Mendengar ada suara yang menangis, Pradikta Arya Wicaksana-yang bisa dipanggil Dikta berbalik dan mendapati Dealova tengah berjongkok dan menutup wajah dengan kedua telapak tangannya.
Dihelanya napas pelan dan kembali mendekati Dealova setelah memarkirkan sepeda motornya ditempat yang benar. Awal jatuh tadi sempat ada beberapa orang yang mendekatinya untuk membantu. Namun ketika dirinya meyakinkan mereka kalau ia baik-baik saja, orang-orang itu kembali ketempatnya aktivitasnya masing-masing.
"Hei, Mbak. Saya yang ditabrak, kok mbaknya yang nangis?" tanya Dikta dengan sesekali meringis karena lukanya.
"Habisnya hari ini hari terburuk dalam hidupku. Diselingkuhi calon suami, nabrak orang. Mana orangnya ketus lagi. Lengkap banget penderitaanku." Dealova semakin meraung. Dirasanya hari paling sial dalam hidupnya setelah semua kejadian buruk yang dialami Dealova hari ini.
Dikta terkekeh pelan. Rupanya gadis yang ada dihadapannya ini sedang galau. "Jadi, mbaknya mau tanggung jawab? Nih!" Dikta menyodorkan telapak tangannya yang terluka. Terdapat luka yang cukup lebar karena bergesekan dengan aspal.
Meski jatuhnya tidak terlalu kuat, namun yang namanya kulit bersentuhan dengan jalanan ya tentu saja lukanya akan terasa sakit. Terdapat darah yang masih mengalir dari balik luka. Tak banyak, namun Dealova yang melihatnya saja tahu kalau pria dihadapannya itu sedang menahan sakit.
Dealova mengangkat wajahnya ragu. Ditatapnya pria yang tersenyum padanya, tak seperti tadi-memandangnya penuh dengan penghakiman. Diamatinya lagi lengan yang terulur padanya, penuh dengan luka akibat ulahnya tadi.
Tanpa disadarinya, Dealova meniup luka itu. meski tahu dengan tiupannya tak akan meribah apapun tapi Dealova berharap bisa memberikan rasa sejuk karena udara yang bertiup dari mulutnya dan tertuju dari luka yang ada ditangan itu. Terdapat pula beberapa bercak hitam, seperti oli. Tak luput pula kuku yang sudah sedikit memanjang luput dari noda hitam tersebut.
Dikta terdiam melihat tindakan Dealova akan lukanya. Begitu menyentuh hati sang pria. Diingatnya lagi tentang beberapa kejadian yang membuatnya tersenyum.
"Kita keklinik aja ya?! Ini harus dikasih obat dalam juga kayaknya." Dealova menatap ngeri kearah luka Dikta dan membuat lelaki itu langsung mengerjap pelan. Sejak tadi pikirannya teralih karena tiupan dari Dealova.
Kebetulan pria itu hanya mengenakan kaos lengan pendek, dan lengannya jadi santapan aspal siang ini. Dan Dealova merasa kalau dirinya harus membuat lelaki yang duduk disampingnya ini harus sembuh seperti sedia kala.
"Saya sih gak papa sebenernya, tapi kalo mbaknya maksa, ayok aja." Dikta tak ingin melihat Dealova menangis seperti tadi. Ia paling benci akan hal tersebut. Lebih baik Dikta mengiyakan apa yang diminta meski harus melihat tangis bercucuran dihadapannya.
Dealova tersenyum dan membantu Dikta berdiri meski sebenarnya pria itu bisa berdiri sendiri. Dituntunnya Dikta kedalam mobil yang ia parkir secara sembarang saja tadi. Untung masih mepet pinggir jalan. Kalau tidak, mungkin sudah kena teguran dari pengguna jalan yang lain.
"Hmmm.. Aku boleh kasih saran nggak buat kamu?" Dikta berkata penuh ragu, namun dirinya harus mengatakan hal tersebut pada Dealova.
"Boleh aja. Asal itu usul yang baik."
"Mending kamu bersihin dulu itu noda hitam dibawah mata. Kayak habis ditonjokin tahu."
Dealova yang sejak tadi hanya fokus pada Dikta tak memperdulikan penampilannya sendiri. Dilirik wajahnya dengan menggunakan rear view mirror. Dan tentu saja Dealova terkejut melihat lelehan maskara berhambur disepanjang matanya.
"Astaga, jadi dari tadi wajahku kayak gini. Kenapa baru bilang sih?" Dealova yang masih menyetir panik mlihat raut wajahnya yang sangat mirip seperti hantu.
