-Moirai Valentine-
Toturial berbelanja bersama Mama. Pertama, pegang troli. Perhatikan jalan, jangan sampai jauh tertinggal di belakang.
Kedua, dilarang protes. Diam lebih baik dari pada mendapat ceramah gratisan.
Terakhir, jangan sekali-kali berkata capek, atau uang jajanmu akan di potong.
Derita anak asrama yang baru liburan weekend.
-----------------------------------
Maura sudah beberapa kali menghela napas panjang sambil menggerutu dalam hati, sementara ibunya sibuk memilah-milah belanjaan bulanan mereka.
Setelah kepergian Gio. Ibunya membawanya ke minimarket yang ada di dekat persimpangan. Padalah ia sudah memiliki agenda menonton anime di dalam kamarnya, dan dengan berat hati terpaksa di censel.
Maura tidak mau jika Ibunya kesasar di jalan atau malah memungut kucing lagi nantinya, please.. rumahnya sudah tidak berbentuk rumah lagi saat ini.
"Sudah belum, Ma?" tanya Maura.
Gadis itu sudah mulai bosan. Ia mengetuk-ketukkan ujung sepatunya ke ubin.
"Bentar. Coba kamu ambil beberapa bungkus mie instan di sampingmu, Mama takut stok kita bulan ini tidak cukup," ucap ibunya.
Maura melirik sekilas bungkusan mie instan yang banyaknya hampir setengah troli. Bumbu masak instan dan juga barang-barang instan lainnya.
Alisnya mengerut bingung. Memangnya mau sebanyak apa lagi stok mereka? Apa mamanya mau menghabiskan sebulan penuh untuk mengonsumsi mie instan?
Yang benar saja, belum sampai dia nikah nantinya keburu di panggil sang pencipta.
Maura mengelingkan kepalanya dengan cepat, "Ma, ini sudah kebanyakan lo. Lagian siapa yang mau memakannya nanti."
"Siapa lagi, ya kamu lah. Mama gak mau ya anak mama kelaperan terus sakit nantinya. Bagi Gio juga, kasian nanti dia kelaparan."
Ibunya kembali melangkah setelah memasukkan beberapa daging kaleng ke dalam keranjang.
Maura mengedipkan matanya perlahan, kemudian menghela pelan.
"Ma! Maura itu sekolah asrama, bukan anak kost. Mana ada yang bawa-bawa makanan dari luar, selain itu makanan sehari-hari sudah di jamin oleh pihak sekolah."
Maura menahan dirinya sendiri untuk tidak membentak wanita yang telah melahirkannya itu. Sudah pasti Ibunya lupa jika dia sekolah asrama.
Sabar.. nanti uang jajanmu di potong..
"Ma.." kalimat Maura langsung menggantung di udara saat merasakan perubahan suasana yang terasa kental walaupun mereka berada di tengah-tengah publik.
Ibunya terdiam bersamaan dengan tangannya yang meraih sekaleng ikan serden. Memejamkan matanya kemudian berpaling menatap Maura.
Maura tersenyum kecil saat Ibunya menghela pelan.
"Ma, kita kembalikan ya. Ini kebanyakan buat stok di rumah, lagian Maura juga baru balik pas weekend kan." Bujuk Muara melembut.
Perasaan kesalnya langsung hilang saat melihat raut ibunya. Ia tau rasa sedih saat mengingat jika putri satu-satunya itu akan kembali ke asramanya.
"Ya sudah. Mama lupa jika di rumah hanya ada papamu dan mama seorang."
"Mama jangan sedih dong, Maura juga ikut sedih nih."
Ibunya tersenyum, menepuk pundak maura pelan kemudian mencubitnya lembut, "Jangan cuma sedih, belajar yang benar. Jangan sampai semester ini nilaimu anjok lagi." Ucapnya.
Uupss.. salah omong.. harusnya dia diam saja tadi..
Maura menyengir pelan sambil meletakkan kembali bungusan mie instan ketempatnya. Menghindar dari iris gelap ibunya.
"Maura, dengar Mama gak? Liat sepupumu, Gio bahkan masuk sepuluh besar di kelasnya. Lah kamu, gak remedial satu aja itu sudah untung." Ibunya mulai berceramah sepanjang rel kereta api lagi.
"Ma, Maura juga juara lo, juara tiga malah."
Ibunya menyipitkan matanya penuh curiga. "Juara tiga dari bawah maksudmu?"
"Hehehe, itu termasuk juara juga, Ma." Senggah Maura tidak mau kalah.
Lagi pula bukan salahnya jika otaknya hanya sebatas megabyte.
"Ya belajar Maura, sesekali punya semangat dan ambisi dong, kamu kan anak satu-satunya mama sama papa. Jangan mau stak di belakang aja sampai lulus."
Maura memayunkan bibirnya, setiap kali dia balik ke rumah. Cobaan paling berat adalah saat orangtuanya membahas perihal nilai.. nilai.. dan nilai..
