Pemandangan berbeda menyambut Andini saat ia keluar dari toilet ruang kerjanya dan siap untuk pulang. Sebuah bingkisan terbungkus rapi bermotif bunga Anggrek bulan, bunga favoritnya dengan pita berbentuk bunga mawar melilit di sudut kanan atas bingkisan itu. Andini melongokkan kepalanya keluar ruangan, sepi. Dengan sangat hati-hati Andini memegang bingkisan itu. Tak ada pesan tertulis di atasnya, seperti biasa. Sesaat Andini teringat seseorang, Raka. Diakah yang mengirimkannya.
Andini menelan ludah, dengan hati-hati ia membuka pembungkus kertasnya dan sesekali menoleh ke luar ruangan. Hari ini bukan ulang tahunku, kalaupun itu Raka, kurasa tak mungkin. Raka bukan pria romantis seperti ini, lalu siapa?
Andini menghentikan tangannya, dan mengurungkan niatnya untuk membuka bingkisan di depannya itu. Kemudian ia memasukkannya ke dalam tas transparan miliknya. Pengirim yang misterius, batin Andini. Meraih tas Longchamp-nya dan kemudian bergegas meninggalkan ruangan.
Tepat pukul sepuluh, hanya tinggal satpam di depan pintu gedung, menyapa Andini dengan sopan dan membukakan pintu. Andini membalas dengan senyuman dan berlalu. Hari ini Andini mengendarai mobil sendiri karena Pak Nano ijin putrinya tengah sakit. Swift hijau terparkir manis di sana, bip … bip ... Andini menekan kunci otomatis. Membuka pintu, menyalakan mesin.
Cling..
Suara dari ponselnya berbunyi. Andini meraih ponselnya menekan menu tengah.
Mbak, aku langsung pulang yah. Baru masuk tol Ciawi. Macet parah.
Oke. Hati-hati Deh.
Sent.
Cling ...
Sip!
Balas Dhea singkat.
Hujan turun perlahan, Andini menyalakan wiper-nya dalam frekuensi sedang. Andini menggerakkan tuas persneling seiring roda bergerak berjalan melambat. Yah, Andini lebih berhati-hati dalam mengendarai mobil ketimbang Dhea bak pembalap F1.
Gerak mobil melaju dengan kecepatan sedang, guyuran hujan membuat Andini harus extra hati-hati mengendarainya. Wiper semakin cepat bergerak namun masih saja kalah cepat dengan guyuran hujan. Andini berhenti tepat di depan garis pembatas traffic light. Sepi, hanya beberapa kendaraan di sisi kanan kirinya. Andini membetulkan posisi kaca spion tengah. Camry hitam berada persis di belakang mobilnya. Camry itu, sedari tadi berada tepat di belakangnya. Andini menoleh ke kanan, kemudian ke kiri. Mungkin satu arah dengannya, pikir Andini tak mau curiga.
Traffic light berwarna hijau, Andini memajukan tuas persneling dan kali ini menambah kecepatan laju kendaraannya. Tepat sepanjang jalan Gunung Sahari Nampak lengang tak seperti biasanya. Di perempatan Golden Truly Andini membanting setir ke kiri, sebenarnya ia ingin mampir ke sebuah Restoran Seafood tepat di depan pusat perbelanjaan Mangga Dua Square, namun ia mengurungkan niatnya. Mobil melaju dengan kecepatan diatas 60 km dan kali ini Andini semakin panic. Camry itu masih mengikutinya.
Atau mungkin ia salah satu penyelidik yang tengah menyelidiki kasusnya belakangan ini, Andini terus berpikir. Tangan kirinya berusaha meraih ponsel, namun ia tak bisa menemukannya di dalam tas. Andini mendesah, menahan nafas pandangannya terhalang guyuran hujan. Beruntung malam ini jalanan tak macet dan banjir seperti awal tahun kemarin, Jakarta diguyur hujan lebat. Hujan berkurang intensitasnya di akhir bulan Maret menjelang musim kemarau.
Tepat di perempatan Gajah mada, traffic light hijau Andini memutar setir ke kanan ban mobilnya mengeluarkan decitan kencang. Andini menarik nafas lega, apartemennya terlihat didepan mata, tinggal beberapa meter di hadapannya.
Andini memastikan Camry hitam itu sudah tak mengikutinya. Beruntung Jakarta tak seperti kota besar negeri lain. Mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi akan menyalakan sinyal mobil dan kamera-kamera yang siaga 24 jam di sepanjang ruas jalan utama itu akan menangkap siapapun pengendara mobil dengan kecepatan tinggi. Tidak untuk di Jakarta.
Tepat di depan apartemen, Andini menarik napas lega. Ia melaju dengan lambat memasuki area parkir. Butuh waktu lama untuknya dan berdiam diri didalam mobil menenangkan dirinya. Ketika semua persendian dan otot-otot sarafnya sudah tak menegang, melongok keluar kaca meraih tasnya dan bergegas keluar.
Beberapa penghuni apartemen masih berlalu lalang, diantaranya sama seperti Andini baru saja pulang dari kantor dengan wajah lusuh. Hening dalam lift, Andini berdiri di sisi kanan merekatkan jari jemarinya. Berharap lift meluncur cepat..
Ting …
Lantai 25
Andini bergeser memiringkan tubuhnya dan keluar dengan cepat, sedikit berlari ia merogoh tas dan mengambil kunci, memutarnya ke kanan, Klik, Andini menutup pintu dengan cepat dan menguncinya segera. Napasnya kembang kempis, siapa pengemudi Camry hitam itu, pikiran Andini masih berkecamuk. Mungkinkah salah satu dari penyelidik itu.
"Aaaaaaaaaaa…."