Tentu saja membuat Dikta tertawa melihat reaksi Dealova. "Jangan panik, nanti kamu bisa nabrak orang lagi." Dikta mengingatkan. "Dikta mencari air yang ada dipintunya dan mengambil tisu.
Diusapnya maskara yang ada disekitaran wajah Dealova dengan satu tangannya yang tak terluka parah. "Kamu fokus aja nyetirnya, biar aku bantu bersihin muka kamu."
Dealova diam. Sesekali menelan salivanya ketika wajah Dikta yang sedang serius sangat dekat dengan wajahnya. Bahkan rasa sakit karena melihat Aksa bercinta dengan gadis lain hilang karena pria yang sedang membersihkan wajahnya saat ini.
"Hmm.. Not Bad lah." Dikta menjauhkan wajah dan tangannya dari wajah Dealova setelah dirasa cukup membersihkan wajah ayu itu.
Sekali lagi Dealova mengecek wajahnya direar view mirror. Masih terdapat beberapa noda kecil namun tak seburuk tadi. Ia harus membersihkannya dengan menggunakan pembersih wajah.
"Thanks ya."
Dikta mengangguk pelan. Kini keduanya sudah sampai didepan klinik, Dealova mengantarkan Dikta kedalam dan langsung mendapat penanganan.
"Ini ada luka yang harus di jahit, Mas. Ada pasir juga didalam lukanya, jadi harus segera dibersihkan." Seorang Dokter wanita yang sedang mengamati luka ditangan Dikta memberi tahu.
"Kan, tadi kamu bilang tidak apa-apa. Tapi parah gitu." Dealova mengerutkan wajahnya. Semakin merasa bersalah pada Dikta.
"Ya, tadi aku ngerasa baik-baik aja. Sekarang udah kerasa sakitnya kok." Ringisan mulai terlihat dari raut wajah Dikta ketika sang perawat membersihkan lukanya.
Dealova cara kerja sang Dokter. Meski bukan lukanya, namun Dealova bisa merasakan kalau luka itu pasti sangat sakit.
Dikta yang awalnya merasa sakit, tersenyum melihat wajah serius Dealova. Gadis itu begitu perhatian meski keduanya tak saling kenal dan menunjukkan tanggung jawabnya sebagai penyebab terjadinya kecelakaan.
Ada rasa hangat yang mulai menjalar dihati lelaki itu. Padahal ini adalah pertemuan pertama mereka, namun Dealova mampu dengan mudah membuatnya terpesona.
"Kenapa melihatku seperti itu?" tanya Dealova ketika bertemu mata dengan Dikta. Karena sejak tadi lelaki itu tak berkedip melihatnya.
"Wajah kamu lucu."
"Lucu? Badut kali."
Dikta terkekeh dengan perumpaman yang Dealova berikan atas kalimatnya tadi. Bagaimanapun juga, dengan dirinya fokus pada gadis yang ada dihadapanya itu membuat dirinya lupa dengan rasa sakit akibat jahitan dilukanya.
"Sudah selesai. Dan ini resep obatnya. Bisa ditebus didepan." Dokter yang menangani Dikta memberikan resep yang harus dikonsumsi supaya lukanya segera mengering.
"Jadi berapa dok?" tanya Dealova dan bersiap mengeluarkan uang dari dalam tasnya.
"Langsung dikasir saja, Mbak. Itu kayaknya masnya udah diluar." Dokter menunjuk Dikta yang sudah tak berada disamping Dealova.
"Kalau begitu terima kasih banyak, Dok. Saya permisi."
Dealova meninggalkan Dokter yang sudah memberinya ijin untuk pergi. Gadis itu pergi tergesa-gesa mencari Dikta yang ternyata tengah berdri didepan meja kasir.
"Terima kasih," ucap pria itu. Dipalingkan wajahnya saat Dealova datang menghampirinya.
"Kok kamu yang bayar?" protes Dealova.
"Kan aku yang sakit."
"Tapi aku yang buat kamu sakit." Dealova mengulurkan tangannya memberikan beberapa lembar uang ratusan ribu. Ia benar-benar ingin bertanggung jawab atas kesalahannya.
Dikta yang sudah berdjalan terlebih dahulu, menghentikan langkahnya dan berbalik. Mendapati gadis yang ada dihadapannya tengah menunduk sedih.
"Kalau memang kamu merasa bersalah, bisa rawat aku sampai sembuh?"
To Be Continue...