"Bukan salah Muara berada di rengkeng belakang. Mereka saja yang kebetulan ada di depan Maura, makanya Maura tergeser ke belakang," Maura mengatakannya dengan santai.
Ibunya mendecih kasar sambil melotot ke arah putri satu-satunya itu. "Trus kenapa kamu tidak dorong saja orang di depanmu biar rengkengmu naik ke posisi lima besar."
"Ma, itu namanya pelanggaran dan kekerasan."
"Jangan banyak bicara yang tidak-tidak Maura, belajar saja yang benar, astaga.. kenapa punya anak gadis gini amat.."
Maura tersenyum sambil menggaruk tengkuk bagian belakangnya yang tidak gatal.
'Gini-gini, anak Mama juga kan?'
----------Moirai Valentine------------
Maura melangkahkan kakinya menjauh dari ibunya dengan alasan ingin mencari minuman. Walaupun sebenarnya bukan tenggorokannya yang haus melainkan telinganya yang panas.
Tubuhnya langsung menegang saat iris gelabnya menangkap seseorang yang dia kenali sedang berjongkok di depan lemari pendingin yang berisi berbagai jenis minuman.
Maura menyipitkan pandangannya sambil melangkah mendekat.
"Erlang.." ucapnya setengah yakin.
Pria di depannya langsung mendongkrak, menatap Maura. Alisnya terangkat tinggi-tinggi, kemudian tersenyum kecil.
"Maura… sedang apa di sini?" tanyanya.
Maura terdiam beberapa saat, jantungnya berdegup sangat kencang saat Erlang melangkah ke arahnya.
Penampilannya lebih wow di bandingkan saat memakai seragam dan hoodie hitam malam itu.
Pria itu lebih dari sekedar tampan, seolah kata tampan saja tidak cukup untuk mewakili keberadaannya.
"Hai.. Er.. aku.. sama mama, ah.. maksudku aku menemani mama berbelanja," ucapnya terbata-bata.
Damn it!!
Maura meneguk ludahnya kasar sambil meremas tangannya ke ujung kaos untuk menyalurkan kegugupannya.
"Belanja?"
"Hmm.. untuk stok bulanan." Maura tidak tau kenapa dia harus menjelaskan hal ini juga.
Untungnya Erlang tidak menayakan hal aneh-aneh lainnya. Pria itu mengangguk paham.
"Kau sendiri sedang apa?" tanya Maura.
Erlang mengangkat sekaleng kopi dingin dari tangannya, "Membeli ini."
"Pagi-pagi? Aku pikir kau tidak suka minum kopi." Maura ingat pernah mendengar Luna mengatakan itu, entah dari mana juga sahabatnya itu tau.
Erlang mengeling pelan, sambil terkekeh pada dirinya sendiri, "Yah, kadang-kadang. Saat-saat sulit.. aku terbiasa melanggar kebiasaanku sendiri."
Erlang menatap ke rak di depannya dengan pandangan kosong.
Suasanya langsung berubah tidak nyaman. Maura merasa canggung, baik dia ataupun Erlang tidak ada yang membuka suaranya lagi.
Pria itu kini berada di sampingnya dengan jarak beberapa langkah. Sesekali meneguk kopi kalengannya.
Maura menghela pelan, ia tiba-tiba ingat beberapa hal. "Emmm, Erlang. Boleh aku tanya sesuatu?"
"Tentang apa?"
"Kata Gilang kamu di hukum beberapa waktu yang lalu? Apa itu karna aku?"
"Sama sekali tidak. Itu hanya karna jam malam di asramaku, jangan khawatir. Itu sudah biasa."
Maura mengerutkan alisnya, di asramanya memang tidak ada peraturan jam malam. Selain itu jikapun ada, ia bisa menerobos masuk dengan bantuan teman-temanya.
"Kenapa?" tanya Maura.
"Peraturan kepala asrama, di larang untuk di pertanyakan apalagi di ganggu gugat."
Kampret!!
Sedalam samudra Hindia dan setinggi gunung puji. Sejauh apapun Maura memikirkannya tetap saja dia tidak pernah sampai dalam suatu kesimpulan. Dengan kata lain isi otak anak-anak asrama phoenix itu sama seperti labirin tanpa ujung.
Rumit!
Menyusahkan!
Pantas saja orangnya juga ikut-ikutan absurd dan tidak jelas. Termasuk pria tampan di sampingnya ini.
Maura tersenyum saat menyadari ia baru saja mengumpati Erlang, si pangeran phoenix dan juga anak-anak dari asrama phoenix lainnya.
"Maura.." Suara lembut yang dia kenal terdengar di delakang tubuhnya.
Maura repleks membalikkan tubuhnya dan tersenyum pias saat melihat mamanya yang tengah mendorong troli dengan tatapan aneh sekaligus senang.
Oh.. tidak..
Bersambung…