Andini menjerit, pundaknya disentuh oleh seseorang dan kemudian lampu menyala.
"Andini, ini aku. Raka." Raka berdiri tepat di hadapan Andini.
Andini tertegun menatap Raka, masih tak bergeming. Ia berpikir seseorang telah menyusup ke dalam kamarnya. Dan baru teringat, ia pernah memberikan Raka kunci kamar apartemennya.
"Andin, kamu pucat sekali. Ada apa? Apa yang terjadi?" Raka memberondong dengan banyak pertanyaan. Namun Andini masih berdiri mematung, ingin sekali ia memeluk sosok di hadapannya itu namun Andini sadar ia dan Raka masih belum terikat. Dan kali ini, apa yang tengah Raka lakukan di sini.
Setelah dua pekan tanpa kabar dan menghilang membuatnya khawatir bahkan Andini sudah sangat frustasi memikirkan kepergian Raka. Tiba-tiba laki-laki itu kini berada tepat di hadapannya. Andini menahan nafas dan berusaha cairan bening di pelupuk matanya tak terjatuh. Kerinduan dalam dirinya tak bisa ia pungkiri betapa Andini sangat merindukan Raka.
"Andin, kamu baik-baik saja?" Raka menyentuh lengan Andini. Andini hanya mengangguk, ada amarah disana, di dalam diri Andini. Marah mengapa Raka tak pernah sekalipun menghubunginya, marah dimana Raka ketika dirinya sangat membutuhkannya dan marah mengapa ia begitu sangat mencintai sosok laki-laki di hadapannya itu.
Raka menarik lengan Andini dan memeluknya erat, Andini menahan tangis. Betapa ia sangat merindukan Raka.
"Maafkan aku, Andin." Kata Raka dengan lembut di telinga Andini.
"Aku janji tak akan pernah meninggalkanmu."
Andini hanya mengangguk, kali ini jantungnya berdebar kembali sangat kencang namun nadanya berbeda.
"Sebaiknya kamu mandi."
Andini mengangguk, segera menuju kamarnya. Raka berjalan ke arah dapur, menyalakan kompor gas dengan api kecil dan meletakkan panci di atasnya. Dengan cekatan Raka mengeluarkan beberapa bahan makanan dari dalam kulkas. Andini selalu mengisi kulkas dengan bahan-bahan makanan. Raka mengocok telur dan memotong daun bawang, setelah mendidih ia mengambil teh hijau dan cangkir dari dalam lemari, memberikan sedikit gula, menyeduhnya kemudian mencium aromanya. Raka tersenyum sendiri.
Ia memasukkan mie instan ke dalam panci menunggu beberapa menit kemudian ditiriskan, mengangkat pancinya dan meletakkan fry pan di atas kompor dengan cekatan Raka membuat makanan siap saji untuk Andini.
Andini keluar dengan mengenakan piyama lengan panjang dan celana panjang bergaris horizontal, rambutnya diikat ke belakang tak tersisa. Aroma daun bawang menyeruak.
Raka terkejut, Andini telah berdiri di sisinya.
"Mie kocok telur?"
Raka mengangkat bahu, menyeringai dengan tangan kanan masih memegang fry pan membolak-balik adonan mie telor buatannya.
"Masih nggak berubah." Kata Andini, meninggalkan Raka dan duduk di meja makan. Meraih teh hijau yang sudah siap.
"Sudah lama aku nggak minum ini." Andini menyeruput teh hijau dengan antusias.
Raka menghampiri Andini dengan mie telur yang sudah siap di tangannya.
"Masih ingat ini?" Raka meletakkan mie telur di atas meja dan duduk berhadapan dengan Andini. Mengambil garpu dan memotong menjadi beberapa bagian. Andini tersenyum mengawasi Raka dengan seksama tanpa berkedip sedikitpun.
"Aaaaaa …." Raka menyendok satu potongan dan diarahkan ke mulut Andini. Andini membuka mulutnya dengan lebar, mengunyah, manggut-manggut.
"Hmmm… masih sama kayak dulu." Dengan mulut penuh Andini mengangkat kedua ibu jarinya. Raka mengerling dan tak mau kalah melahap dengan cepat. Andini tak mau kalah mengambil garpu dan menyendoknya. Sungguh, seakan Andini melupakan masalah yang kini tengah ia hadapi.
Andini teringat ketika masa-masa ia dan Raka kuliah dulu. Mereka sering kali membuat makanan ini di tempat kos Raka setiap kali malam minggu. Waktu itu Raka tak pernah mengajak Andini bermalam minggu ke tempat-tempat layaknya sepasang kekasih.
Andini mengerti, Raka hanya seorang mahasiswa yang mendapatkan beasiswa. Jadi ia sangat paham betul dengan kondisi Raka saat itu. Bagi Andini bersama Raka sudah cukup baginya merayakan malam-malam mereka dengan hanya menonton tv dan makan mie telur buatan Raka atau terkadang diskusi mengenai tugas-tugas kuliah mereka.
"Maafkan Aku, Andin. Atas waktu yang tak pernah kuberikan untukmu." Raka menggenggam tangan Andini. Andini hanya mengangguk, tersenyum.
"Aku janji, aku akan bersamamu, menemanimu mempersiapkan semua keperluan pernikahan kita. Kau pasti lelah selama ini, menungguku. Maafkan aku!"
Raka mencium tangan Andini dengan lembut, Andini hanya bisa tersenyum menatap Raka.
-Aku hanya ingin seperti ini selamanya denganmu, Raka- Batin Andini.
I love you, please say
You love me too
Till the end of time
These three words
They could change our lives forever
And I promise you that we will always be together
(I Love You, Celine Dion)