Alunan instrumental musik mengalun lembut mengisi kekosongan mobil yang melaju menembus rintik hujan. Pemuda berwajah manis terlihat bersenandung mengikuti tempo lagu. Langit kian menghitam di luar sana dan jalanan masih sangat licin membuat siapa saja harus berhati-hati.
Maserati Levanti berwarna silver tepat melewati apartemen mewah di distrik elit. Berjalan memutar dan masuk ke sebuah basement dimana digunakan sebagai tempat parkir. Tak perlu pengecekan identitas lagi, ia hanya perlu memberikan sebuah kartu nama. Berwarna putih dengan tinta emas di permukaannya. Penjaga berpakaian hitam dan bertubuh tinggi langsung paham dan mempersilakan mobil itu masuk ke dalam.
Tak banyak mobil yang terparkir, ini memudahkan Simon menempatkan kendaraannya tanpa perlu berputar demi mencari celah kosong. Menarik tuas rem lalu mematikan mesin kendaraan roda empat itu. Ia terdiam cukup lama di balik kemudi. Sebenarnya tak yakin ingin bermalam disini. Hatinya terasa hampa, dan ia juga merasa menjadi pihak yang paling jahat dengan memanfaatkan wanita kesepian.
Bau kafein menguar dari tubuhnya, bekas siraman tak sengaja dari orang yang berpapasan dengannya saat di cafe tadi. Miris. Ia merasa dicampakkan padahal tak merasakan perasaan mendalam terhadap Emily. Atau sekarang Simon tengah denial atas perasaannya. Barangkali ia sudah mulai jatuh hati sungguhan pada gadis bernuansa musim semi itu.
Tidak, bukan itu. Simon sadar betul jika ia tak berdebar atau cemburu. Ia hanya, hampa saja.
Selembar tisu ia ambil dari dasboard mobil. Mengelapkan pada tumpahan kopi di pakaiannya. Meski agak susah menghilangkan bekas kecoklatan di atas permukaan kain. Mungkin butuh satu atau dua botol pembersih.
Dan mungkin ia butuh untuk membersihkan tubuhnya sendiri. Simon rasa ada yang salah dengan tubuhnya. Ia tak merasakan debaran, sensasi saat jatuh cinta, bahkan saat ia sedang melakukan hubungan sex. Ia merasa seperti orang tua yang sudah menopaus.
Saat ini Simon harus memastikannya. Tidur satu malam dengan seorang wanita kesepian tidak masalah. Toh dirinya sudah sering melakukan hal ini. Caroll pun sepertinya tak masalah dan malah menyambutnya dengan senang hati.
Wanita berusia tiga puluh tahunan yang masih sangat cantik. Orang-orang sering kali salah menduga usia wanita itu. Paras yang tak termakan usia layaknya vampir. Simon bertemu dengannya saat les privat. Benar, Caroll adalah guru privatnya ketika Simon masih SMP.
Standar keluarga yang cukup ketat membuat masa kecil Simon disibukkan dengan belajar dan belajar. Pulang sekolah, les privat, les piano di hari minggu, kursus berenang di hari sabtu. Semuanya Simon lakukan tanpa protes. Ia cukup pendiam saat kecil, bahkan sampai sekarang. Terbentuk menjadi pemuda berparas tampan dengan masa depan cerah. Membuat banyak gadis mengantri untuk berhubungan dengannya. Secara perasaan atau sebatas badan.
Pengalaman pertamanya diberikan oleh sang guru les, Caroline Agatha. Saat hari sore menjelang malam, tepatnya saat kedua orang tua Simon pergi karena urusan bisnis. Simon dititipkan pada Caroll selaku pengajar privat. Usia mereka terpaut sepuluh tahun, membuatnya dapat dipercaya mengasuh seorang anak SMP yang masih belum puber.
Malam saat hujan turun di luar, di mana petir menggelegar saling menyambar benda-benda di sekitarnya. Simon tidak benci hujan, ia hanya tak menyukai petir dan angin badai yang menderu-deru. Ia biasa mencari tempat persembunyian terdekat. Biasanya dibawah selimut dengan memeluk erat guling. Tapi yang ada didekatnya adalah sosok guru pengajar, maka Simon mulai mendekat mencari perlindungan.
