"Ini, Caramel Latte nya. Silakan dinikmati," ujar Ashley sembari meletakan secangkir kopi di atas meja yang disinggahi Jacob.
Lelaki berambut gondrong —kini sudah dia ikat berbentuk kuncir tunggal— menatap penuh binar ke arah minuman kafein di hadapannya. Busa putih tampak menggembung lembut di atas permukaan air coklat, lelehan karamel menghiasi bagian atas busa, semakin menambah aroma harum manis yang sangat menggoda. Tetapi, sebelum cairan coklat mengalir membasahi kerongkongan, Jack lebih dulu mengeluarkan kamera dari dalam tas selempang. Jepretan dari Nikon D5500 mengambil potret paling akurat dari sebuah minuman kafein, hanya butuh beberapa detik. Entah karena memang mesin kamera itu terlalu canggih atau karena tangan Jack memang sudah terlatih melakukan hal semacam ini.
Tetapi, bagaimanapun hal luar biasa yang terjadi di depan mata, Ashley sudah kehilangan minat semenjak merasa dirinya selalu dimanfaatkan oleh pemuda gondrong. Bukan, ini memang seratus persen salahnya.
"Kalau begitu saya permisi Senior—"
"Huh? Jangan pergi dulu," ucap Jack. Rupanya, meskipun tampak sibuk dengan dunianya sendiri —memotret Caramel Latte— ternyata Jacob tak benar-benar mengalihkan perhatian dari Ashley.
"Saya masih harus bekerja." Ashley ingin segera pergi, menghilang dari hadapan si senior sebelum gajinya benar-benar habis untuk membelikan segala macam makanan yang mungkin saja akan Jack minta sebagai bayaran.
Jack tampak berpikir, kemudian memutar kepalanya untuk melihat seisi ruangan yang tak terlalu luas. "Bukankah menemaniku sama saja dengan bekerja? Lihat, tak ada pelanggan lain selain aku di sini. Kenapa kau malah buru-buru pergi?"
Pria yang terlihat cukup urakan dengan potongan rambut panjang memang memiliki kesan tak terurus. Tetapi, asal tahu saja, orang macam Jacob ini memiliki mulut paling memikat yang pernah Ashley temui. Ibaratnya, kalau Helena memiliki mulut berbisa seperti ular, lain halnya dengan Jacob. Karena apapun yang pria itu katakan, baik sekedar candaan atau mengarah serius, bersifat baik atau ancaman, semua yang keluar dari mulutnya berhasil membuat lawan bicaranya menjadi hilang kuasa. Dan berakhir menuruti kemauan Jack, entah simpati atau paksaan.
Ashley merasakan kedua-duanya. Berawal dari rasa simpati dan sikap menghormati terhadap senior, lalu sekarang dia justru mendapat ancaman. Yang mana sama sekali tak bisa untuk di tolak.
Barangkali Jacob memang mempunyai bakat alami dari lahir. Semacam mampu memanipulasi orang lain.
Ashley menarik kursi sebagai tempat untuk dirinya duduk, berhadapan dengan si senior yang kini tersenyum puas.
"Nah, begini dong~" Jacob mulai menyeruput Caramel Latte, sudah berubah mendingin barangkali karena tak langsung dia minum. Terlalu sibuk mengambil gambar. "Lebih baik duduk di sini kan, daripada di belakang sana."
Ashley tanpa sadar mengangguk. Kali ini bukan karena sukses dimanipulasi, perkataan Jacob total benar. Pemandangan dari tempat duduk yang dipilih pemuda gondrong itu jauh lebih baik ketimbang hanya berdiri di belakang mesin pembuat kopi sembari mengelap bagian-bagian mesin yang padahal sudah dibersihkan puluhan kali.
Beberapa kendaraan berlalu lalang di jalan raya, tepat di depan Cafe ini. Pejalan kaki juga terlihat berjalan area trotoar di sisi kiri dan kanan jalan. Tak banyak memang karena ini belum masuk jam pulang kantor. Alasan masuk akal kenapa Cafe ini masih sepi.
Hal-hal kecil semacam ini sering Ashley lewatkan. Kesibukan ternyata telah membuat waktu berhenti berjalan. Di dalam sini terasa monoton, sama sekali tak mendorong adanya sebuah perubahan. Padahal, dunia di luar sana sudah berjalan melewatinya sangat cepat. Begitu Ashley sadar, ternyata hari sudah berubah menjadi gelap dan akan segera berlalu.
"...Karena itu aku memintamu—Oy!! Kau tak mendengar ucapanku?"
Pemuda berambut cepak mengerjap beberapa kali sebelum memasang ekspresi bingung. "Em... Apa yang Senior katakan?"
