"Jadi, kalau kau tidak enak badan cara pengobatannya adalah dengan ini yah?" Senyuman memang tersungging di wajah si pria gondrong, begitu juga dengan urat-urat yang mencuat di sekitaran leher dan dahinya.
"Ma—maafkan aku Senior!" Ashley segera membungkukkan badan 90 derajat sebagai bentuk permintaan maaf pada senior di hadapannya. Untuk pertama kali dalam hidup, dia telah berbohong dan saat itu juga ketahuan. Mungkin memang Tuhan tak akan memberkatinya melakukan kebohongan, sekecil apapun.
"Astaga~ Jangan kaku begitu~" ujar Jacob. "Tapi, kalau kau tulus dengan permintaan maaf itu, bagaimana jika memberikan dua cangkir Espresso ini gratis?"
Ashley mendongak, ujung bibirnya berkedut, terlihat sekali dia ragu-ragu menjawab permintaan senior itu. Jika mengiyakan, sudah pasti bayarannya akan dipotong tanpa ada ampunan dari si gadis setengah iblis. Tapi, jika dia mengatakan tidak, masa depannya di dunia perkuliahan akan menjadi kacau, dia bahkan sudah bisa membayangkan bagaimana seluruh kakak tingkat akan memusuhinya lalu terdengar rumor tidak enak yang membuat seluruh orang memandangnya buruk. Hanya karena dua cangkir Espresso, masa-masa kuliahnya akan berakhir semudah membalikkan telapak tangan.
Selamat tinggal uang bayaran~
"Ba—baik, biar saya yang traktir untuk Senior—"
"Hahahahaha!" Ucapan Ashley terputus ketika Jacob tertawa terbahak-bahak sambil bertepuk tangan. Bagian mana dari ucapannya yang terkesan lucu? pikirnya. "Aku hanya bercanda, jangan terlalu kaku begitu~" Jacob mengusap ujung mata yang berair.
Ashley tersenyum canggung, sambil bertanya-tanya dalam hati, apa sebenarnya yang membuat kakak tingkat satu ini tertawa sampai mengeluarkan air mata, apakah memang karena ucapannya atau wajahnya sekarang sudah seperti pelawak. Namun Ashley bersyukur juga karena dia tak perlu membayar dua cangkir espresso ini.
"Tapi sebagai gantinya, kau harus menemaniku mengobrol sebentar? Bagaimana?"
"Eh?"
"Atau kau lebih memilih membayar minumanku? Aku sih tak masalah—"
"Akan saya temani!" Saking gugupnya, tanpa sadar Ashley mengeraskan suaranya hampir seperti berteriak sampai membuat Jacob berjengit terkejut. Ashley langsung menutup mulutnya sendiri begitu menyadari refleks tubuh yang tidak bagus.
"Hahaha~" ujar Jacob, menepuk-nepuk bahu pemuda berapron coklat. "Ku kira kau anak yang tidak punya semangat saat kita bicara di telepon tadi, ternyata kau sangat bersemangat~"
Ashley tak tahu apakah itu adalah pujian atau hinaan terselubung, asal tampang kakak tingkat itu berseri-seri tandanya dia berhasil memperbaiki mood pria gondrong tersebut.
Ternyata, bagaimanapun jalan yang telah dia pilih, selalu berakhir dengan pemotongan uang saku miliknya. Hah~ Selamat tinggal uang yang bahkan kehadirannya saja belum muncul, tapi langsung menghilang begitu saja.
Entah sudah sejak kapan dirinya lansung ditarik oleh Jacob, tahu-tahu sudah duduk di hadapan kakak tingkat yang tengah menikmati secangkir espresso lalu mengernyitkan alis, mungkin karena sensasi pahit baru saja menggigit indera perasanya. Agak sedikit heran kenapa si pria gondrong malah memilih kopi dengan cita rasa paling pahit tersebut. Bagi Ashley sendiri, dia lebih suka minum kopi susu saja yang tak akan menyakiti lidah ataupun lambungnya.
"Jadi, kau membolos untuk kerja part time?" tanya Jacob.
Ashley mengangguk kecil sebagai jawaban. Sedari tadi dia masih menundukkan kepala saking takut pada kakak tingkatnya. Bagaimanapun dia telah melakukan kesalahan fatal di hari pertama masuk kuliah. Astaga, rasanya jauh lebih baik terkena pukulan saja ketimbang mendapat pertanyaan bernada sindiran tersebut. Tubuhnya jauh lebih terlatih karena sering ditempa oleh pukulan dari si ratu iblis.
