Hari, cepatlah berganti. Harapan paling kuat Simon saat ini.
Keluar dari pelataran kampus dan langsung menuju apartemennya. Suasana hatinya tak mendukung untuk singgah ke tempat lain. Setidaknya menghabiskan waktu seorang diri dengan tenang lebih baik daripada terus menerus bertatap muka bersama seseorang, mengobrol tanpa alur pasti, bergerak secara tidak stabil dan acak. Itu akan menyita waktu dan tenaga, apalagi Simon harus berpura-pura menjadi sosok berbeda ketika bertemu orang lain.
Terkecuali pada pemuda berambut cepak dan memiliki tubuh yang, Demi Tuhan, teramat sangat diidam-idamkan oleh Simon selama ini. Tubuhnya memang terbilang lumayan tinggi, setidaknya mencapai rata-rata pria seusianya. Hanya saja dia tidak memiliki banyak otot. Sekerat daging dan pilinan urat kecil menyelimuti tulang rampingnya. Benar, dia memiliki ukuran tulang lebih kecil daripada pria lain.
Tetapi dia juga terlalu malas untuk pergi ke gym. Terlalu malas untuk berlari di atas treadmill. Apalagi kalau harus mengangkat beban. Dia lebih suka berenang sebenarnya. Namun seperti biasa, Simon selalu memiliki alasan sendiri untuk mengatakan jika dia tak pernah memiliki waktu cukup untuk sekedar berenang.
Tidak seperti pemuda lain yang sepertinya memiliki banyak waktu luang untuk mengikuti seseorang.
Simon baru saja mengganti pakaian —mengenakan kaos hitam polos dan celana boxer hitam— ketika bunyi bel nyaring mengisi kekosongan ruang apartemennya. Seingatnya, tidak ada tamu yang akan datang hari ini. Caroll —patner tidurnya— juga tidak mungkin akan mendatangi apartemennya tanpa informasi lebih dulu.
Sensasi dingin seketika merapi telapak kaki telanjang saat Simon menyusuri selasar apartemennya, berjalan ke arah pintu depan. Lantai marmer putih memantulkan ekspresi muram Simon sepanjang jalan. Dia tidak ingin diganggu, terlebih setelah semua hal yang dialaminya seharian ini. Tetapi mengabaikan bel yang terus menerus berbunyi bukanlah ide baik. Setidaknya dia harus mengambil tindakan untuk mengusir siapa pun di balik pintu depan.
Sebuah wajah tampak jelas pada layar interkom di sebelah pintu. Simon tentu dapat melihat siapa di luar sana tanpa harus bertanya lebih dulu. Sebaliknya, orang di luar sana tidak akan bisa melihat ke dalam ruang apartemen Simon. Juga tidak ada lubang intip pada daun pintu seperti kebanyakan rumah. Ini menjelaskan bagaimana raut kebingungan pemuda di balik pintu, hanya berdiri dan menunggu pintu terbuka. Ashley tak tahu jika Simon tepat berada di depannya, hanya terhalang oleh pintu tertutup saja.
"Mau apa kau?"
Mendengar sebuah suara tanpa wujud membuat Ashley semakin kebingungan. Dia menoleh ke kanan dan kiri, lalu ke atas. Tampaknya pemuda tinggi itu masih belum menyadari adanya speaker kecil di atas kotak bel. Entah sadar atau tidak, Simon tersenyum geli melihat betapa polosnya pemuda di luar pintu.
"Aku bisa melihatmu, tapi kau tak akan melihatku." Ashley menggaruk belakang kepalanya, kemudian membuka mulut. Bibirnya bergerak tetapi suaranya tidak terdengar. "Tekan tombol merah di atas tombol bel tadi," jelas Simon.
"Senior sedang apa?"
"Bukan urusanmu," balas Simon jutek. "Kalau kau kesini untuk membujukku lagi, sebaiknya cepat pergi sebelum aku melapor pada keamanan."
Pemuda berambut cepak itu terlihat panik. Sementara Simon berusaha keras untuk tidak tertawa. Dia baru tahu jika menggoda Ashley bahkan lebih menyenangkan ketimbang membuat kesal Jacob.
"Tidak, aku tidak akan melakukan hal macam-macam kok—" Ashley tampak berpikir. "Bagaimana dengan makan malam? Maksudku itu kalau Senior senggang. Ini murni sebagai permintaan maaf."
