Iris hitam menatap lekat-lekat bungkusan di hadapannya yang belum dia buka. Benda itu, harusnya tak ada di sini.
Simon tak mengerti apa yang telah dia lakukan beberapa saat lalu. Membukakan pintu lalu menerima pesanan makanan lengkap dengan minuman yang masih belum diketahui siapa pengirimnya. Saat dia bertanya, kurir tersebut tak bisa mengatakan secara pasti siapa si pengirim. Simon menduga, siapapun orang itu telah membayar lumayan tinggi agar identitasnya tak diketahui.
Ini mencurigakan. Sangat malah.
Barangkali seseorang telah memberikan racun di dalam makanan tersebut, bukankah itu modus paling umum dilakukan?
Anehnya, Simon tak membuang makanan itu dan hanya menatap selama beberapa saat sebelum membuka bungkus makanan tersebut.
Satu paket ayam goreng krispi dan sebuah frappuccino ukuran besar berada di dalamnya. Kedua benda tersebut berasal dari toko yang berbeda. Karena sangat jarang penjual ayam goreng memadukan dengan kopi, biasanya soda atau minuman beralkohol saja.
"Niat sekali orang ini," gumam Simon. Lumayan takjub juga merasa aneh di saat yang bersamaan. Orang macam apa yang memadukan ayam goreng dengan kopi. "Seleranya aneh sekali," cibirnya kemudian.
Baru saja dia hendak membuka kotak ayam goreng, sudut matanya menangkap sesuatu yang asing dan menempel di wadah frappuccino. Secarik kertas, atau mungkin memo, apapun itu yang pasti disana tercetak sebuah tulisan tangan yang lumayan agak luntur karena embun di luar wadah minuman dingin tersebut.
Simon segera mencabut kertas tersebut, dia memicingkan mata berusaha membaca pola tulisan yang cukup kacau karena telah rusak oleh air embun. Pelan-pelan membaca kata demi kata sampai dia menyadari satu hal.
[]Ku harap Anda makan dengan lahap Senior.
Ah, minumlah kopi itu agar Anda tak mengantuk saat mengerjakan tugas. Tapi jangan diminum setelah makan ayam, minumlah air putih saja.
Nb; Tentang cincinmu, aku sangat minta maaf.[]
"Dia ini, benar-benar.." Tanpa pikir panjang, Simon langsung meremas kertas tak bersalah tersebut menjadi gumpalan tak berbentuk. "..Keras kepala sekali."
Dia membungkus lagi makanan yang telah dikeluarkan beberapa saat lalu. Simon tak mau memakan pemberian dari si pria aneh, selain karena curiga kalau orang itu telah memasukkan racun ataupun benda aneh tertentu, Simon juga mempunyai harga diri lumayan tinggi. Walau di tempat ini hanya ada dia seorang diri, tetap saja memakan makanan pemberian orang yang tak disukai sama saja menjilat ludahnya sendiri. Menjijikan.
Maka, lebih baik menyibukkan diri dengan hal lain, misalnya jurnal PDF yang belum selesai dia baca.
Bait-bait kata telah menunggunya untuk diselesaikan, juga kuisioner yang belum dia tengok sedikitpun. Matanya bergerak dari kiri ke kanan, membaca kalimat dengan seksama dan teliti. Beberapa kata yang penting juga dia masukan ke dalam catatan. Orang lain mungkin akan merasa repot dan terlalu malas kalau harus mencatat dengan tangan, kebanyakan hanya menandai sebagian kalimat dan menyalinnya pada halaman lain. Tetapi tidak bagi Simon, anggaplah dia sudah terbiasa melakukan hal yang menurut orang lain terlalu merepotkan, karena dengan ini dia bisa mempelajarinya sebanyak dua kali.
'Kruyuuuuk~'
"Ugh, tahan lah sebentar.." ujar Simon sambil meremas perutnya. Kalau saja manusia bisa kenyang tanpa makan, Simon akan sangat bersyukur.
Sayangnya, tubuh manusia terlalu lemah untuk bertahan tanpa asupan nutrisi. Kekurangan makanan dapat menyebabkan menurunnya tingkat fokus seseorang, pandangan menjadi berkunang-kunang, sampai pingsan.
Itulah yang sedang Simon rasakan. Pikirannya telah hilang fokus, ditambah perutnya semakin perih karena dia belum makan sejak pagi. Kewarasannya telah diambil alih oleh rasa lapar. Harga diri pun tak lagi menjadi point utama untuk dipertahankan.
