Bel sudah di tekan, hanya butuh beberapa saat untuk menunggu sang pemilik apartemen membukakan pintu untuknya.
Yang Simon lakukan sekarang adalah bersandar, karena tak tahu kenapa kepalanya terasa pusing. Meski tidak dalam keadaan parah namun cukup membuatnya merasa seakan ditusuk benda tajam. Ini pasti karena dia dengan sengaja membiarkan dirinya terpapar air hujan sampai rambutnya terasa basah.
Menyebalkan.
Ada perasaan mengganjal yang Simon sendiri tak bisa katakan. Bukan, bahkan dia tak tahu perasaan macam apa itu.
Simon sadar, dirinya bukan tipikal orang yang dengan mudah mengekspresikan perasaan secara terang-terangan. Perlu banyak waktu untuk dirinya memilah kalimat paling bagus, ringkas dan mudah dipahami agar tak menimbulkan kesalahpahaman. Jika tak mampu maka dia memilih untuk diam saja. Barangkali dengan begitu, perasaan mengganjal yang ia alami akan terhapus dengan sendirinya.
Sekiranya sepuluh menitan dia menunggu dan pintu belum juga terbuka. Alisnya berkedut-kedut ketika memikirkan apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Pulang ke apartemennya sendiri? Simon menolak tegas hal itu. Dia takut sendirian. Atau masuk saja? Toh dia tahu password pintu apartemen ini. Masuk seperti biasa lalu dia akan menunggu di dalam karena kemungkinan paling besar adalah si pemilik rumah sedang pergi keluar.
Benar, lakukan seperti biasa saja, kenapa dia harus menunggu seperti orang bodoh di luar sini.
Simon mengelap jari jemarinya yang masih terasa lengket, bekas tersiram kopi berkadar gula tinggi. Padahal dia berusaha untuk tak mengingat, tapi jejak memalukan masih tertinggal jelas. Mengingatkannya pada momen memalukan, terutama saat dia tak bisa menahan kepergian Emily.
'Tiririiing~'
Baru saja jemarinya mencoba menekan tombol password, tetapi alarm pintu telah berbunyi lebih dulu, menandakan jika ternyata ada orang di dalam sana. Dan, orang tersebut baru saja membuka pintu untu keluar.
Simon mundur selangkah dari pintu, tak ingin membuat orang di dalam sana terkejut akan sosok yang berdiri menghalangi pintu. Tapi ternyata, dia lah yang cukup terkejut dengan sosok di dalam sana. Di tengah pintu yang mulai terbuka, sosok Caroll tampak sedang saling memagut dengan seorang pria. Dari penampilannya dapat disimpulkan jika pria itu seumuran dengan Caroll.
Dan, Simon hanya bisa berdiri melihat dua orang dewasa yang sedang menikmati satu sama lain tanpa bisa berbuat apa-apa. Ekspresi wajahnya langsung berubah dari terkejut menjadi biasa. Hal semacam ini bukan hanya terjadi sekali saja dalam hidupnya. Mengingat hubungannya dengan Caroll tak lebih dari 'teman tidur semata', tak ada ikatan yang membuat mereka tak bebas berbuat sesuka hati.
"Eh, Simon.." sapa Carolline ketika menyadari ada sepasang mata lain yang memperhatikannya.
"Dia siapa?" tanya si lelaki, tanpa ada intonasi marah. Simon bisa menebak jika pria itu juga sama seperti dirinya, hanya 'teman tidur' si wanita saat sedang bosan.
Caroll tersenyum, masih memeluk lengan pria dewasa di sebelahnya. "Dia, mantan murid les ku, sepertinya saat ini dia butuh bantuan lagi, bukan begitu Simon?"
Simon mengangguk, mengiyakan ucapan Caroll tanpa sepatah katapun keluar dari mulutnya.
"Jangan bohong, dia mainan mu bukan?" meski pertanyaan tadi terkesan mencurigai, waja pria itu masih tampak ramah luar biasa. Bahkan dia bertanya sembari mengusap sayang rambut wanitanya.
"Mana ada 'mainan', kau kan tahu kalau aku hanya mencintaimu~"
Simon hampir saja memutar bola matanya jengah. Dia juga pernah mendengar kata-kata yang sama dari mulut wanita itu, dulu sekali, saat dia masih belum berada di fase awal pubertas. Lalu, dengan bodohnya menganggap ucapan Caroll sungguhan.
