Celah ini terbilang renggang, cukup untuk dimasuki dua orang pria dewasa. Tidak sepenuhnya benar, karena Simon —beruntungnya— memiliki proporsi tubuh lebih kecil ketimbang pria satunya yang tepat berdiri di hadapannya. Mereka berdiri saling berhadap-hadapan, hanya ada jarak beberapa senti. Tidak terlalu menempel, tapi tetap saja ini bukan jarak aman. Mereka bisa saja menempel satu sama lain, atau menyentuh bagian-bagian tak terduga hanya karena salah bergerak.
Ashley tampak menyadari hal itu. Terlihat dari bagaimana dia mencoba untuk menempelkan punggungnya pada papan kayu di belakang. Mencoba menyatu dengan dinding.
"Apa yang kau lakukan sih?" desis Simon dengan suara serendah mungkin.
"Aku.. aku hanya ingin membuat ruang lebih untuk...Senior" Suara Ashley terdengar gugup. Ini pasti karena ruangan yang sempit, dia sangat yakin.
"Bukan, yang tadi—" Simon menolehkan kepala ke arah lain, mengecek apakah mereka cukup ribut sampai memancing perhatian penjaga perpustakaan. "—Kenapa kau bawa makanan ke sini? Kau sengaja ingin membuatku dihukum yah?"
"Tapi kan, peraturan yang tertulis hanya melarang makan di dalam ruang baca," sahut Ashley dengan wajah paling polos yang pernah Simon lihat. Wajah yang akan membuat siapa saja menonjoknya.
Simon menepuk dahinya sendiri dengan tidak sabaran. Dia lalu menunjuk kaleng soda yang ada di tangan Ashley, di kedua tangannya. Penuh dengan dua kaleng soda. "Kau membawa bom kesini! Itu akan meledak dan kita berakhir membereskan buku-buku lama di rak belakang sampai perpustakaan ini tutup!"
Ashley mengerjap dua kali. "Kenapa kita harus dihukum? Kita kan tak melakukan kesalahan."
"Yang ada ditanganmu jelas kesalahan. Kau pikir hanya dilarang makan saja? Kita juga tidak boleh minum di sini! Apalagi soda. Cairan berkarbonasi ini akan merusak bahan kertas juga tintanya."
Ini pertama kalinya Ashley melihat sendiri sisi lain Simon. Mengenai pria itu tidak sepenuhnya dingin dengan hanya mengucapkan beberapa kata tanpa minat. Ini sosok Simon lain yang cerewet dan pintar. Meskipun Ashley tak terlalu mengerti istilah barusan, tetapi itu terdengar keren di telinganya. "Jadi, tidak boleh?"
"Tentu saja tidak boleh."
"Ya sudah aku buang saja ke luar kalau begitu," balas Ashley. Namun sebelum dia keluar dari celah sempit itu, lengannya tertahan lalu tubuhnya ditarik mundur secara mekanis tanpa perlawanan lebih dulu. Tepat sebelum Ashley membuka mulut untuk bertanya, Simon dengan cepat merampas kaleng di tangannya.
"Aku tidak menyuruhmu untuk membuang ini."
Tidak ada intonasi malu pada setiap kata yang meluncur sempurna melewati bibir berwarna kemerahan itu. Satu-satunya bagian tubuh Simon yang terasa hidup. Itu lumayan menyita perhatian Ashley. Terpaku.
"Apa? Kau menyesal telah memberikannya padaku?"
Ashley tersentak, seakan telah tertangkap basah tengah mengintip seseorang di bilik ganti. Kegugupan melanda secara mendadak, membuatnya segera menjawab cepat dan lantang. "Tidak!—"
Telapak tangan kurus bergerak sigap menutup mulut Ashley. Membungkamnya secara sempurna, menekan lumayan kuat. "Astaga kau berisik sekali." Sorot matanya sedingin es dan setajam belati, jenis tatapan yang tak perlu diragukan lagi. Memerintah, sangat otoriter dan diktator. Tetapi juga sorot mata yang tak akan bisa dilupakan begitu saja.
Ashley mengangguk. Simon menarik kembali tangannya. Dan keheningan merayap, perlahan tetapi pasti, menyelimuti kedua pria dewasa berbeda tinggi badan yang terjebak di dalam celah kecil bersama.
Ini terasa konyol untuk di ceritakan. Tetapi demi kebaikan bersama, Simon harus menahan diri untuk tak mengumpat keras-keras. Yeah, dia melakukannya dengan mendesis, atau bergumam, atau berbisik. Apa saja asal tidak mengundang keributan. Setidaknya cairan kecoklatan berkarbonasi ini berhasil meredam empat puluh persen kadar emosinya. Kali ini bukan bensin yang disiramkan pada sumbu menyala, melainkan air sungguhan.