"Kau selalu begitu yah." Seperti biasa, nada bicara Simon memang selalu terdengar meremehkan. "Dulu juga kau melakukan hal yang sama, mengirimiku makanan. Apa ini memang taktik mu untuk membujukku?"
"Aku sungguh ingin meminta maaf, tapi tidak masalah kalau nanti Senior berubah pikiran sih~" Ashley meringis kaku, dalam hati terus berdoa jika keajaiban datang dan pria penghuni apartemen ini menerima tawarannya. Bagaimanapun, dia harus berhasil membujuk Simon agar Jacob memenuhi perjanjian mereka.
"Kau benar-benar keras kepala yah.."
"Ku mohon Senior—"
"Sial, berhenti memanggilku Senior. Orang-orang pasti berpikir kalau aku adalah orang yang gila hormat. Ini sudah abad 21, tidak ada yang peduli jika kau memanggil senior dengan sebutan Senior. Kau hanya menjadi alat untuk mempermalukan diri."
"Tetapi, kata Senior Jacob—"
"Astaga, serius, kau benar-benar telah dikerjai habis-habisan oleh dia. Apa masih tidak sadar juga?"
Suara Simon dari speaker menggema di seluruh dinding-dinding lorong tempat Ashley berdiri dengan canggung. Seseorang mungkin akan berpikir jika dia adalah penguntit atau apapun karena tidak di perbolehkan untuk masuk. Dengan atau tidaknya Simon melapor, petugas keamanan pasti akan datang ke sini dan menyeretnya keluar. Akan lebih parah lagi jika dia benar-benar dimasukan ke daftar hitam dan tidak diperbolehkan berada di dekat gedung apartemen ini dalam jarak kurang dari sepuluh meter.
"Anu, Senior.. apa tidak bisa membiarkanku masuk dulu?"
Suara speaker meyalak lantang. "Sudah ku bilang jangan panggil aku Senior."
"Okay.. Simon, bisakah kau membiarkanku masuk dulu?"
Tidak ada jawaban. Ashley berdiri dengan gelisah di tempatnya. Barangkali keheningan ini terjadi karena Simon tengah.
Suara alarm berbunyi saat pintu berwarna hitam pekat itu terbuka, secara otomatis karena tidak ada orang di belakang pintu. Ashley masih berdiri, sama sekali tak melangkah maju sebelum suara Simon kembali mengintrupsi.
"Masuk, dan taruh sepatumu di rak."
Suara itu terdengar halus dan lebih tenang daripada saat terakhir kali mereka berbicara secara langsung. Ashley entah kenapa merasa seratus kali lebih gugup daripada saat dia meminta untuk dibukakan pintu. Dia rasa semua karena gedung apartemen ini. Benar-benar elit, mewah, dan tidak terjangkau oleh orang semacam dirinya. Bayangkan ketika pertama kali masuk ke dalam gedung, mata langsung dimanjakan oleh arsitektur bangunan yang mirip seperti rumah-rumah mewah di dalam film. Tentu saja Ashley dimintai identitas terlebih dahulu, dan berkat kartu nama keluarga Simon yang dia dapat dari Jacob, Ashley berhasil melewati keamanan di pintu depan. Lampu-lampu berjejer di seluruh sudut ruangan, tempat ini benar-benar tidak memiliki satu lampu rusak. Ashley rasa, tidak ada yang namanya mati lampu di sini. Benar-benar berbanding jauh dengan tempat tinggalnya. Sepetak kamar tidak luas, kamar mandi dan dapur yang harus berbagi dengan penghuni lain, lampu kuning remang-remang yang cukup mengkhawatirkan akan padam kapan saja.
"Dari mana kau tahu tempatku?"
Lamunannya serta merta buyar, Ashley mengalihkan pandangan ke sumber suara. "A—"
"Pasti karena Jacob?" tebak Simon sebelum Ashley sempat menjawab.
Pemuda berambut cepak mengangguk sambil tersenyum kaku. Ternyata apa yang dikatakan Jacob memang benar. Simon memiliki kebiasaan untuk memotong pembicaraan sebelum orang lain selesai bicara.
"Kau sangat dekat dengannya? Yeah, kalian memang satu jurusan sih." Simon membawa dua kaleng bir ke arah sofa ruang tengah, meletakan benda yang masih dingin —terlihat dari embun di permukaan kaleng— di atas meja kaca.