-Moirai Valentine-
----Dua hari sebelumnya, Aula besar----
Perkataan Bintang sangat tepat mengenai sasaran. Selama tiga tahun Erlang menuntut ilmu di tempat ini. Tiga tahun menempati asrama yang sama, asrama Phoenix. Tapi tetap saja kisah cintanya tidak memiliki kemajuan sedikitpun.
Sella Amzella, putri bungsu dari teman dekat Ayahnya. Gadis lugu yang pintar dan bermartabat, dia juga cantik dan anggun, khas anak-anak kalangan atas.
Gadis impian untuk semua pria manapun.
Bak bunga tulip yang sedang mekar-mekarnya di rumah kaca. Tidak ada yang bisa mendekat, hanya bisa memandanginya dari luar. Begitu pula dengan Erlangga.
Kisah cintanya seperti buku dongeng yang hanya bisa dibayangkan dalam mimpi.
Angin kecil tiba-tiba berhembus saat seseorang datang dan meletakkan tas ranselnya tepat di atas meja di aula besar. Bersamaan dengan suara glubak yang membuat dua pria yang tengah membaringkan kepalanya di atas meja langsung terkejut.
"Masih pagi, kenapa muka kalian pada kusut?" Suara Gilang datang berdengung menggenapkan kekesalan Erlang dan Bintang yang hampir saja memejamkan matanya, mengantuk.
Bintang berguguman pelan seraya mengangkat sebelah tangannya tanpa beranjak dari posisisnya semula. Sedangkan Erlang mendongkrak, menegakkan tubuhnya, bersandar di sandaran kursi.
Iris abu-abunya langsung menjalajah mengamati seluruh isi aula besar yang sudah dipenuhi siswa-siswa dari asrama lainnya. Cahaya hangat menerobos lewat jendela besar yang menjulang tinggi hampir mencapai langit-langit aula. Tirai tebalnya dibiarkan terbuka.
Pria itu mengamati hampir semua meja sudah ditempati oleh masing-masing asrama. Phoenix berada paling kanan, Pegaseus di tengah dan Libra paling ujung bagian kiri. Setelah puas melirik ia langsung memalingkan wajahnya dengan cepat.
Erlang menguap pelan sambil mengoceh dalam hati. Entah salah siapa pagi yang harusnya jadwal untuk dia tidur dikarnakan sekolah libur. Kini malah diadakan kelas dadakan di aula besar.
Damn it!! Dia sangat mengantuk..
"Minumlah kopi jika kau mengantuk." Gilang memberi saran.
"Aku tidak suka Kopi." Seru Erlang. Pria itu menoleh ke arah Bintang yang tertidur pulas dengan posisi tidak wajar. Setelah bangun nanti, si kampret itu pasti kesakitan.
Erlang menghela berat. Ini semua gara-gara Bintang yang mengajaknya bergadang semalaman suntuk. Dan sialnya bahkan dia juga kalah saat taruhan tadi.
'Awas saja nanti, saat bocah kurang ajar itu lengah. Dia pastikan saat yang tepat untuk mengirimnya ke pemakaman dengan cepat.'
"Bukannya hari ini libur? Kenapa ada kelas dadakan?" tanya Erlang.
Gilang mengangkat bahunya, "Mana tau. Mungkin ada peneliti dari kementrian yang akan memberikan kuliah umum."
"Buang-buang waktu saja."
"Ish!! Jangan sombong Lang, nanti kualat baru tau rasa."
Erlang memutar matanya bosan. Pada saat bersamaan segerombolan anak-anak berlari dengan tergesa-gesa karna kepala sekolah berserta narasumber kuliah umum kali ini sudah berjalan masuk.
Alisnya terangkat saat menatap satu wanita yang hampir terjerabab ke lantai. Erlang terkekeh sebentar.
Wanita itu langsung menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, rambut panjangnya dibiarkan terurai, ikut menyembunyikan wajahnya yang memerah menahan malu. Kemudian kembali berjalan ke arah meja paling ujung. Bergabung bersama teman asramanya.
Asrama Libra, kelas paling bawah.
"Yang itu namanya Maura." Gilang berseru.
Erlang menoleh ke samping. Gilang menatap arah yang sama dengannya.
Kini wanita itu menyinkirkan rambut dari wajahnya. Kulitnya terlihat bercahaya saat tertimpa cahaya matahari yang menerobos dan memantul. Warna kulitnya terlihat kontres dengan rambut yang sedikit gelab.
Irisnya tajam sekelam malam. Bibirnya tipis dan terlihat sedikit kesal. Wanita itu terlihat tidak asing bagi Erlang. Tapi bukan berarti ia mengenalnya.
"Bagiamana kau tau jika wanita itu bernama Maura?" tanya Erlang akhirnya. Jelas tidak ada nametag di seragamnya.