"Ya sudah kalau begitu, aku pulang dulu.." Pria itu mendekat ke wajah Caroll, mendaratkan ciuman lembut di dahi.
"Hati-hati~" hal yang serupa juga di lakukan oleh Caroll. Dia melambaikan tangan pada pria yang sudah berjalan menjauhi apartemennya.
"Ekheem!" Simon batuk keras, kentara sekali dipaksakan.
"Well.." Caroll bersandar pada pintu, menatap dengan mata sayu ke arah pemuda yang juga balik menatap datar. "Tumben sekali kau kesini? Sudah sangat lama bukan? Aku kira kau sudah melupa—"
"Dia pria ke berapa dalam minggu ini?" tanya Simon sambil melenggang masuk melewati sisi lain yang tak tertutupi oleh Caroll. Mata rubahnya menatap ke sekeliling ruangan, lalu mengeryit ketika mendapati keadaan tempat ini. Berantakan. Seperti ada kejadian pertempuran lumayan hebat yang membuat beberapa barang tergeletak tak beraturan. Hal macam apa yang bisa dilakukan kedua orang dewasa hingga membuat seluruh ruangan ini menjadi seperti kapal pecah. Karena Simon tahu, wanita seperti Caroline bukanlah tipikal orang yang mengabaikan kebersihan. Apalagi untuk ruangan tempat tinggalnya. "Kau habis bercinta atau bertengkar sebenarnya?"
Si wanita memutar kepala, arah pandangnya mengikuti kemana tubuh Simon bergerak pergi. Tersenyum tipis yang tentu saja tak akan dapat terlihat dari posisi Simon saat ini. "Kenapa kau begitu penasaran dengan tunanganku?"
Gerakan kaki Simo berhenti tepat sebelum dia menginjak sebuah bra hitam di atas karpet. Menoleh sekilas pada Caroll lalu menendang bra tersebut sampai masuk ke dalam kolong sofa. "Tunangan? Apa yang dia berikan padamu sampai kau bisa menyebut pria itu tunangan?" Sesungguhnya Simon tak bermaksud menyindir ataupun menjelekkan, dia hanya sekedar penasaran saja. Karena meski mereka tak memiliki sebuah 'ikatan hubungan' yang pasti, Simon sudah terlalu mengenal wanita dewasa satu ini.
"Tentu saja cinta~ Cinta yang sangat banyak~" ucap Caroll sembari memeluk leher Simon dengan manja.
"Hey, bukankah ucapanmu itu sangat bertolak belakang dengan apa yang kau lakukan?"
"Kenapa memangnya? Ini kan alasanmu datang kemari?" Caroll menciumi leher putih mulus Simon, sesekali menjilat dan menghisap.
"Kau tak kasihan pada Tunanganmu itu?" Meski sebenarnya Simon sendiri tak terlalu mempedulikan perasaan pria yang baru saja dia lihat beberapa saat lalu. Pertanyaan tadi hanya sekedar formalitas saja.
"Kau pakai parfum beraroma kopi? Tumben sekali~" Caroll tampaknya memang sengaja mengabaikan pertanyaan Simon, dia malah asik mengendus leher putih hangat dengan sedikit lengket. Lidahnya menjulur, menjilati setiap jengkal leher si pemuda tanpa tersisa. Mengecapi rasa asin bersampu manis kopi.
"Bukan," Simon menjenjangkan lehernya sembari sedikit menggeliat kegelian akibat lidah Caroll yang hangat. Tapi, itu belum cukup untuk membuat dia mendesah ataupun terangsang. Masih belum cukup. "Aku tadi tak sengaja menabrak seseorang lalu minumannya jatuh menyiram sebagian pakaianku.."
"Sepertinya aku harus berterima kasih pada orang itu~" bisik Caroll tepat di telinga Simon.
Tak tahu sudah sejak kapan wanita ini duduk di atas perut Simon, menindih dengan bertumpu pada dada bidang si pemuda bermata rubah. Menjilat-jilat daun telinganya lalu tak luput juga lubang telinga. Lidahnya mengecapi rasa asin hangat pada tubuh Simon, seolah-olah tengah menjilat Lolipop ketimbang tubuh manusia.
"Hey.. tubuhku sekarang kotor," Simon menahan bahu Caroline agar wanita itu tak terus menerus menjilati tubuhnya.
"Bagaimana kalau kita bersihkan tubuhmu dulu?" tanya Caroll sambil mengelus area selangkangan Simon yang masih tertutupi celana kain.