Ia akan pergi menghampiri asal suara yang menusuk Indra pendengarannya. Namun, langkahnya terhenti saat ada seorang pria yang menghalangi jalannya.
Pria paruh baya itu menggelengkan kepalanya, Daniel yang dari dalam tidak mengetahui apa- apa pun menarik tangan keponakannya untuk masuk ke dalam kediamannya. Ia menunjukan kamar utama untuk keponakan kesayangannya.
Menaiki tangga dengan terus berceloteh, dan menarik tangan keponakannya dengan sangat tergesa, Sampai di kamar utama, ia menunjukan pemandangan yang sangat indah di balik jendela. Pemandangan yang belum pernah Adam temui.
Nampak sungai yang mengalir dengan dihiasi dedaunan yang berwarna keemasan, karena diselimut sinar mentari yang sudah mulai meninggi. Hamparan ladang yang luas berwarna hijau, sungguh desa yang indah, benar- benar seperti negeri dongeng. Nampak kebahagiaan terlukis dari wajah anak yang selalu berwajah pucat ini.
Ia memicingkan pandanganya, menatap jauh disana, nampak domba- domba yang tengah asik menikmati santapan makan siangnya. Bukan, dia tidak fokus akan domba- domba itu. Melainkan seorang gadis seumurannya yang memiliki kulit tidak lebih putih darinya. Rambutnya lurus, berwarna pirang tergerai indah menari- nari di mainkan oleh nakalnya angin di siang hari.
Penampilan yang lusuh, tidak mengurangi kecantikannya sedikitpun. Mata bernetra biru, bertubuh tinggi semampai dan hidung yang mancung menghiasi wajah cantiknya. Nampak jelas Adam melihat setiap pergerakan gadis itu memberi makan kambing- kambingnya.
Adam mengerutkan dahi, bagaimana bisa gadis seumuran dengannya rela menggembala kambing saat mentari sudah mulai meninggi. Baru kali ini dia merasa ada ketertarikan pada seorang gadis.
Daniel yang sedang menghirup udara segar secara dalam dan beberapa kali ia menghembuskan nafasnya menikmati kesejukan yang masuk ke rongga pernafasannya. Ia melihat apa yang menjadi fokus pria kecil kesayangannya ini.
Matanya terarah pada domba- domba sehinnga ia berpikir akan satu hal, "Apa kau menyukai domba? Kau mau menggembala domba?" tanyanya dengan meregangkan tangannya.
Adam menghembuskan napas kasarnya.
"Susah memang, kalau berbicara dengan bujang lapuk!" timpalnya seraya pergi meninggalkan pamanya yang masih nampak keheranan.
"Kenapa mereka selalu mengataiku bujang lapuk. Meski begitu, aku membujang karena aku adalah pria yang terhormat, bukan tidak laku." gerutunya dengan tetap menatap domba- domba, ia melihat sesuatu dan ia pun tersenyum.
"Jadi itu yang membuat keponakan kesayanganku, tidak mengalihkan pandangannya. Dasar anak jaman sekarang, tahu saja mana domba yang cantik dan domba yang berbulu." ucapnya dengan menggelengkan kepalanya.
Sampai di meja makan. Karena saat ini semua tengah duduk untuk menikmati makanan yang telah disediakan pelayan di rumah ini. Daniel datang dengan tersenyum menatap keponakannya.
"Wah, domba berambut pirang itu sangat cantik yah, Dam?" godanya.
"Uhuk …"
Adam terbatuk, sehingga membuat orangtuanya sibuk memberikan air minum pada anak kesayangannya itu.
"Hati- hati sayang, pelan- pelan kalau makan." Marisa berucap dengan menepuk punggung anaknya. Daniel duduk tepat dihadapan keponakannya, ia tersenyum mengejek. Sedang Adam sudah menatap kesal pria dihadapannya ini.
"Domba di sini cantik yah, Dam?" Ia kembali menggoda keponakanya. Seketika wajah pria yang baru beranjak remaja itu tampak memerah, menahan malu.
"Astaga! Cepatlah kau menikah, Daniel! Kau sudah tak waras hingga kau jatuh cinta pada domba!" ucap sahabatnya dengan menatap iba.
"Benar sekali! Tidak laku dengan perempuan hingga kau mau menikahi domba, kah?" timpal Marisa dengan menopang kedua tangannya di dagu dengan menatap Daniel.
"Apa maksud kalian?" Daniel tampak kesal dengan kedua orang dihadapannya ini, berniat menggoda keponakannya kenapa dia yang kena imbasnya.
"Kau bilang domba di sini cantik, itu artinya kau sudah mulai menyukai domba, sadarlah! Secantik- cantinya domba masih lebih baik banci karena dia tak berekor." Aldrict menatap wajah sahabatnya, dengan menahan tawanya.
"Hey, hey! Kenapa jadi kalian yang menggodaku! Lagipula, mana Sudi aku dengan banci, membayangkannya saja aku sudah ngeri, kalian tidak tahu saja. Banyak wanita yang antri, tapi aku terlalu berharga untuk mereka!" ucapnya
menyombongkan diri, sebenarnya, anakmu ya-" ucapanya terpotong karena Adam menginjak kakinya.
"Aduh…"
"Sakit! Adam!" Dokter yang di cap bujangan lapuk itu, meringis kesakitan.
