Mentari sudah kembali bertugas menganugrahkan sinar kesuciannya. Sinar keemasan menembus celah-celah kegelapan. Nyanyian burung nyaring terdengar merdu ditemani semilir angin pagi yang membuat dedaunan menari dengan alunan irama kicauan burung- burung. Aroma tanah khas di pagi hari karena tetesan embun menusuk tajam Indra penciuman. Membuat pagi menjadi sangat indah.
Tidak seperti pagi biasanya, di rumah kediaman Dalbert semua nampak sibuk, semua sibuk berpakaian rapi. Hari ini mereka akan mengantarkan putra sulung mereka melanjutkan pendidikannya di USA.
Biasanya jika akhir pekan di pagi hari akan sangat sepi. Tidak untuk hari ini, Adam masih belum memakai pakaiannya, ia nampak murung. Saat ini Martien sudah mendorong kopernya untuk menuruni tangga namun, ia urungkan karena sang adik masih merajuk. Perlahan ia mendekati adik kesayangannya.
"Kenapa, Dek?" tanyanya dengan berjongkok di hadapan Adam yang tengah duduk di tepian ranjang sang kakak.
"Kapan kakak akan pulang?" tanyanya, yang membuat Martin terkekeh.
"Bahkan kakak belum berangkat, kita akan bertemu di setiap akhir semester. Apa kau lupa? Bukankah sebentar lagi kau akan punya banyak teman?" godanya dengan mencubit hidung sang adik.
"Ayo, antar kakak! Nanti kakak terlambat," ajaknya dengan segera beranjak mengambilkan pakaian untuk adiknya.
Kasih sayang martin begitu sangat tulus pada adik angkatnya ini, dia seperti memiliki dua kepribadian. Jika di luar rumah dia menjadi pria yang kejam, dingin dan susah di dekati.
Berbeda jika bersama keluarganya, dia menjadi sosok yang hangat dan menyenagkan. Terutama untuk Adik kesayangannya.
Meski dalam hatinya ia sangat menghawatirkan kesehatan adiknya. Tapi demi kelancaran rencana bales dendamnya pada keluarga sang Ayah kandung membuat dia kembali bersemangat menggali semua ilmu bisnis.
Bahkan, tanpa keluarganya ketahui ia bergabung dalam organisasi- organisasi gelap yang memudahkan dia mencari informasi tantang perusahaan ayah kandungnya.
Ia sudah menyusun rencana, untuk masuk ke keluarga yang telah menghancurkan dia dan ibunya.
Perjalanan pagi hari di akhir pekan sedikit padat, namun mereka bisa sampai di bandara tepat waktu.
Martien tidak pernah mau mengenakan jet pribadi milik keluarganya. Dia beralasan ingin menikmati perjalanannya untuk menggapai cita- citanya.
Keluarga yang menjalin erat rasa kasih sayang ini, nampak jelas terlihat. Meski sibuk dengan kegiatan masing- masing tapi mereka menyempatkan diri untuk mengantarkan putra sulungnya.
Sang nenek yang awalnya tidak menyukai kehadiran Martien, perlahan ia mulai membuka diri. Saat ini pria dingin ini merasa sangat dicintai. Dulu dia hidup menderita, sekarang ia tidak menyangka akan melanjutkan pendidikan tinggi di universitas terbaik di USA.
Islandia adalah kenangan terburuk baginya. Tapi, disana juga dia memiliki kenangan indah bersama ibu kandungnya.
Ia mulai berpamitan pada keluarganya. Saat di depan sang nenek ada rasa canggung, karena selama ini sang nenek jarang sekali menyapanya.
"Cucuku …, panggilan itu, membuat hatinya bergetar, rasa bahagia ia rasakan saat ini. "Ambilah!" Sang nenek memberikan syal pada Martien. "Terimakasih banyak, Nek." Saking terharunya ia mencoba mengerjapkan matanya menahan air bening itu agar tetap pada tempatnya.
"Aku merajutnya dengan tanganku sendiri!" ucapnya dengan nada bicara acuh, namun Martien tahu wanita lanjut usia ini adalah orang yang sangat penyayang.
"Nenek, bolehkah aku minta satu hal?" tanya Anak laki- laki yang tengah bahagia itu.
"Heemmm," hanya deheman yang keluar dari mulutnya.
"Bolehkah aku memeluk nenek sekali saja."
Semua saling bertatapan, dan mereka terkekeh pelan. Mereka semua tahu, bahwa Dalbert, sang suami adalah orang yang sangat pencemburu. Bahkan, anaknya saja tidak boleh memeluknya, hanya Adam yang diijinkan untuk bisa di sentuh atau di peluk istrinya.
"Tidak! Tidak boleh!" Dalbert menatap tajam anak laki- laki yang telah berani berniat menyentuh isterinya.
"Aku ingin merasakan di peluk seorang nenek," jelasnya.
"Bukan urusanku!" Ia keukeuh pada pendiriannya dengan membuang mukanya. Sang istri hanya menghembuskan napas kasarnya. Sedang yang lain hanya terkekeh.
Matien berjalan menjauh, setelah ia berpamitan. Sangat lama ia menciumi adik kesayangannya. Hingga membuat Adam kesal di lihat banyak orang. Namun, tak dapat dipungkiri ia juga merasa bahagia atas perlakuan kakaknya.
Sekitar sepuluh langkah, Martien tiba- tiba menghentikan langkahnya. Ia berlari kembali dan memeluk sang nenek. Tanpa bicara ia kembali berbalik dan menjauh dengan melambaikan tangannya.
Dalbert yang merasa kesal tanpa pikir panjang dia berteriak.
