Chereads / First Love and Revenge / Chapter 6 - Adam Yang Berbeda

Chapter 6 - Adam Yang Berbeda

Adam melambaikan tangannya pada kakaknya, untuk duduk bersama teman- temannya yang lain. Anak kecil berhati malaikat itu memperkenalkan satu per satu tamu yang datang siang itu.

Martien berbeda dengan Adam, jika adiknya bisa ramah kepada semua orang dan selalu menerima semua temannya dengan baik. Berbeda dengan kakaknya, dia pria yang dingin dan tak banyak bicara. Ia hanya mengangguk pelan saat satu persatu memperkenalkan dirinya. 

Anak berusia sepuluh tahun ini, tidak bisa mudah percaya dengan orang, dan lagi dia juga tidak mudah menerima orang baru. Bukan sombong, tetapi karakternya terbentuk dari semua kepahitan yang dia alami sedari kecil.

Mereka bercerita tentang bagaimana kehidupan mereka kepada Adam. Tampak rasa penasaran yang besar tersirat dari mata anak berusia lima tahun ini. Ia sangat antusias saat salah satu tamunya menceritakan tentang kehidupan di sekolah. Memiliki banyak teman dan bermain bersama. 

Adam ingin meminta kepada ibunya untuk bersekolah, tapi dia urungkan. Hal seperti itu, akan membuat ibunya sedih. Dia sadar saat ini, kondisinya tidak memungkinkan untuk mengikuti sekolah dan bermain seperti orang lain. Kehidupan di luar rumah seperti mimpi baginya, ia berjanji pada dirinya ingin hidup sehat dan bisa bersekolah seperti oranglain. 

Sama dengan kakaknya, diusianya yang sudah menginjak sepuluh tahun. Ia baru merasakan sekolah hanya satu tahun. Terpaksa dia harus putus sekolah karena kehidupan yang sulit dan statusnya yang tidak diketahui siapa ayahnya membuat dia selalu menjadi bahan hinaan. Beruntung dia sudah bisa membaca dan menulis.

Marisa datang dengan membawa irisan buah- buahan dalam nampan. Aneka buah segar dan manis sangat menggoda. Ia meletakkan buah segar itu di depan anak- anak yang sedang asik bercerita dan tertawa. 

Dia duduk diantara kedua putranya. Martien bisa merasakan alasan mereka hidup bahagia, itu karena kebaikan hati mereka terhadap orang- orang di sekeliling.

Bagaimana tidak, saat ini tamu yang tengah hadir adalah anak- anak dari panti asuhan. Marisa bertemu dengan anak- anak ini di jalan. Dulu, hidup mereka terlonta- lonta. Karena kebaikan keluarga ini mereka di sekolahkan dan sekarang mereka tinggal di yayasan yang di bangun dan di biayai oleh keluarga Dalbert.  Setiap hari Minggu, mereka datang ke kediaman ini untuk mengajak bermain dan  menghibur putra mahkotanya. 

Marisa tersenyum bahagia melihat putra kesayangannya begitu tampak bahagia. Dia bersyukur dikaruniai anak yang begitu baik dan berhati lembut. Martien hanya terdiam memperhatikan anak- anak yang hampir seusianya. Marisa tersenyum, melihat perbedaan karakter dari kedua putranya.

DIa mengusap kedua pucuk kepala kedua anaknya. Ia tak membedakan kasih sayang yang di berikan kepada kedua anaknya. Ia tersenyum hangat menatap kedua anaknya bergantian dan berkata, "Apa kalian ingin sekolah?" tanyanya dengan mencium kedua kening anaknya secara bergantian. 

Sekejap martien merasakan belaian dan kehangatan yang tercurah padanya. Ibunya saja, tidak pernah berlaku sehangat ini. Tapi, di sini dia benar- benar diperlakukan seperti manusia sesungguhnya. 

Adam tampak begitu bersemangat, dia menyikut lengan kakaknya. Seketika membuyarkan lamunannya. "Hey, kak! Apa kau tidak ingin bersekolah?" tanyanya.

"Tentu saja, mau," jawabnya dengan menganggukan kepalanya.

"Kenapa kakak, diam saja!" tanyanya. "Benarkah?" tanyanya dengan terkekeh. Dia memang sangat dingin terhadap orang lain, tapi tidak terhadap adiknya. Saat berbicara dengan adiknya ia selalu mengulas senyum yang tak pernah ia tampakan kepada orang lain. Kecuali kepada adik dan orangtuanya.

