Tiga hari ditunda, akhirnya Kama dan Puteri bertemu siang ini. Psikiater Kama selama bertahun-tahun itu sampai rela datang ke ruangan Kama karena yang bersangkutan sangat sibuk belakangan ini. Kama juga heran sebetulnya, sepenting apakah yang akan Dokter Puteri sampaikan padanya.
"Jadi begini Kama ..."
"Soal siapa yang bisa mulai memunculkan dan menajamkan emosi Kamu, kepedulian spontan Kamu itu, apakah ... Klarisa?" tanya Puteri, sukses membuat Kama mengerutkan dahinya. Puteri memang tahu siapa Klarisa karena gadis itu selalu bersama Kama sebagai 'anak magang' tak resmi beberapa hari terakhir.
Kama lantas menggeleng, "Bukan, Dok."
"Tapi dari observasi singkat Saya, sepertinya Klarisa juga."
Kama terdiam. Pikirannya kembali memutar ulang apa saja yang Ia berikan dan lakukan untuk Klarisa. Ya sebatas mengantar jemput, makan siang bersama, mempelajari kasus bersama.
"Lalu siapa? Apa dia tidak bisa bantu Kamu?" lanjut Puteri.
"Namanya Adriana. Saya yang menolak Dok."
"Kenapa?"