Ashley menyelipkan wajah di antara kedua lengan, tertelungkup di atas meja yang baru saja telah dia bersihkan. Sedangkan ponselnya tergeletak tepat di sebelah kepala. Bahunya terlihat naik dan turun secara teratur, membuat siapa saja yang melihatnya pasti akan mengira jika dia tengah tertidur. Suara rintikan hujan ditambah udara yang sejuk begini adalah perpaduan sempurna untuk masuk ke alam mimpi.
'Plak!'
Satu sabetan dari kain lap sukses mengenai belakang kepala Ashley, membuatnya berhenti tertawa dan menoleh ke belakang. Dengan berat hati harus rela menelan kembali segala bentuk umpatan yang akan dia keluarkan setelah mendapati siapa sosok pelaku penyabetan.
"Ini belum waktunya istirahat, cepat selesaikan pekerjaanmu," desis gadis berapron coklat dengan wajah berang.
"Apa yang perlu ku bersihkan lagi memangnya? Semua sudah ku lap, atau kau mau ku lap juga wajahmu itu?"
"Berani kau berkata begitu pada kakak mu? Mau ku adukan ke Ayah dan Ibu huh?"
"Mau ku adukan ke Ayah dan Ibu huh?" balas Ashley menirukan ucapan kakaknya dengan wajah yang sengaja dijelek-jelekkan untuk membuat gadis itu kesal.
"Kau—"
Ashley langsung beranjak dengan kecepatan tinggi masuk ke balik meja counter sebelum terkena sabetan dari kain lap yang sudah diangkat tinggi-tinggi oleh si gadis berapron. "Lagi-lagi mengancam begitu," Ashley mengerucutkan bibir persis seperti anak kecil yang tengah merajuk. "Dasar tidak pengertian.."
"Lihat, Ayah dan Ibu pasti telah memanjakanmu sampai kau jadi seperti sekarang," si gadis berkacak pinggang. "Berani taruhan? Kau hanya akan bertahan satu semester di sini. Lagipula, kota besar sepertinya tak cocok untuk orang udik sepertimu. Kau pasti akan langsung menjadi bahan 'bully' an karena kulit hitam mu itu~"
"Kejam sekali kau Hell!" Ashley memberikan tatapan membunuh yang tentu saja tak akan mempan bagi sang kakak perempuan —Helena Grissham, namun Ashley lebih suka memanggilnya 'Hell' karena sangat cocok dengan perangai Helena yang setengah iblis.
"Sekali memanggilku begitu, aku akan lapor pada Ayah agar uang sakumu dipotong!"
"Dasar pengadu! Hell pengadu!"
Helena dengan cepat melemparkan kain lap yang ada di tangannya, namun dapat dihindari dengan mudah oleh Ashley. Mungkin inilah yang disebut sebagai insting bertahan manusia atau juga berkat pengalaman Ashley yang sering mendapat serangan dadakan dari sang kakak tercinta seperti ini. Kebiasaan Helena saat sedang kesal adalah melemparkan benda apapun di dekatnya atau yang sedang dia pegang. Apapun untuk menyerang lawannya. Target paling sering adalah Ashley, bukan saja karena laki-laki itu selalu membuat darahnya mendidih, kadang-kadang malah hanya karena terbentur dengan rasa bosan, Helena suka memukul adiknya tanpa alasan. Lalu terjadilah perkelahian antara kakak dan adik, persis seperti kucing dan tikus. Tak akan ada yang bisa membuat keduanya berbaikan lalu minta maaf, kecuali hardikan sang ayah atau ancaman ibu mereka tentang pemotongan uang saku atau percepatan jam malam. Sekejap, dua manusia yang tadinya melakukan perang besar langsung berdamai dan melempar senyum satu sama lain.
Perdebatan sengit antara kakak beradik berbeda warna kulit itu langsung berhenti ketika cafe ini kedatangan pelanggan. Helena segera merubah raut wajah dari yang tadinya garang menjadi ramah bak malaikat, meski diam-diam wanita itu akan mencubit atau menampar pantat Ashley ketika si pemuda tinggi melakukan kesalahan.