"Maaf, Om tidak sengaja! Nanti aku antar membeli perangkat Game terbaik di sini!" bujuknya dengan mengedipkan sebelah matanya.
Daniel paham, ia terkekeh pelan. Ia tahu disini tidak akan ada hal semacam itu. Tapi, ini bisa menjadi senjata meredam kenakalan keponakannya.
Menjelang sore mereka berjalan menyusuri Jalanan melihat sekitar, sebelum akhirnya pulang ke London, mereka ingin menikmati pemandangan di desa yang seperti negeri dongeng ini. Marisa dan Aldrict bergandengan tangan berjalan di depan kedua pria yang saling bersikutan.
Meski sang paman terus menggangunya, ia tetap fokus pada gadis yang tangah menggembala kambing- kambing. Saat ini dia tengah menggiring kambing- kambing entah akan dibawa kemana.
"Sana! Kalau suka ya dekati, jangan seperti banci!" goda pamanya dengan terkekeh.
Sedang yang di hadapan mereka masih belum menyadari tingkah anak kesayangannya, mereka sibuk memandang kanan dan kiri, dengan terus bergandengan tangan seperti pengantin baru.
"Ayo Sanah!" Daniel kembali menyikut tangan keponakannya.
"Bisa diam gak sih! Kenapa berisik sekali, seperti bebek sajah!" Adam nampak kesal, karena pamanya yang terus menggodanya.
"Itu namanya jatuh cinta pada pandangan pertama, kau tahu indah sekali," ucapnya dengan terkekeh.
"Apa kau pernah merasakannya?" tanya Adam dengan memelankan suaranya.
"Belom," jawabnya polos.
"Astaga! Aku lupa kau kan bujang lapuk!" Adam tertawa terbahak, ia lupa kalau ada orangtuanya.
"Ada apa sih? Kalian berisik sekali!" Marisa menatap kedua pria di belakangnya, tanpa membalikan badanya.
"Adam dari tadi terus melihat kambing bule!" cicitnya dengan terkekeh.
"Paman, kalo jatuh cinta dengan kambing, tak perlu malu- malu, bukankah kambing itu cinta pertamamu?" godanya. Dengan terkekeh, baru saja Daniel akan menimpali, ia urungkan karena ajakan istri dari sahabatnya.
"Sudah, sudah! Ayo kita ke sana!" Marisa menunjuk ladang yang luas di tepi sungai.
Duduk dengan beralaskan rumput hijau, menikmati makanan yang mereka bawa, seperti sebuah kamping dadakan.
Marisa terus mengelus pucuk kepala anaknya penuh kasih sayang, ia menatap sendu. Baru kali ini, dia akan tinggal jauh dengan anak kesayangannya.
"Nak, jaga kesehatan. Maaf, Mamy tidak bisa mendampingimu," ucapnya dengan sesekali mengecup pucuk kepala anaknya.
"Jangan khawatir, kan ada grandma, dan grandpa," timpalnya mencoba menenangkan ibunya.
"Jaga anakku baik- baik, Dan!" Aldrict menepuk punggung sahabatnya.
"Aku akan menjaganya dengan nyawaku sendiri, kau tenang saja!"
Lama mereka berada disana, saat ini Marisa dan anak kesayangannya tengah bermain air sungai. Tawa renyah menghiasi mereka, nampak keakraban dari ibu dan anak ini. Sedang kedua pria yang duduk dengan memeluk lutut itu, mereka nampak berbicara dengan serius.
Waktu bergulir begitu cepat, saking asyiknya mereka tidak menyadari hari sudah hampir gelap. Aldrict mengajak untuk kembali. Karena dia harus segera berada di London malam ini.
Sampai di kediaman Adam saat ini, setelah makan malam Marisa dan suaminya berpamitan untuk pulang. Tidak lagi menggunakan travel. Karna sang supir tengah menunggunya. Nampak guest kesedihan dari diri Marisa, namun sang suami melarangnya untuk menangis di hadapan anaknya.
Tiga jam lebih mereka akhirnya sampai di kediaman rumah utama di London. Saat membuka daun pintu yang berdiri kokoh, Marisa tampak sedih.
Biasanya saat kembali ke rumah akan ada dua malaikat yang menyambutnya. Tawa renyah mereka dan belum lama dia juga merindukan papa mertuanya, yang selalu ribut karena rasa cemburu.
Marisa menatap dalam suaminya, tak terasa butir- butir suci itu mengalir.
"Sayang, tidak ada anak- anak aku merasa kesepian. Bagaimana aku menjalani hidupku saat kau bekerja.
"Kalau tidak ada pertemuan yang mendesak, aku akan bekerja di rumah bersama sayang," ucapannya dengan mengulum senyuman.
"Tetap saja, aku kesepian tidak ada anak-anak." Marisa merajuk.
"Kalau begitu, kita buat anak lebih banyak. Selagi sepi, kita bisa melakukannya di manapun, tanpa ada yang menggangu," godanya dengan mencubit manja pinggang istriny.
"Ish kamu, sudah tua juga!" Marisa nampak menahan malu.
Aldrik menggendong istrinya, dan sedikit berlari membawa istri tercintanya menaiki tangga menuju kamarnya,.seraya berkata,
"Kita akan membuat adik untuk Adam."
TBC