Langit kelabu perlahan mulai lebih terang saat bulatan kuning menyilaukan merangkak naik, kian semakin ke atas. Pagi kali ini terlihat lebih cerah daripada hari kemarin. Tidak ada awan mendung apalagi gerimis, langit di atas sana dihiasi oleh awan putih tipis. Pertanda hari akan cerah, begitu menurut penuturan pembawa berita perkiraan cuaca.
Siaran berita menemani seorang pemuda berkulit seputih salju yang tengah mendudukan diri di sofa ruang tengah. Bertelanjang dada dan hanya memakai boxer di atas lutut. Seolah sudah kebal dengan udara dingin pagi. Pandangannya menatap kosong dinding kaca di hadapannya —hampir mengelilingi seluruh ruangan. Gedung-gedung tinggi memelototinya, menangkap basah figurnya yang tak mengenakan pakaian lengkap. Ditelanjangi diam-diam.
"Uhuuk!"
Simon batuk sekali, tetapi dia tak beranjak dari duduknya untuk sekedari mengambil air minum. Kepalanya masih pening, bekas minuman keras ditenggaknya semalam. Berapa botol? Satu? Dua? Entahlah. Satu-satunya yang dia ingat adalah ucapan Jacob sebelum pemuda itu pergi meninggalkannya di dalam ruangan bersekat kaca. Sendirian. Ah tidak, jangan lupakan Wine 1972.
'Cara paling ampuh untuk mengobati patah hati adalah dengan mencari cinta yang baru..'
"Persetan." Simon membaringkan tubuhnya di atas sofa. Perkataan Jacob berputar-putar di dalam kepala bersama dengan rasa sakit yang semakin mendera. "Aku tidak sedang patah hati," monolognya. "Aku hanya..." Simon terdiam, matanya berpendar saat menatap langit-langit apartemen. Lalu apa? Sebenarnya apa? Inikah sebuah penyangkalan?
Dering ponsel terdengar samar-samar, seperti berasal dari kejauhan. Simon menajamkan pendengarannya, memastikan apakah dia tak sedang berhalusinasi, barangkali efek alkohol semalam belum hilang. Dering lagi, kali ini lumayan keras terdengar. Mungkin karena Simon sudah sadar sepenuhnya, tak lagi melamun.
Menyadari bahwa dering ponsel berasal dari dalam kamarnya, Simon lalu bangkit —setelah mengumpat sekali— menyusuri selasar apartemen dan masuk ke dalam kamarnya.
Ruangan itu terlihat agak berantakan. Pakaiannya tergeletak sembarangan di lantai, sepatu kulit berwarna hitam juga ada di sana dan bukannya tersimpan rapi di dalam rak. Sisa semalam. Dia sekali lagi telah membawa pulang seorang gadis bersamanya dari PUB. Gadis sembarang yang bahkan Simon tak ingat wajahnya apalagi dengan namanya. Ini kebiasaan buruk, Simon tahu sangat jelas. Tetapi kejadian ini sudah lama tak terjadi sejak dia berpacaran dengan Emily.
Lalu apa? Dia sungguhan patah hati dan mencari pelampiasan seperti yang dikatakan Jack?
Dering itu terendam, kencang tetapi terkesan bersembunyi. Simon lantas menyibak selimut, menampakan benda persegi hitam yang layarnya menyala.
Tidak ada gadis di dalam kamar ini, hanya ada aroma mawar semerbak menemani Simon yang terbaring di atas ranjang dengan ponsel di telinga kanan. Aroma mawar, itu satu-satunya hal yang diingat Simon mengenai gadis itu.
"Ada apa?" Simon mengernyit saat mendengar suaranya serak dan pecah. Ini salahnya karena terlalu malas untuk menenggak air mineral. Dia lalu meneguk ludahnya sendiri, mencoba membasahi tenggorokan kering.
'Kau baru bangun?'
Suara Jack diseberang sana terdengar panik. Ini sedikit mengembangkan rasa pensaran Simon, hanya saja dia terlalu malas untuk bertanya. Tidak ingin terlihat penasaran sebenarnya. Toh, Jack juga akan menceritakan hal apapun itu tanpa Simon tanya lebih dulu.
"Iya." Kenyataannya Simon bangun lebih pagi dari biasanya, menyebabkan rasa pening melanda seluruh kepalanya. Nyeri dan mual. "Ada apa?"
'Bantu lah aku~'
Simon mengernyit. Firasatnya langsung mengatakan bahwa apa yang akan diucapkan Jacob bukanlah hal baik. "Tidak mau."