Kadang Ashley berpikir jika kakaknya lebih cocok masuk ke jurusan akting saja ketimbang bisnis. Karena, Demi Tuhan, orang mana yang bisa tersenyum di luar tapi diam-diam melakukan siksaan terhadapnya. Saat di kampung halaman saja Helena dengan mudah akan menghasut orangtua mereka, menuduhnya memecahkan pot bunga hanya karena melihat tangan Ashley kotor. Padahal Helena sendiri yang menyenggol pot bunga karena terlalu asik menari-nari tidak jelas, sedangkan Ashley baru saja kembali ke rumah dari acara menguburkan ikan emas nya yang mati di halaman belakang. Sialnya, ucapan gadis itu dengan mudah dipercaya kedua orangtuanya, mengakibatkan pemotongan uang saku. Intinya, Helena seringkali mengkambing hitamkan Ashley di setiap kesalahan yang gadis itu perbuat.
Bukankah dunia ini sangat tidak adil?
Ashley tahu jika dirinya berkulit agak kecoklatan, tapi bukan berarti dia pantas disandingkan dengan kambing hitam dong.
Ketidakadilan berlanjut sampai sekarang. Di saat dirinya memilih akan pergi ke luar kota untuk menempuh pendidikan lanjutan, berkuliah, dengan santainya sang Ibu menyarankan untuk berkuliah di universitas yang sama dengan Helena. Tentu saja Ashley sangat menentang keras, pada awalnya saja, karena begitu ayahnya membalas dengan jawaban yang tak dapat di bantah, 'Kuliah di sana atau tidak sama sekali.' Maka disitulah titik Ashley menyerah.
Untung saja, mereka tak memaksanya untuk tinggal di apartemen yang sama dengan gadis setengah iblis -yang kini sedang tersenyum ramah pada pengunjung- maka setidaknya Ashley dapat terbebas dari segalla omelan tak berujung yang kadang tak masuk akal dari kakaknya.
Namun, tinggal sendiri di kota besar seperti ini memerlukan biaya yang cukup besar. Apalagi Ashley sama sekali tak memiliki keahlian memasak ataupun cuci baju, meminta bantuan pada Helena juga sama sekali tak mungkin, cara satu-satunya adalah dengan menggunakan jasa. Itulah alasan kenapa sekarang dia harus kerja banting tulang.
Sebenarnya dia juga tak mau bekerja sambilan di tempat kakaknya ini, hanya saja Ashley tak punya pilihan. Tentu saja, lagi-lagi berkat perintah mutlak dari ayahnya.
'Anggap saja ini sebagai cara mendekatkan diri kalian, di tempat yang jauh, satu-satunya orang yang akan membantu siapa lagi kalau bukan saudara sendiri.'
Begitulah kira-kira perkataan ayahnya saat Ashley dengan tegas melakukan unjuk rasa yang berakhir kalah telak.
Meski memiliki tubuh tinggi besar dan kulit hitam, Ashley bisa dibilang adalah anak yang sangat berbakti, selalu menuruti segala hal yang dikatakan ayah maupun ibunya. Berbeda dengan Helena. Sedari kecil gadis itu sering sekali melakukan kenakalan-kenakalan sampai ibunya kerap dipanggil sekolah. Benar-benar tak menginterpretasikan paras cantik dan lucu seorang gadis kecil.
"Heh! Kau tak dengar? Cepat bikinkan dua Espresso!" hardik Helena sambil menginjak kaki si pemuda tinggi yang sibuk mengelap mesin pembuat kopi.
Ashley mendesis kesal lalu mengusap-usap kakinya yang malang. Meski kesal, dia tetap tak bisa melawan karena memang inilah pekerjaannya. Ashley hanya bisa melakukan perintah Helena dengan baik dan benar agar tak mendapat hukuman macam cubitan dan pukulan.
"Tolong jangan terlalu pahit yah~"
"Eh, senior?" Ashley cukup terkejut dengan kehadiran pemuda berambut gondrong dihadapannya. Pemuda sama yang menelfonya beberapa saat lalu.
"Kenapa malah kau yang terkejut begitu?" Jacob —pria gondrong itu— terkekeh pelan ketika mendapati wajah juniornya tampak menegang. "Bukannya aku yang harusnya terkejut? Katamu kau sedang tak enak badan, tapi malah ada di sini.."
Ashley meneguk ludahnya kasar. Perkataan yang diucapkan dengan santai begitu lebih menyeramkan dari kemarahan secara langsung, ibaratnya pria gondrong tersebut seperti tengah menahan bom waku yang akan meledak kapan saja.