Chereads / Bloody Valentine (Sean-Claire) / Chapter 3 - Bloody Valentine 3

Chapter 3 - Bloody Valentine 3

Sean masih duduk termenung di kursi taman. Mengingat-ingat masa-masa indah saat bersama Claire.

Tidak mudah melupakan kenangan manis dengannya. Claire yang cantik, selalu ceria, suara tawanya yang renyah, senyum di bibirnya yang menawan. Semua sekarang terasa menyiksa bagi Sean.

Beberapa saat kemudian, Sean bangkit. Ia harus mencari petunjuk tentang siapa pembunuh wanitanya.

Sean memutuskan akan menyewa detektif swasta, sambil tetap menanti kabar hasil investigasi dari kepolisian. Penyebab kematian Claire masih belum pasti. Masih banyak misteri yang belum terungkap. Terlalu awal memang. Baru beberapa hari saja kasus ini terjadi.

Sean pulang ke apartemennya. Ibunya sudah kembali ke rumahnya sejak semalam.

Beristirahat sejenak, tubuhnya terasa lelah, perutnya pun terasa lapar. Ya, sudah lewat jam dua belas siang saat Sean tiba di apartemen.

Mengambil makanan instan dari kitchen island, memasukkannya ke dalam microwave. Sambil mananti masakannya matang, lagi-lagi Sean teringat akan Claire.

"Jangan terlalu sering mengkonsumsi makanan instan, Sean. Ingat tubuhmu butuh asupan makanan yang bergizi. Sebagai dosen, kau butuh asupan untuk otakmu." Claire menasehatinya kala pertama kali Sean mengajaknya ke apartemennya, setelah kencan mereka yang kesekian. Well, setelah mereka resmi berpacaran.

Claire memergokinya, banyak menyimpan makanan instan di kitchen island-nya. Makanan instan favorit orang Indonesia.

Sean berdalih, ia memakannya hanya sepekan sekali, karena rasa dari bumbu mienya yang enak.

la pertama kali merasakan mie instan yang lezat itu, saat pulang dari mengajar untuk pertama kalinya. Diajak salah satu rekannya, lebih tepatnya, ke salah satu warung tenda dekat kampus.

Sejak itulah, Sean sengaja membeli beberapa mie instan itu, sebagai selingan makanan sehat.

Ting!

Tanda makanannya telah siap untuk disantap. Sean mengeluarkannya dari microwave, dan membawanya ke meja makan. Menikmati makanan itu perlahan.

Suasana apartemen Sean begitu sunyi. Hanya terdengar suara dentingan sendok yang beradu dengan mangkuk, selama beberapa saat.

Tiba-tiba, Sean merasa ada angin menerpa dirinya. Tertegun sejenak, menatap pintu jendela di dekat dapurnya. Tertutup rapat. Seketika sekujur tubuhnya meremang.

Membuat selera makannya hilang. Perasaannya menjadi tidak enak. Tidak biasanya seperti ini.

Sean tiba-tiba teringat mimpinya selama dua malam lalu, yang membuatanya tidak nyenyak tidur.

Mimpi pertama tentang Claire, yang ia temukan bersimbah darah, di dalam bathtub kamar mandi apartemennya.

Pada awalnya, wajah Claire hanya terlihat kaku, bibirnya pucat biru keunguan. Namun, tiba-tiba mimpinya berubah. Wajah putih mulus Claire, menjadi rusak, penuh dengan luka sayatan. Dan dari luka-luka itu keluar darah segar.

Sean, mendekati tubuh Claire di dalam mimpinya itu. Saat akan memeluknya, tiba-tiba mata Claire terbuka lebar. Dan di saat itu pula Sean terjaga dari tidurnya. Peluh membasahi sekujur tubuhnya. Sean melirik jam di atas nakasnya, menunjukkan pukul dua dini hari.

Sean mencoba tidur kembali, namun gagal. Tatapan mata Claire terus terbayang. Tatapan yang belum pernah Sean lihat selama ia masih hidup.

Mimpi di malam berikutnya, Sean masuk ke dalam apartemen Claire, pintunya setengah terbuka.

Sean berjalan masuk hingga ke kamar Claire. Dilihatnya wanita itu tengah duduk di atas ranjangnya, mengenakan pakaian putih yang indah. Hadiah ulang tahun Claire darinya.

Claire tersenyum hangat. Sean membalasnya. Namun, ketika Sean mendekat, tiba-tiba Claire tidak berada di atas ranjang itu. Alih-alih Sean berada kembali di kamar mandi itu, menemukan Claire yang telah bersimbah darah. Wajahnya penuh luka sayatan.