"Harusnya langsung bilang saja, tak perlu berbohong seperti tadi."
"Maafkan aku Senior!" Ashley semakin menundukan wajahnya, dengan posisi duduk saat ini membuat tubuhnya semakin setara dengan lantai.
"He—hey, tidak perlu begitu~" Jacob dengan cepat menahan bahu si pemuda berambut cepak, mengembalikan pada posisi duduk semula. "Aduh~ kau tak perlu minta maaf sebegitunya.." menepuk-nepuk bahu lebar Ashley lalu terkesiap ketika menyadari jika bahu tersebut cukup keras untuk menghancurkan batu bata sekalipun.
"Saya akan lakukan apapun agar Senior memaafkan saya."
Jacob tersenyum kaku. Kalau begini, dia sendiri yang merasa tak enak. Dilihat dari sisi manapun, perawakan Ashley sangat bertolak belakang dengan perangai pemuda itu. Ibaratnya, badan Security hati Hello Kitty. Tapi, dia juga tak bisa menyia-nyiakan kesempatan emas kali ini. Toh, bukan dia yang memaksa melainkan adik tingkatnya dengan sukarela menawarkan dirinya.
"Akan melakukan apapun? Sungguh?"
Ashley mengangguk cepat dan tegas. "Benar, saya akan lakukan apapun!"
"Janji akan menepatinya?"
Kali kedua Ashley mengangguk, perasaannya diisi oleh karagu-raguan. Terlihat jelas dari bagaimana bola matanya bergerak liar. Berharap saja jika si pria gondrong tak meminta yang aneh-aneh.
"Jangan tegang begitu dong~" Jacob tertawa pelan di sela-sela ucapannya, meski sebenarnya dia juga menikmati ketika melihat raut cemas dari adik tingkatnya. "Tenang saja, aku tak akan minta yang aneh-aneh kok. Kau hanya perlu jadi asistenku saja.."
"Asisten?"kelopak mata Ashley berkedip dua kali mencoba mencerna arti kata 'Asisten' yang dimaksud agar tak terlihat bodoh. Namun nyatanya, dia terlalu buta untuk mengetahui hal itu. "Asisten apa?"
"Asisten klub Jurnalistik, klub yang memuat berita mengenai apa saja tentang kampus kita. Dari prestasi sampai 'Spill Tea," jelas Jacob.
"Klub Jurnalistik?" Ashley menggaruk pipinya yang tak gatal. "Aku baru dengar, apa itu klub baru?"
Pertanyaan Ashley sontak membuat Jacob memukul dahinya sendiri sembari mendesah panjang. "Itu klub lama, bahkan saat aku baru masuk ke sini, klub itu sudah ada. Klub ini dulu sangat terkenal karena selalu memperoleh berita-berita akurat dan tidak membosankan, hingga pernah menerbitkan koran secara resmi dan sangat laris pada masanya. Bisa dibilang merupakan 'Wall Street Journal' versi kampus. Banyak sekali anggota yang mau bergabung, sampai-sampai harus diseleksi dengan sangat ketat. Dan, aku salah satu orang yang lolos dari seleksi ketat itu. Sayangnya, tepat setelah hari kelulusan para kakak tingkat akhir, disitulah letak runtuhnya klub jurnalistik ini. Hampir separuh anggota senior tak melanjutkan lagi kegiatan klub ini dan berpengaruh juga pada adik tingkat lainnya. Lalu perlahan-lahan klub ini terlupakan.." Jacob mengakhiri penjelasannya dengan menyesap Espresso, lalu mengernyit ketika mulutnya dipenuhi oleh rasa pahit dari kopi.
"Ah, begitu," Ashley mengangguk-angguk tanpa ada minat. Dari cerita tadi dapat disimpulkan jika masa depan klub jurnalistik tersebut sudah tampak suram, hanya menunggu ditutup secara resmi saja. Tak peduli sebanyak apapun usaha yang dikerahkan, jika minat masyarakat tak ada, itu artinya sama saja dengan menggali kuburan sendiri. Dan, pria gondrong ini tengah menariknya untuk ikut masuk ke dalam lubang kuburan.
"Tapi jangan khawatir~" Jacob tersenyum lima jari. "Aku punya rencana yang sangat bagus, dengan sedikit bantuan, kita bisa mengembalikan klub jurnalistik ini ke masa jayanya! Percayakan saja padaku!"
