Chereads / Dealova / Chapter 3 - Aku Memanggilnya 'Lova'

Chapter 3 - Aku Memanggilnya 'Lova'

"Kalau memang kamu merasa bersalah, bisa rawat aku sampai sembuh?"

Dealova diam mematung mendengar permintaan Dikta. Tak bergeming sedikitpun. Selama ini dirinya hidup sendiri, serba dilayani. Hanya sesekali merawat sang ayah yang sangat sibuk dengan pekerjaannya. Bagaimana mungkin ia bisa merawat orang lain?

"Kalau tidak mau juga tidak apa-apa. Makasih ya udah antar aku kesini." Dikta kembali melanjutkan langkahnya meninggalkan Dealova yang belum membuka suaranya.

"Hei, tunggu. Aku kan belum menjawab, kenapa kamu perggi begitu saja?" Dealova berlari menyusul langkah lebar Dikta. Pria itu pun masih terpincang jadi tak bisa kencang berjalan.

"Aku mau kok merawat kamu sampai sembuh." Dealova merebut bungkusan obat yang ada ditangan Dikta dan berjalan pelan disebelahnya. "Setelah ini kamu mau kemana? Biar aku antar."

"Ambil motor."

"Tangan kamu kan masih sakit. Gimana mau bawa motor? Aku suruh orang aja. Aku nggak mau ya kamu jatuh lagi. Itu tangan belum sembuh masa mau ditambah lagi lukanya." Tatapan mata Dealova begitu mengintimidasi.

"Iya, baiklah. Terserah padamu saja."

"Nah, gitu dong." Dealova tersenyum sumringah. Selama ia menjalin hubungan dengan Aksa, Dealova tak pernah dibuat seperti itu. setiap kali Dealova memberikan pendapat, selalu saja dibantah oleh lelaki itu. Memang sih pilihannya lebih baik, tapi selalu saja dimulai dengan perdebatan.

Tiba-tiba wajahnya berubah jadi sendu. Kembali teringat sang calon suami yang sudah membuatnya sampai mengalami kejadian seperti ini.

"Hei, kenapa?" Dikta yang baru saja memalingkan wajahnya pada Dealova melihat perubahan raut wajah itu. "Aku salah ya?"

Dealova menggeleng cepat. Tak mau memikirkan rasa sakitnya lagi. Paling tidak saat ini dirinya memiliki Dikta yang bisa menghiburnya sampai beberapa waktu kedepan.

Kali ini tatapan matanya langsung tertuju pada kuku Dikta yang panjang dan berwarna hitam.

"Kalau boleh tahu, kamu kerja apa sih?"

"Bengkel."

"Oh, pantes aja kukunya hitam-hitam begitu. Panjang-panjang lagi. Kan jorok. Sini aku potongin dulu." Dealova menggiring Dikta untuk duduk dikursi pojokan koridor klinik.

"Lihat ini, jorok tahu." Dealova mulai memotongi kuku milik Dikta yang kotor dan panjang. "Nanti kalau kamu makan bisa sakit perut."

"Kamu bawel banget ya orangnya. Kayak ibu-ibu arisan satu komplek. Padahal kita belum kenal."

Dealova hanya mengendikkan bahunya dan terus memotongi kuku Dikta. Keduanya memang belum berkenalan sejak tadi. Sibuk mengurusi luka Dikta yang membuat Dealova panik.

Dikta hanya meringis saja. Karena dibeberapa bagian jarinya juga terdapat luka. Sekali lagi dengan jarak yang lebih dekat, Dikta melihat wajah Dealova. Sesekali dihelanya napas karena merasakan sesuatu yang menyusup direlung hatinya.

"Nama kamu siapa?" tanya Dealova tanpa mengalihkan perhatiannya dari jari Dikta.

"Dikta," jawabnya singkat karena masih terlalu asyik menikmati wajah gadis yang ada dihadapannya.

"Aku Dealova. Temen-temen panggil aku Dea."

"Kalau aku panggil Lova, boleh?"

Barulah Dealova menghentikan kegiatannya dan memandang Dikta sejenak. Diturunkannya jemari Dikta diatas panguannya. "Agak aneh sih, tapi lucu juga."

"Jadi deal ya, aku panggil kamu Lova."

Dealova mengangguk setuju dan tesipu malu. Bahkan rasa luka yang digoreskan Aksa sebelumnya sudah ia lupakan berkat kehadiran Dikta disisinya.

"Kamu biasa ngurusin yang beginian? Lincah banget kayaknya." Lelaki itu menunjuk tangan Dealova yang masih memagangi tanganya.