Sean kembali tersadar, saat mendengar suara dentingan sendoknya, jatuh menyentuh lantai apartemennya.

Dirinya tertegun sesaat, berpikir keras. Apakah saat ia menemukan Claire, wajahnya penuh luka atau tidak.

Seingatnya, tidak. Karena wajah Claire, bersih, kecuali di sudut bibirnya. Jika Sean tidak salah ingat, ada sedikit noda darah di sana.

Sean menghela napas panjang. Ini hanya bunga tidur. Menyudahi makan siangnya, Sean mencuci semua alat makannya. Mengeringkannya dan menaruhnya kembali ke tempat semula.

Sean butuh tidur nyenyak. Besok lusa ia sudah harus kembali mengajar. Staminanya harus dijaga. Setidaknya, jika di malam hari ia tidak bisa tidur nyenyak, siang ini ia harus bisa tidur.

ooo

"Sean, sini ...," ucap wanita cantik berambut sebahu. Kulit wajah putih, mulus, dan halusnya tampak bersemu merah. Pemandangan yang telah biasa ia nikmati kala bertemu dengannya.

Sean mendekati wanita yang memanggilnya. Mencumbunya. Memeluknya. Membuatnya merasa nyaman.

Selama beberapa saat Sean terbuai dengan sentuhan hangat wanita itu. Hingga tiba-tiba wanita itu mengeluh kesakitan.

Sean kembali menempelkan bibirnya dengan bibir wanita itu, mencoba membuatnya nyaman dan melupakan rasa sakitnya.

Usahanya berhasil, dan mereka berdua sama-sama menikmati kebersamaan itu.

Pagi hari, saat Sean membuka matanya, dilihatnya Claire sedang menatapnya dan tersenyum. Membuatnya tergoda untuk menyentuh senyuman itu dan mengulang adegan semalam.

ooo

"Sean ...." Suara itu. Sean mengenaIi suara wanita itu, ia langsung membalikkan tubuhnya, untuk memastikan, bahwa suara yang ia dengar adalah suara Claire.

Seketika Sean terkesiap. Wanita itu memang benar Claire, namun wajahnya telah rusak, penuh dengan luka sayatan, dan mengeluarkan darah segar.

Sean menjerit tertahan.

Tiba-tiba matanya terbuka lebar. Ia segera bangkit, dan menemukan dirinya tertidur cukup lama. Jam di nakas telah menunjukkan pukul lima sore. Mimpi itu lagi.

Sean segera menuju kamar mandi, menyegarkan dirinya. Ternyata, tidur di siang hari pun tak membuatnya lepas dari mimpi buruk tentang Claire.

Ada apa ini? Mengapa Claire selalu masuk ke alam mimpinya? Pesan apa yang ingin Claire sampaikan pada dirinya?

Selepas berpakaian, Sean segera menghubungi detektif swasta yang akan disewanya. Tidak bisa ditunda hingga esok. Setelah mendapat kepastian, kapan ia akan menerima laporan, Sean memutuskan panggilan teleponnya.

Tak lama, ponselnya berdering. Ada panggilan telepon dari ibunya. Menanyakan kabarnya. Memastikan putranya itu baik-baik saja.

"Sudah lebih baik, Mom. Tidak perlu khawatir. Lusa, aku sudah kembali mengajar," terang Sean, menenangkan ibunya.

Sean belum menceritakan perihal mimpi buruknya pada ibunya. Ia tidak ingin membuat ibunya khawatir.

"Apa kabar adikku tersayang, Mom?" Sean mengalihkan topik pembicaraan.

"Kabarku, baik Sean. Kau tidak berniat mengambil cuti? Dan berkunjung kemari?" tanya Marie, adik Sean, menyela percakapan Sean dengan ibunya.

"Belum bisa. Aku belum boleh keluar dari Jakarta. Para penyidik kasus Claire masih membutuhkanku," terang Sean.

"Aku turut berduka untuk Claire, Sean," ucap Marie, terdengar simpati.

"Ya, terima kasih. Aku pamit dulu, ya. Ada urusan yang harus aku kerjakan untuk lusa. Bye." Sean memutuskan sambungan telepon.

Sean mengambil laptopnya, dan mulai mengetikan sesuatu. Membuat tulisan untuk persentasinya, lusa. Dirinya harus menyibukkan diri. Berharap bisa melupakan sejenak akan mimpi buruknya.

Belum ia memulai mengetik satu paragaraf, mengawali tulisannya. Di layar laptopnya terpampang sebuah tulisan.

TOLONG AKU SEAN