Kini, mendapati dirinya tengah melahap dengan rakus potongan ayam goreng krispi. Sangat rakus, persis seperti orang yang belum makan selama setahun penuh. Demi Tuhan, ini adalah makanan paling enak yang pernah Simon makan. Padahal hanya sekedar ayam goreng biasa, tak ada sesuatu yang spesial. Efek terlalu lapar, barangkali.
Lalu, begitu sudah setengah habis, Simon baru merasa menyesal. Tentu saja pada dirinya sendiri yang tidak konsisten dalam membuat keputusan. Penyesalan memang selalu datang di akhir, ditambah perutnya yang tak bisa diajak kerja sama, sukses membuatnya kalap.
Simon hanya sedang mencari alasan sebagai pelampiasan kesalahannya.
"Akan ku ganti," monolognya dengan pipi menggembung, penuh makanan yang dijejalkan ke dalam sana. "Akan ku ganti semuanya, dua kali lipat. Dia kira aku tak mampu membeli makanan huh?"
Benar, Simon bukannya tak mampu membeli, dia hanya terlalu malas saja.
Ayam goreng telah raib tak tersisa, dengan potongan terakhir berpindah ke dalam perut. Menyisakan tulang-tulang kecil yang sengaja di tempatkan pada bungkus plastik.
Pemuda berkulit pucat di ruangan ini memilih membuang sampah makanan sebelum melanjutkan kesibukannya —yang terjeda karena urusan perut— kalau saja pikirannya yang super jenius tak melakukan kinerja berlebihan sampai-sampai memikirkan hal tak penting lainnya, tetapi karena itu adalah Simon, segala hal akan sangat penting.
"Darimana dia tahu nomor apartemen ku?"
.
.
.
.
.
"Hoy, berhenti menatapku seperti itu!" seru seorang pemuda bertubuh besar, mulai menjauhkan diri ke sisi lain. Tapi sejauh apapun, tatapan gadis di ruangan yang sama dengannya masih saja terasa mengganggu.
Cafe tampak sepi, hanya ada sedikit pelanggan datang, itu pun sudah pergi beberapa saat yang lalu, cukup lama kalau menghitung mundur dari waktu saat ini. Kalau orang lain mungkin saja akan senang karena tak perlu mengeluarkan tenaga lebih, bisa bersantai tanpa mendapatkan surat peringatan.
Lain halnya untuk Ashley, dia sangat benci dengan waktu kosong macam ini malahan.
Karena, bukannya bisa beristirahat dengan tenang —boro-boro— wanita setengah iblis —yang sialnya lahir lebih dulu darinya— menggunakan waktu ini untuk mengganggu atau apapun terhadapnya.
"Aku tahu kalau aku tampan, tapi kau tak perlu menatapku seperti itu. Menyeramkan tahu!"
"Katakan sejujurnya," tukas Helena, matanya memicing dengan alis menyatuh.
Inilah bagian yang tak disukai Ashley, tatapan menelisik terasa menelanjanginya saat ini. "Aku tak mencuri uangmu, kau saja yang sering lupa menaruh." Dia tak sembarangan bicara, karena Helena kerap kali menuduhnya mencuri uang padahal gadis itu sendiri yang ceroboh. Terlampau sering sampai Ashley jadi jengah sendiri. Padahal, wajahnya cukup tampan, tak mirip dengan pencuri seperti yang kakaknya tuturkan.
"Kau punya pacar kan?'
"Hah?!— Ouch!" Pemuda itu terkejut lalu memekik kesakitan saat tangannya tak sengaja menyentuh bagian mesin yang lumayan tajam, untung saja hanya tergores tanpa berdarah. Ashley lantas memberikan tatapan tajam yang tak pernah bisa membuat Helena merasa takut ataupun terancam.
"Dasar anak muda jaman sekarang, tujuan masuk univesitas bukannya belajar dan malah sibuk berpacaran." Helena berlalu sembari menggelengkan kepalanya pasrah.
"Ucapanmu tak masuk akal, kau mabuk yah?"
"Kau itu yang sedang mabuk cinta. Sekarang sudah berlagak dengan mengirimkan makanan pada si pacar, jangan-jangan kau juga mengaku pemilik Cafe ini? Whoa.. Aku turut prihatin pada gadis itu, dia telah termakan ucapan seorang penipu."
"Jangan menyimpulkan sendiri, lagipula dia bukan gadis."
Hening.
Awalnya Ashley merasa kalau dia telah menang, untuk pertama kalinya dari si kakak setengah iblis. Namun, firasatnya mulai memburuk, apalagi setelah melihat ekspresi gadis di seberang sana.
Helena diam dengan mata terbelalak, tanpa sekalipun berkedip.