"Apa?"

"Potongin kuku orang? Kayaknya seneng banget."

Dealova terkekeh. "Iya, biasanya aku yang potongin kuku papa dirumah. Seneng aja gitu kalau lihat jarinya bersih. Terus satu sama juga kan, tadi kamu bersihin wajah aku juga." Dealova menunjuk wajahnya yang dibersihkan oleh Dikta tadi.

"Udah selesai." Dealova mengangkat tangan Dikta yang sudah tak sepanjang tadi. Namun masih ada beberapa noda bekas oli di tangan lelaki itu. "Nanti tangannya dicuci ya kalau mau makan."

"Iya ibu peri."

"Kok Ibu Peri? Wajahku kelihatan tua banget ya?" tanya Dealova pada Dikta dengan kerutan didahinya.

"Ya nggak gitu sih maksudnya. Ibu peri kan konsepnya jadi wanita baik-baik. Nah, begitulah kamu."

"Wow, itu berat banget buat aku deh kayaknya."

Dikta dan Dealova kembali berjalan dan meninggalkan klinik. Masih dengan posisi Dealova sebagai supir dan Dikta duduk manis disamping gadis itu. Keduanya merasa cocok dan terlibat pembicaraan seru disepanjang perjalanan.

"Jadi kamu kerja di Abimana Corp? Bagus itu. Katanya yang kerja disana benar-benar orang pilihan. Aku yakin sama kemampuan kamu." Dikta yang baru saja mengetahui sebuah fakta baru tentang Dealova cukup takjub dengan tempat bekerja sang gadis.

"Kita baru kenal, kamu bisa yakin dari mana sama kemampuan aku?"

"Kan udah aku bilang, kalau yang bekerja di Abimana Corp itu orang-orang pilihan. Ya seharunya itu nilai plus kamu. Lagian kamu orangnya banyak mgomong. Kalau ada butuh bantuan pasti gampang nyarinya."

Tentu saja Dikta tak mengetahui fakta sebenarnya kalau Dealova adalah pewaris tunggal dari perusahaan yang ia sebutkan tadi. Ia hanya ingin berteman dengan orang yang tulus dan tidak memanfaatkannya karena harta semata.

Paling tidak untuk saat ini Dealova membutuhkan seseorang tanpa memandangnya dari segi status sosialnya saja.

Meski Dealova adalah putri satu-satunya dari seorang Abimana namun tak serta merta membuat Dealova sombong. Bahkan jika dilihat dari segi penampilan, Dealova adalah sosok yang jauh dari kata glamour.

"Yeah paling nggak, kamu bisa beli bedak sama bensin sendiri dan nggak terus menerus ngandelin uang jajan dari orang tua kamu."

Dealova terkekeh pelan. Berbicara dengan orang baru semacam Dikta membuat pikirannya semakin membaik. Ia tahu apa yang akan dia lakukan setelah ini. Dan sudah siap menghadapi sang papa jika lelaki paruh baya itu menerornya dengan pertanyaan saat dirinya menyatakan ingin putus dengan Aksa.

"Itu, motor aku disitu." Dikta menunjuk motor yang masih teronggok ditempatnya. Tidak rusak parah, hanya ada beberapa goresan saja.

"Kita bawa kebengkel kamu aja. Nanti aku yang biayai semuanya." Dealova mengamati goresan-goresan disepeda motor milik Dikta. Sebuah motor tua yang selama ini menemani perjalanannya.

"Cuma gores dikit kok. Biarin aja." Dikta meminta salah satu orang yang ada disana mengantarkan dirinya dengan menggunakan motor yang sejak tadi ia titipkan disana.

"Lova, makasih ya udah antar aku sampai sini. Aku ke bengkel bareng abang ojek aja," pamit Dikta pada Dealova yang masih menantinya disamping mobil.

Jelas saja membuat Dealova menengernyit tak setuju. "Nggak gitu kan tadi perjanjiannya. Aku anterin kamu sampai bengkel."

"Aku udah nggak papa kok. Nggak enak ngerepotin kamu. Kamu hati-hati dijalan ya. Jangan melamun. Aku pergi dulu."

Dikta langsung pergi meninggalkan Dealova yang masih mematung dengan kepergian lelaki itu. Namun tak memaksa jika Dikta tak ingin diantar olehnya. Ada perasaan kosong setelah kepergian Dikta dari hadapannya.

Mata Dealova terus mengamati kepergian Dikta yang melambaikan tangan padanya. "Semoga Kita bisa bertemu lagi, Dikta."

To Be Continue