah alot, Lily meringis. "Aku kayaknya gak siap-"
"Popi punya alergi," jelas Maria tanpa menghiraukan ketidaknyamanan Lily.
" ... haa?"
"Ya, alergi." Maria menegakkan tubuh dan kembali menatap Popi. Tatapan Maria seolah menyiratkan kesedihan yang mendalam.
"Popi alargi semua jenis cairan ..." kini matanya beralih menatap Lily. Ada keputusasaan di dalam manik mata yang tengah berembun tersebut.
"Kecuali ASI."
"HEE!?"
Lily terlonjak dari duduknya. Membuatnya tanpa sengaja menyenggol bangku Popi dan membuat Popi menjerit kaget karena hampir saja menelan tulang ayam. Tanpa menghiraukan Popi yang misuh-misuh di sisinya, Lily tertawa sumbang. Tak lama tawanya berhenti karena Maria mulai meneteskan air matanya. Seolah perkataannya barusan adalah yang sebenar-benarnya terjadi.
"Gak mungkin." Gumam Lily. Kepalanya menggeleng kecil. "Mungkin akan lebih masuk akal kalau Tante ngaku punya hubungan terlarang sama Popi-"
"LILY!" Maria berteriak sampai bangkit dari duduknya. Bahkan Popi yang sudah kembali menikmati makanannya, terlonjak mendengar nada tinggi sang ibunda, membuatnya mulai terisak. Cepat-cepat, Maria menghampiri Popi dan mendekapnya.
Lily tersadar dan tersentak. Ia langsung menundukkan kepala dan memohon maaf berkali-kali atas kelancangannya. "M-maaf, T-tante ...."
Mengulum bibir, Maria tersenyum kecil. "Yah, saya tau. Sulit memang memahami keadaan keluarga ini."
Rasa bersalah kepada Maria mulai menyesakkan Lily. "Tante ...."
"Gak papa." Maria tersenyum. "Ditinggal mati suami dan punya anak yang gak bisa hidup tanpa ASI mungkin membuatmu berpikir hal yang tidak-tidak tentang hubungan kami."
"Saya hanya berpikir jika kamu harus tahu bila ingin tinggal di sini. Agar semuanya transparan dan tidak ada kesalah pahaman lagi."
"Dan saya mohon, jangan sebarkan aib keluarga kami ke dunia luar. Sudah cukup Popi diejek teman-temannya karena tingkahnya yang seperti anak kecil. Jangan sampai mereka tahu dan makin mengejek Popi habis-habisan. Walau Popi jiwanya masih seperti anak kecil, justru itu yang membuat Popi mudah melampiaskan emosinya dengan cara menangis karena merasa sakit hati."
Maria menatap Lily sungguh-sungguh. Ada sebuah harapan besar yang coba ia sampaikan lewat matanya.
"Saya harap kamu bisa memahami Popi."
***
Lily dan Maria tengah duduk ditonton sinetron di ruang keluarga.
"Jadi Tante suka susuin Popi walaupun payudara tante gak bisa ngeluarin ASI?
Maria mengangguk. "Awalnya bisa keluar ASI setelah minum obat. Tapi lama-kelamaan ASI saya makin sedikit dan sampai akhirnya berhenti. Popi awalnya sempet protes kenapa gak ada ASI lagi. Dan saya selalu jawab, kalau ASI nya sebenernya ada, cuma Popi aja yang gak lihat. Dan sebagai gantinya, apa yang dia minum dalam gelas adalah air mineral. Bisa dibilang, saya mencoba menanam sugesti pada Popi."
Pantes saja tadi Popi bilang kalau mau minum susu harus nenen, batin Lily.
Hadeh. Pening kepala Lily sebenarnya. Namun karena rasa penasaran dan sesuatu yang begitu menggelora di dalam dirinya, akhirnya ia bertahan pada pembicaraan yang sebenarnya masih belum Lily terima sepenuhnya.
"Terus Tante beli ASI pompa dari busui?"
Marina kembali mengangguk. "Iya. Saya selalu stok di kulkas kalau-kalau Popi haus. Kan gak mungkin saya minta orang buat susui Popi langsung," katanya agak bercanda. Membuat Lily ikut meringis membayangkan jika benar-benar ada orang yang mau menyusui seorang remaja.
"Sudah jam delapan. Sebaiknya kamu tidur, biar besok gak terlambat sekolah," tutur Maria.
"Ah, iya." Lily berdiri dan tersenyum sekali lagi pada Maria. "Aku naik, ya, Tan."
Di tengah undugan tangga, Lily menghentikan langkahnya. Dadanya makin berdebar keras seiring titik sensitifnya yang berdenyut nyeri.
Sebenarnya, sedari tadi, Lily begitu diliputi rasa penasaran yang mengakibatkan keinginan untuk mencoba hal tersebut. Mencoba hal yang selalu ingin Lily coba, namun seberapa besar tekat yang ia kumpulkan untuk memulai langkah percobaannya, selalu ada rasa takut yang membayanginya bagaikan awan gelap.
Seperti sekarang ini. Sejak Popi meminta menyusu padanya, berlanjut pada alergi Popi, dan penjelasan Maria, rasa itu kian memuncak. Syaraf di beberapa titik pusatnya seolah tergelitik, membuatnya kegelian dan menginginkan sesuatu yang lain.
Apa ini waktu yang tepat untuk mencoba? Dengan Popi sebagai objeknya? Namun, Lily takut bila ia terkesan memanfaatkan situasi Popi. Walau tak dipungkiri jika Popi juga pasti takkan merasa dimanfaatkan.
Tak terasa langkah kaki Lily telah berhenti pada sebuah pintu berwarna biru laut. Yang Lily tau sebagai kamar Popi.
Lily memukul kepalanya gemas. Merutuki dirinya yang telah benar-benar dikendalikan oleh nafsu. Baru juga Lily berbalik, pintu bercat biru muda itu sudah keburu dibuka dari dalam.
"Em ... Lily?"
Refleks, Lily berbalik dan tersenyum canggung ketika menangkap sosok Popi dengan balutan piama bermotif beruang.
"Ah, belum tidur, lo?" Tanyanya kikuk.
Popi agak menelengkan kepalanya. "Popi aus. Mau nenen sama Bunda dulu."
Mendengar itu, Lily tersentak dan melotot. Jantungnya makin berdebar tatkala menimbang apa yang ingin ia katakan pada Popi.
Melihat Lily yang melotot seram membuat Popi agak ketakutan. "Lily, jangan melotot ... Popi takut ... kalau Lily mau nenen juga, nanti Popi bilangin ke bunda, deh."
Kini Lily tersedak ludahnya sendiri. "Eh, gue juga punya, ya. Jadi gak minat nenen sama Bunda lo!"
Mata Popi terkerjap beberapa kali. Lalu pandangan matanya yang awalnya menatap tepat manik Lily, kini mulai turun pada gundukan di balik kaos yang dikenakan Lily.
Sebuah ide membuat wajah Popi merekah. Ia lalu menggenggam ujung kaos Lily dan menariknya. "Kalau gitu, Popi nenen sama Lily aja, deh!"
"W-wha-"
"Ayo, Lily!" Popi dengan riang menyeret Lily masuk ke dalam kamarnya tanpa menghiraukan Lily yang panik dan mencoba menarik tubuhnya mundur.
"Popi mau nenen!"