"Senior.." Ashley berbisik, membuahkan lirikan tajam dari Simon. "Bagaimana jika aku berhasil menemukan barang yang kau cari, apa kau mau menerima permintaanku tadi?"
Simon mengangkat alis, melayangkan tatapan meremehkan andalannya. 'Oh, yang benar saja..'
"Tergantung.."
"Tergantung bagaimana?"
"Well, mungkin aku akan memikirkannya kembali."
Ashley berusaha menahan senyum, meski percuma saja karena sudut-sudut bibirnya terlihat berkedut-kedut dan mengerut karena dipaksa tidak tersenyum. "Senior tahu tidak, Nenek ku cukup pandai untuk meramal seseorang. Hanya ada satu orang dari satu generasi yang menuruni ilmu dari nenekku, bibiku yang memiliki usaha tenun. Katanya dia selalu mendapat penglihatan ketika sedang memintal benang sutra, itu sangat ajaib, kau harus—"
"Kalau kau pikir untuk menyuruhku datang pada peramal dalam usaha pencarian ini, kau benar-benar luar biasa." Bola mata Ashley sudah berbinar-binar, tetapi kelanjutan ucapan Simon mematahkan segalanya. "Luar biasa konyol! Kau pikir kita sedang berada di negeri dongeng? Ramalan tidak ada yang benar-benar menjadi kenyataan. Bukan maksudku menyalahkan keluargamu, tapi aku aku berani bertaruh 10.000 dollar bahwa mereka hanya ingin memberikan kisah menarik pada anak kecil, padamu."
"Tunggu aku menyelesaikan ucapanku." Kerutan semakin terlihat di antara alis Ashley ketika dia mencoba memasang tampang serius. "Kau belum tahu bagian terbaiknya."
Simon menggeleng tak percaya. Dia sudah menyerah mengembalikan kewarasan Ashley ke tempat semula, dimana dunia nyata sedang berjalan dengan semestinya. 'Terserah kau saja.'
"Aku juga memiliki bakat itu. Yeah sudah lama tidak ku pelajari, tetapi kalau hanya mencari barang saja, aku lumayan jago." Raut percaya diri Ashley sungguh lebih buruk ketimbang wajah sok polosnya beberapa saat lalu, terutama bagi Simon. Usaha menahan diri untuk tidak menonjok pasti akan gagal jika Ashley bertindak kelewat batas. Dalam artian mempermalukan diri. "Aku ramal, benda yang kau cari adalah dompet kulit cokelat."
Simon tidak bisa tidak terbelalak. Tolong katakan jika itu bercanda. Ini tidak masuk akal, dia terus menerus mengulang kata yang sama dalam batin. Mengelak total apa yang telah didengarnya. Tetapi rasa penasaran mulai menjalari urat-urat saraf. Punggungnya terasa seakan digerayangi sulur-sulur dingin secara cepat.
"Berjanjilah jika aku bisa mendapatkannya, Senior akan menerima tawaranku?"
Bibir merah itu masih tertutup rapat. Tetapi sorot mata dinginnya telah berubah menjadi percikan keraguan. Yang biasanya terjadi saat seseorang hendak menyangkal sebuah fakta.
"Aku anggap Senior menyetujuinya." Pemuda berambut cepak itu tersenyum penuh kemenangan, binar-binar di kedua matanya terlihat lebih terang daripada apapun. Ashley masih tersenyum percaya diri saat tangannya bergerak ke belakang, itu terjadi lumayan cepat tapi cukup menyadarkan Simon dari sesi 'ketidakpercayaan'.
Benda tipis berukuran persegi itu tepat berada di hadapan Simon. Diapit jari jemari besar milik Ashley dan mungkin juga telah terselip lumayan lama di saku celana jeans biru tua.
Simon terbeliak. Dia sudah menduga hal-hal ajaib sejenis ramalan tidak pernah benar-benar ada. Justru, beberapa orang yang menggembar-gemborkan bahwa mereka dapat melihat masa depan, tidak lain hanya mengarang saja.
Dan, sialnya Simon telah menjadi salah satu orang yang tertipu oleh trik murahan semacam itu. Simon langsung menyambar dompet miliknya dari tangan Ashley, melemparkan kaleng soda yang telah habis ke wajah pemuda di hadapannya. Membiarkan orang-orang menatap asal suara kegaduan.
Simon acuh pada semua itu. Persetan.