Apa kita akan bersekolah bersama mereka?" tanya putra mahkota kesayangan semua orang itu. Ibunya menatap datar, dia bingung harus menjawab apa. Martien juga mempertanyakan tentang hal itu, tapi jika bersekolah di tempat umum dia akan banyak ketinggalan. Dia juga bingung, bagaimana mengejar ketertinggalannya.

"Apa yang kau pikirkan, Nak?" tanyanya pada anak sulungnya.

"Tidak ada, Mom. Martien menjawab dengan tersenyum, padahal dia bingung bagaimana mengejar ketinggalannya.

Adam mengerucutkan bibirnya. Marisa tahu anaknya kini tengah merajuk.

"Sayang …," panggilnya lembut. "Adam dan kakak tidak bisa sekolah dengan mereka!" jelasnya.

"Kenapa?" tannyanya lagi. Tapi anak kecil itu, melihat gurat kesedihan di wajah Momynya. 

Ia memeluk Mamy kesayangannya itu, ia mendongakkan kepalanya menatap sang Momy. "Jangan sedih!" ucapnya. Sang Mamy seketika mengeratkan pelukan anaknya dia mencium dalam pucuk kepala anaknya. "Kalau aku tidak sekolah bersama mereka, lalu aku sekolah dimana?" tanyanya dengan memainkan jarinya.

"Anak kesayangan Mamy," panggilnya dengan suara yang lembut.  "Sekolah dengan kakak di rumah, yah!" jelasnya dengan menjawil kedua pipinya. "Memangnya bisa?" Tanyanya kembali. 

"Tentu saja! Home schooling namanya, banyak yang harus kalian pelajari sejak dini! Sudahlah, ajak temanmu makan! Nanti bunda jelaskan pada kalian, oke!" kedua putranya mengangguk pelan.

Mereka semua berjalan beriringan menuju halaman belakang yang luas dan penuh dengan bunga- bunga   meja panjang yang besar  tengah terpasang di tepi kolam renang, serta kursi- kursi berjajar yang siap menampung puluhan anak- anak kecil ini. 

Beraneka ragam makanan telah tersedia dengan sangat menggiurkan. Beberapa olahan daging tersedia di meja ini. Dengan dihiasi beraneka dessert  dan buah segar siap mereka nikmati. Tidak ketingalan, aneka minuman juice segar tersedia juga di sana. 

Baru tinggal bebrapa hari di sini, Martien benar- benar dibuat kagum dan terkejut melihat kebaikan keluarga Dalbert ini. Ia bisa tersenyum, tertawa, merasakan kehangatan dan arti sebuah keluarga. Baginya, keluarga ini seperti malaikat yang dikirim Tuhan untuknya.

Semua anak- anak sangat antusias melahap semua menu yang tersedia. Tawa renyah menghiasi kebahagiaan mereka saat mereka bercengkrama setelah menikmati hidangan yang telah tersedia. Salah satu anak yang berbadan tiga kali lipat dsri badan Adam masih setia dengan makanannya. Entah, ini piring yang ke berapa. 

Waktu sudah mulai senja, mereka pun berpamitan sebelum itu Adam memberikan sebuah bingkisan yang tengah ia siapkan. Berbagi kebahagian selalu membuat hatinya bahagia, itulah yang ia katakan saat kakaknya bertanya. Tentang alasan adiknya memberikan semua ini.

Disini membuktikan pada Martien yang berasumsi bahwa, orang kaya raya adalah orang yang menjajah kaum lemah dan berlaku seenaknya seperti yang di lakukan ayah kandungnya. Hari ini, di sini dia bisa melihat bahwa masih ada orang yang memiliki kekayaan yang berlimpah, masih peduli dan sangat menyayangi kaum lemah. 

Jika semua orang kaya bisa berlaku demikian. Maka, di dunia ini tidak akan ada yang kelaparan dan tentunya akan mengurangi kemiskinan. Pasti negara itu akan sejahtera. 

Semua tamu telah kembali, kini tinggal mereka bertiga yang tengah berbincang di ruang keluarga. Saat ini, Daddynya tengah sibuk di ruang kerjanya. Banyak hal yang mereka tanyakan tentang sekolahnya dan sang Mamy menjelaskan dengan sangat rinci. Bahwa, mereka tidak akan sekolah seperti anak pada umumnya. 

Mereka harus dipersiapkan selagi dini, agar siap terjun ke dunia bisnis. Pendidikannya akan lebih fokus pada dunia bisnis. Bukan pada pendidikan anak pada umumnya.

TBC