"Baiklah senior.."
Melihat bagaimana wajah Jacob yang berseri-seri, tak ada gunanya menentang ajakan dari pria gondrong itu. Tidak terlalu masalah juga, toh palingan hanya satu atau dua bulan saja klub ini bisa bertahan. Ashley bukan sedang menyumpahi agar klub jurnalistik ini hancur, tapi fakta secara tak langsung berkata begitu.
"Lalu, ada satu hal lagi?" ujar Jacob sambil mencondongkan posisi duduknya ke arah depan agar bisa terdengar dengan jelas oleh Ashley. "Bisa tolong kenalkan aku pada pelayan wanita disana?"
Sudut alis Ashley berkedut-kedut setelah mendengar permintaan dari si pria gondrong, seketika firasatnya langsung menjadi tak enak. Karena satu-satunya pelayang wanita yang ada di sini adalah kakaknya sendiri, Helena, si gadis setengah Iblis.
Demi Tuhan yang sangat adil memberikan paras menawan untuk dirinya, dari semua wanita di dunia ini- ah ralat- di sekitaran tempat ini, kenapa pilihan Jacob harus jatuh pada Helena?!
"Senior, ku pikir sebaiknya kau urungkan niatmu itu.." kata Ashley dengan suara yang lebih lirih dari sebelumnya. Dia tak ingin pembicaraan mereka di dengar oleh si ratu iblis yang sedang tersenyum ramah pada pembeli, menyembunyikan tanduk iblisnya.
"Heh?" Jacob memicingkan mata, memberikan tatapan menelisik pada si pemuda berambut cepak. "Jangan bilang kalau kau juga menyukainya?"
"Mana mungkin!" tukas Ashley tak terima, sampai-sampai tanpa sadar dia sudah berdiri dari duduknya. "Dia itu Kakak perempuan ku!"
Ashley tak tahu jika jawabannya barusan malah mengundang niat terselubung lain dari Jacob. Salah satu cara mendekati seseorang dengan mudah, adalah dekati lebih dulu keluarganya. Dalam kasus Jacob, akan lebih mudah mendekati adik dari gadis incarannya, yang secara kebetulan merupakan adik tingkatnya.
Seperti hukum rimba, adik tingkat tentu akan menuruti perintah Seniornya bukan?
"Dik Ashley~" Suara Jacob terdengar lembut tapi terkesan memberi ancaman di saat bersamaan. "Kau pasti ingin masa depan dunia perkuliahan berjalan mulus bukan? Kalau begitu, serahkan saja pada Kakak tingkatmu ini. Lalu, kita bisa saling mempercayai satu sama lain kan?"
Ashley mendadak bungkam. Dia merasakan aura mengerikan yang sama antara Helena dan Jacob. Mereka sama-sama menyeramkan, bedanya Helena terlihat seram ketika sedang mengamuk, tapi Jacob jauh lebih menakutkan lewat kata-kata manis dan senyum lembutnya. Orang bilang kalau jodoh, pasti akan ada kemiripan satu sama lain. Ashley mengambil petikan pepatah itu hari ini.
.
.
.
.
.
Rintik hujan masih terlihat membasahi jalanan di luar, terasa awet dan kekal, menghasilkan embun di balik kaca jendela.
Seorang pemuda berkulit seputih salju terlihat berdiri di depan kaca jendela besar. Pemandangan kota metropolitan di malam hari sedikit tertutupi oleh embun yang membuat semuanya tampak kabur. Jari jemari panjang terulur menyentuh permukaan kaca yang terasa dingin, selain karena hujan di luar, suhu di dalam ruangan sini jauh lebih rendah karena pengaruh Air Conditioner bertemperatur rendah. Hal itu dilakukan bukan tanpa alasan, tentu untuk mendinginkan suasana panas yang baru saja terjadi beberapa saat lalu.
"Apa yang sedang kau lihat?"
Sepasang tangan menggerayangi kulit putih si pemuda yang tak tertutup sehelai kainpun. Tidak, bukan hanya pemuda itu saja, melainkan mereka berdua sama-sama tengah bertelanjang bulat.
Simon —si pemuda yang bertelanjang tadi— tak menjawab pertanyaan Caroll —wanita yang memeluknya dari belakang— dia tetap menatap ke luar jendela tanpa peduli tangan Caroline memainkan tonjolan merah di kedua dadanya.