Ia selalu ingat aroma yang ia cium malam itu. Bunga lavender.
.
.
.
.
"Dasar ceroboh sekali, aku memberikan secara gratis bukan untuk ditumpahkan begitu saja," gerutu seorang wanita berapron coklat yang merupakan seragam cafe.
"Duh, maaf kak.." jawab pemuda berambut cepak. Pemuda yang tadi bertabrakan dengan Simon. "Lagipula ini bukan salahku, semua karena cafe ini terlalu kecil. Orang jadi kesulitan berjalan melewati satu persatu bangku."
"Berani melawan kau rupanya! awas saja akan ku adukan ke Ayah dan Ibu agar kau di tarik pulang," gadis berapron tak henti mengomel sembari mengepel tumpahan kopi yang di sebabkan oleh adiknya.
"Yak! ancaman mu tidak seru~" bukannya takut pemuda itu justru mengejek ancaman sang kakak. Seolah ia tahu jika semua itu hanyalah gertakan belaka. Kakaknya tak mungkin melaporkan hal sepele seperti ini.
"Kau membuatku rugi di hari pertama mu kerja Ash!" ujar si wanita. "Cepat ganti baju mu dan mulai melayani pelanggan!" titahnya sebelum beranjak untuk mengembalikan alat pel ke ruang belakang.
Ashley Grissham, Begitulah nama lengkap dari si pemuda berambut cepak. Nama yang berbanding terbalik dengan perawakan tinggi besarnya. Dulu saat masih kecil, Ashley sering mendapat perundungan dari anak-anak sebaya. Tentu saja disebabkan karena namanya yang identik dengan perempuan. Meski begitu tak pernah sekalipun Ashley menyesal telah menyangdang nama seindah itu. Nama yang di berikan oleh kedua orang tuanya memiliki arti 'Semak belukar'. Semak-semak adalah tanaman kecil paling kuat yang tak mudah mati meski terinjak-injak. Nama yang sangat keren bukan.
Padahal, kenyataan sebenarnya adalah hasil USG salah memprediksikan jenis kelamin Ashley ketika didalam kandungan. Kedua orangtuanya tak memikirkan nama lelaki dan hanya fokus pada nama perempuas saja.
Menggosok dan mengelap meja. Begitulah yang Ashley kerjakan pertama kali. Ini karena suasana cafe yang cukup sepi, tak banyak orang yang datang. Hanya ada beberapa yang memesan dan semua langsung di layani oleh kakaknya.
Aroma kopi menguar ketika bubuk hitam tercampur dengan air panas. Menyatu menjadi zat yang berbeda. Menenangkan. Ashley tak begitu menyukai kopi, apalagi yang berwarna hitam pahit. Namun ia tak memungkiri jika bekerja di cafe cukup menyenangkan.
Sesaat ia teringat pada pria yang tak sengaja ia tabrak. Saat itu ekor matanya menangkap pesanan yang masih utuh tak tersentuh. Kopi dalam cangkir kecil yang ditinggalkan begitu saja. Mungkin saja terburu-buru. Ashley jadi tak enak hati karena hanya meminta maaf. Ia harap lelaki itu akan datang lagi entah kapan. Saat itu ia pasti akan membuatkan kopi paling enak sebagai permintaan maaf.
"ASHLEEY! PONSELMU BERDERING TERUS ! CEPAT ANGKAT ATAU KU TARUH DI MESIN PENGGILING!"
Teriakan dari sang kakak menyadarkan lamuan Ashley. Tanpa sadar ia telah berada di luar cafe memandangi hujan. Lantas ia segera berbalik badan dan menuju ruang ganti, tempat dimana ia menyimpan ransel miliknya.
Dering ponsel meraung-raung memanggil. Ashley menarik resleting, membukanya. Benda berbentuk persegi pipih terlihat menyala. Cahaya kebiruan menerangi isi tas. Ada beberapa buku-buku didalam sana. Dan juga sebuah kamera berukuran sedang. Perlahan mengeluarkan ponsel tanpa menggesek body kamera. Benda yang ia dapatkan dari hasil menabung ketika masa SMA dahulu.
"Halo senior?"