Jacob menepuk dahinya tidak sabaran. "Ya Tuhan.." desisan bernada kesal campur pasrah terdengar. "Apa kau sedang memikirkan orang yang kau sukai sampai-sampai tak mendengarkan ucapanku? Aku tak percaya kalau si Simon itu telah mencuri perhatianmu padahal kalian baru bertemu sekali saja."
Kelopak mata Ashley terbuka sempurna, bola matanya bahkan nyaris keluar dengan pupil yang melebar dua kali lebih besar dari ukuran semula. Ada apa dengan orang-orang ini, kenapa selalu saja menyimpulkan sesuatu seenaknya tanpa bertanya lebih dulu. Dan, kenapa semuanya selalu membahas senior bermulut pedas itu. Ini menggelikan.
"Tolong, jangan membuat kesimpulan yang aneh."
Meski Ashley bisa saja membentak dan menumpah ruahkan segala emosi, akal sehatnya masih bekerja dengan normal, menahan tindakan yang pasti akan dia sesali setelahnya. Karena, tak ada gunanya memecahkan masalah dengan emosi. Malahan, kalau dia bertindak hebohm justru akan membuat kesalahpahaman semakin terjadi.
"Dasar, kau ini masih malu-malu juga. Padahal tadi minta alamat Simon secara terang-terang padaku, ku kira kau ini tipikal orang yang blak-blakan kalau urusan perasaan."
Oh, jadi begitu.
Awal kesalahpahaman ternyata berasal dari hal sepele.
"Saya hanya minta alamat untuk mengirimkan makanan, apa itu terlihat aneh?"
"Nah itu!" Jacob memberikan reaksi lebih dengan memukul-mukul meja penuh antusias. "Itu sangat jelas bukan? Mana ada orang yang mengirimkan makanan tanpa ada maksud lain?"
"Yah, benar sih.." Ashley tak bisa mengelak. Karena untuk kesekian kalinya, Jack sungguh benar.
"KAN! BENAR KAN!"
"Astaga, tunggu dulu! Dengarkan penjelasanku dulu Senior!"
"Kau ingin menjelaskan apa lagi anak muda? Aku tak mau mendengar kisahmu yang jatuh cinta pada pandangan pertama." Jack memberi peringatan sembari meneguk dengan nikmat Caramel latte -telah berkurang separuh.
"Tidak! Yang jelas bukan itu! Aku tak mengerti kenapa hal ini dipermasalahkan. Dari kakak ku lalu Senior, kenapa kalian mengatakan hal yang tidak masuk akal?" Wajah si pemuda tinggi setengah memerah padam, dadanya naik turun tak beraturan. Memperlihatkan bagaimana kadar emosinya tengah bergejolak.
"Tunggu, kau bilang kakakmu juga punya pendapat sama sepertiku?"
"Bahkan baru beberapa saat lalu kami meributkan hal itu—"
"Kau serius?!"
Ashley terkejut ketika mendapatkan respon yang lebih tidak biasa dari pemuda gondrong di hadapannya. Dia mengangguk ragu-ragu.
"Ini sebuah takdir!" Sebelum Ashley sempat bertanya maksud pernyataan barusan, Jack lebih dulu melanjutkan. "Aku dan Kakakmu memiliki pendapat yang sama dalam waktu bersamaan pula. Apalagi kalau bukan takdir? Kita sudah memiliki koneksi satu sama lain bahkan sebelum saling bertatap wajah."
Dalam hati diam-diam Ashley setuju. Mengapa? Karena dua orang ini sama gila dan sama seenaknya sendiri.
"Seperti kata Senior barusan, kami baru pertama kali bertemu dan yang paling tak masuk akal karena kami sama-sama lelaki! Mana mungkin hal itu terjadi," tutur Ashley kemudian. Dia memilih untuk mengabaikan pernyataan aneh si Senior tentang takdir dan koneksi tak kasat mata atau apapun hal menggelikan lainnya.
Jacob telah menghabiskan secangkir Caramel latte sebelum kembali menatap ke arah Ashley.
"Tentu saja itu mungkin terjadi. Cinta tetaplah cinta, tak peduli kau berasal dari ras, kedudukan, negara, kepercayaan bagaimana atau bahkan jenis kelamin yang sama. Sama seperti aku dan Kakakmu. Kita sudah saling terhubung meskipun belum bertemu."
"Ya sudah, mumpung sedang ada di sini, temui gadis yang Senior sebut sebagai takdir tadi."
Sebenarnya Ashley hanya ingin menggertak saja. Dia pikir orang sejenis Jacob hanya akan bercuap-cuap tanpa keberanian lebih kalau disuruh bertindak.
"Baiklah, karena kau sudah merestui, aku akan temui Kakakmu. Sekarang ada di mana dia?"
Tapi kemudian Ashley sadar kalau pemuda gondrong ini kelewat percaya diri.
Atau gila?