'Hey, aku bahkan belum mengatakan apapun.'
"Aku tidak mau. Apapun yang kau katakan, intinya aku menolak."
'Hey—"
Sambungan kembali diputus secara sepihak. Dan, Simon dengan cepat mematikan daya ponselnya. Membuat layar kembali menghitam, seiring dengan rasa kantuk mulai merayapi kelopak matanya. Aroma mawar ini agak memuakkan, tetapi gravitasi ranjang ini lebih kuat sehingga Simon tak bisa melawan dan perlahan memasuki alam mimpi.
.
.
.
.
.
.
"SAUS TARTAR!"
Ashley terlonjak kaget dan hampir saja menjatuhkan nampan beserta minuman di atasnya tepat saat mendengar teriakan dari si pria gondrong. Jacob segera menyambar gelas di atas nampan Ashley, tanpa menunggu pemuda tinggi itu menyodorkan padanya. "Ada apa?"
"Si putri tidur itu membuatku selalu naik darah!" kata Jacob sembari menyeruput minuman berwarna coklat dan dingin di tangannya. "Dia selalu saja mematikan panggilan sebelum aku selesai berbicara. Apa dia tidak ingat, aku lah yang menemani saat dia patah hati! Lalu—"
Pagi cerah tak berarti awal hari yang baik. Itu yang sedang Ashley rasakan sekarang. Mendapatkan shift pagi secara mendadak karena Helena tiba-tiba harus menemui dosen, katanya tentang program pasca sarjana, atau hanya sekedar alasan saja karena terlalu malas membuka Cafe pagi ini. Sebagai seorang adik, Ashley adalah target empuk untuk menanggung beban tersebut. Tak hanya berakhir sampai situ saja, karena sekarang dia terjebak bersama senior paling cerewet.
"Orang yang kau maksud, Senior waktu itu yah?"
Jacob mengangguk cepat. "Iya! Kalau saja kami tidak berteman lama, mungkin aku sudah malas membantu dia saat kesusahan."
"Kenapa tidak berhenti berteman dengannya saja?" Ashley rupanya sudah ikut terbawa suasana. Entah karena suasana Cafe yang sepi, atau Jacob memiliki bakat untuk membuat sebuah cerita menjadi lebih menarik.
"Yeah, aku tak bisa meninggalkannya hanya karena masalah sepele begini sih..."
"Tapi, dia sering melakukan hal semacam ini secara terus menerus kan? Bukannya justru berarti dia tak menghargaimu?" Ashley tak akan memberikan pendapat jika dia sendiri tak melihat secara langsung bagaimana sikap orang yang tengah mereka bahas. Tanpa bumbu cerita dari Jacob pun, dia memiliki pengalaman kurang menyenangkan dengan senior itu.
Jacob meletakan gelas plastik yang isinya telah raib setengah, sebelum menatap ke arah Ashley. Lalu menahan tawa.
"Apa yang lucu?"
"Ya ampun.." Jacob menepuk-nepuk dadanya sendiri. Ingatkan dia untuk tak tertawa saat sedang minum. Hampir saja seluruh kopi yang dia minum berpindah ke paru-paru. "Dia itu tipe orang yang selalu membuatmu kesal tapi kau tak akan bisa benar-benar benci padanya."
"Mana bisa seperti itu," sahut Ashley. Bagaimana bisa orang tetapi bertahan dengan orang lain yang memiliki sikap menyebalkan? Dia saja sudah tak tahan jika berada di satu ruangan yang sama dengan Helena.
Jacob menegakkan duduk dan menarik kursinya maju, lebih dekat ke arah Ashley. "Mau mencobanya?"
"Tidak mau."
"Whoaa! Lihat, kalian bahkan memiliki jawaban yang sama!"
Ashley reflek menggeser kursinya ke belakang saat mendengar teriakan Jacob. Tetapi yang lebih membingungkan adalah ucapan pemuda gondrong itu. "Apa maksudnya itu?"
"Bagaimana kalau kita taruhan?" Bukannya menjawab, Jacob malah bertanya balik dengan wajah berseri-seri heboh.
"Pasti sesuatu yang aneh."
Jacob mengabaikan raut wajah tanpa minat Ashley dan kembali melanjutkan ucapannya. "Bagaimana kalau kau memintanya menjadi model sampul majalah kampus? Jika berhasil, aku akan bekerja di sini menggantikanmu. Dan seluruh pendapatanku dari sini akan ku berikan sepenuhnya padamu. Sepakat?"