"Kau boleh percaya atau tidak tapi.. si Bintang punya foto-fotonya. Dia baru memperlihatkannya tadi sebelum kembali ke kamar."
Erlang berbalik mentap Bintang yang masih terhanyut dalam mimpinya. Alisnnya mengerut bingung. Bagaimana bisa Bintang memiliki foto wanita itu? Apa selama ini temannya itu jadi stalker?
"Aku tidak tau kenapa dan apa yang terjadi pada teman yang satu ini. Tapi mungkin dia sedang dalam kondisi tidak baik, obatnya pasti tertukar." Gilang membuat lelocon.
Erlang terkekeh. Pria itu mengangguk setuju. Bintang Pradipta jarang terlibat dengan orang lain terlebih lagi seorang wanita. Ia tau betul jika temannya yang satu ini lebih suka menyendiri dan tidur.
Tapi di balik itu hanya beberapa orang terdekat yang mengenal betapa jahilnya si kampret itu.
"Dia terlalu terlalu sibuk menyia-nyiakan hidupnya dengan tidur sepanjang waktu dan kesempatan."
"Mungkin kita buatkan peti mati lain kali."
"Sialan lo Lang! Teman sendiri di doakan cepat mati."
"Gak salah kan? Dari pada aku saranin buat tidur di kamar mayat kan lebih mending di peti mati. Setidaknya itu miliknya seorang alias bukan satu untuk semua." Erlang menjelaskan.
"Gak udah pada merumpi loe pada. Itu jatahnya para cewe."
Bersamaan dengan itu Bintang bangkit dari posisinya semula. Netranya menatap tajam ke arah dua temannya yang tampak terkejut dengan aksi tiba-tibanya.
Gilang memandang Erlanga kemudian kembali menatap Bintang yang sudah tegak di posisinya. "Wahh, sudah bangun loe? Sudah puas tidurnya?" guraunya.
"Gak puas, soalnya tadi aku bermimpi kalau teman-temanku sedang membicarakanku diam-diam." Seru Bintang.
"Loe sudah bangun? Sejak kapan?"
"Sejak kalian mengatakan tentang Maura." Bintang mendesis kesal. Asli dia kesal tingkat dewa. "Sudahlah, gak perlu dipermasalahkan lagi. Dan kau Lang-" Bintang berbalik menatap Erlang, "Jangan lupa taruhannya." Serunya.
Erlang tersenyum kecut. Dasar si pendendam..
***
Siang harinya seusai dari aula besar mereka bertiga langsung duduk-duduk santai di meja paling ujung, di sudut Kafeteria. Bintang mengusulkannya agar Erlang melihat lebih jelas siapa itu Maura Magen.
Si target taruhan mereka..
"Geser dikit, gak kelihatan ini." Gilang menendang-nendang kursi Bintang yang ada di depannya.
"Ish, dengar ya Gilang Jupiter. Kita lagi dalam misi, bukan nonton layar tancap dodol!!" Bintang membalas tendangannya yang sebenarnya tidak perlu.
Kadang Erlang bingung dengan kelakuan kedua temannya. Dibilang waras, rasanya tidak rela jika gelar itu disematkan pada dua makhluk didepannya itu.
Tapi jika dibilang tidak waras. Berarti dia berteman dengan orang gila dong. Yang benar saja.
"Lang!! lihat betul-betul jangan sampai salah target, kacau nanti jadinya." Bintang memperingatkannya lagi untuk yang kesekian kalinya.
"Kau pikir mataku buta apa."
"Ya siapa tau kan.."
Erlang mengeram pelan. Pria itu kembali menatap meja paling tengah yang di huni dua wanita asrama Libra. Tidak cantik dan tidak menarik. Apa yang menjadi dasar seorang Bintang Pradipta untuk mengganggu wanita itu.
Tidak mungkin hanya sekedar rasa kesal bukan?
"Sudah kau siapkan suaratnya, Lang?" tanya Bintang. Pria itu paling antusias dengan rencana ini.
Erlang mengangguk sambil mengeluarkan sepucuk surat yang dibungkus amplop hitam.
Gilang langsung merebutanya sebelum Erlang bicara. Pria itu mengeluarkan lembaran suratnya dan membacanya dengan cepat. "Kau mengutip puisi, Lang?"
Bintang mengeling, "Sangat tidak baik.."
"Jangan tertawa," seru Erlang.
Sukur-sukur dia mau menulis surat.
Gilang menutup mulutnya mencegah suara membahana miliknya keluar.
"Tidak ada alamatnya." Bintang memberitahu.
"Memangnya harus pakai alamat. Tuh kan langsung diantar." Erlang terlalu malas untuk menulis kembali. Tengannya sudah habis untuk mencari kata-kata menjijikakn untuk ditulis.
"Sini, biar aku yang menulis alamatnya," seru Gilang cepat.
Bersambung…