"Martien! Awas kau!" Mukanya tampak murka. Namun, cucunya menjulurkan lidahnya, dengan terus berjalan menjauh.
Semua keluarganya tertawa, mereka tak menyangka Martien yang terkesan cuek dan pendiam berani menentang kakeknya.
"Diam!" teriaknya, seketika semua terdiam.
Hanya perkara ulah Martien membuat orang terkaya di Inggris ini, seperti kehilangan wibawanya. Semua mata menatapnya karena terus menggerutu di sepanjang jalan dengan tak lepas meletakan tangannya di pinggang sang istri.
Sedang Adam sibuk berdebat dengan pamannya, perihal gundam yang dibelikan untuknya tidak sesuai keinginannya. Mereka berencana akan mampir ke pusat mainan untuk membeli edisi yang berbeda. Dengan sangat terpaksa, Daniel menyetujui keinginan keponakanya.
***
Sampai di rumah, hampir menjelang senja. Daniel terus menggerutu, dengan meletakan dua paperbag di tangannya di atas meja kaca yang luas. Saat itu semua sedang duduk di ruang keluarga membicarakan kepergian Adam besok pagi ke Adensor.
"Lihatlah! Anakmu malakukan pemerasan padaku!" Ia berceloteh, anak laki - laki itu seperti tanpa dosa, ia terus memainkan Gundam terbaru miliknya.
Mereka acuh tak acuh, sedang sahabatnya asik bermain dengan anaknya.
"Hey, kalian mengabaikanku yang lagi marah, hah?!" Dokter tampan itu terus memaki.
"Marah, yah marah saja. Apa urusannya dengan kami," timpal Marisa dengan mangambil majalah fashion yang tergeletak di meja ia tampak acuh tak peduli.
"Sudah aku mau pulang! Berbicara dengan kalian sama saja!" Ia memutar badannya dengan muka yang merah.
"Jangan lupa besok pagi kita berangkat!" Aldrict berteriak, mengingatkan sahabatnya.
"Bodo amat!" ucapnya masa bodo dengan berlalu.
Baru saja, Daniel meninggalkan kediamannya. Mereka bertiga tertawa terpingkal, melihat tingkah Dokter yang mudah marah.
"Kau nakal sekali, Nak." Aldrict mencubit hidung anaknya gemas, sedang Marisa masih sibuk dengan majalahnya.
**
Pagi mulai menyapa dengan diiringi nyanyian burung, gelap telah berganti terang. Udara yang sendu, Sesendu pemilik rumah ini.
"Apa kita akan menggunakan Heli?" tanya Dalbert.
"Iyah, Ide yang bagus. Sebentar aku akan meminta Ben menyiapkan semuanya." timpal Aldrict.
"Tidak, tidak! Apaan aku tidak setuju! Kita menggunakan mobil travel yang muat untuk kita semua!" ucap Daniel.
"Apa kau gila! Menyuruh kami menggunakan travel! Sekalian saja, kau ajak kami naik kereta umum!" timpal Aldrict dengan nada kesal.
"Ide yang bagus! Sebaiknya kita naik kereta! Kau belum pernah naik kereta kan, Dam?" tanyanya pada Anak laki- laki yang menjadi kelemahan sahabatnya.
"Tidak! Baikah kita naik travel, kau ini menyusahkan saja!" Marisa menggerutu, ia tak mau sampai anak kesayangannya menginkan naik kereta.
"Kau ganti pakaianmu, Marisa! Kau juga Martien! Itu desa kecil, jangan tunjukan kebangsawanan kalian di sana! Adam akan aku ajarkan caranya hidup sederhana, aku hanya ingin tahu siapakah yang tulus menjadi teman anakmu!"
Seketika semua mangerutkan dahi, namun mereka sadar apa yang di katakan Daniel adalah suatu kenenaran.
Selang tiga puluh menit, semua sudah siap. Tidak nampak kemewahan dari pakaian mereka. Mereka berjalan, beriringan meninggalkan kediaman mereka. Semua terkaget, melihat mobil yang muat kapasitas banyak orang itu sudah terparkir sempurna di halaman rumahnya. Ternyata, benar sahabatnya ini sudah mempersiapkan semuanya.
***
Perjalanan yang mereka tempuh cukup panjang, hingga membutuhkan waktu tiga jam lebih, untuk sampai di desa yang sangat menyejukkan ini. Nampak, sejuk di pandang.
Sepanjang jalan Adam menatap di balik jendela mobil yang ia buka, baru kali ini, dia bisa merasakan keindahan yang begitu sangat menyejukkan penglihatannya.
Turun dari mobil ia disuguhi pemandangan yang begitu memanjakan. Gemericik air sungai mengalir bening membuat semua yang melihatnya tertarik untuk mencoba kesejukannya, pepohonan yang tumbuh hijau, berwarna keemasan diterpa sinar matahari.
Lahan yang luas, dihiasi rerumputan yang hijau, bak seperti negeri dongeng. Jalanan yang menanjak dan menurun, dengan balutan rumput hijau. bersih, sejuk dan memanjakan panca Indra.
Adam tak henti menghirup udara yang begitu menyejukkan, jauh dari asap kendaraan. Langkahnya berjalan mengikuti sang paman menuju tempat tinggal yang akan mereka singgahi.
Rumah khas bergaya Eropa klasik, Ia melirik rumah yang tak jauh dari kediamannya, hampir semua rumah memiliki desain yang berbeda. Setiap rumah memiliki cerobong asap yang bervariasi. Ia benar- benar di buat kagum.
Tepat di hadapan rumah yang sederhana, langkahnya terhenti saat ia mendengar suara yang menggelegar memecah keheningan.
TBC