Lenguhan sang istri, membuat Aldrict semakin bergairah. Ia sudah tak peduli dengan keringat yang sudah membasahi seluruh tubuhnya.
Aktifitas yang melelahkan namun tak bisa membuat mereka berhenti. Tatapan istrinya sudah tampak melemah, bagaimana tidak sang suami terus dan terus memberikan kebahagiaan padanya malam ini, hingga ia kelelahan.
Deru nafas keduanya, membuat udara ruangan terasa panas, secara mendadak. Hembusan nafas sang suami, menerpa wajahnya, membuat sang empunya merinding dibuatnya.
Sudah sangat lama, mereka baru memiliki waktu sepanjang ini untuk menikmati malam yang indah.
Sentuhan lembut sang suami, membuatnya seperti terbang dan tidur di atas bunga- bunga yang bermekaran, melayang jauh menikmati surga dunia yang membuatnya terus terbuai.
"Aku sudah lelah," suara Marisa memecah keheningan.
"Sedikit lagi, sayang," ucapnya dengan terus mencumbu bibir wanitanya penuh kehangatan dan melanjutkan aktivitas melelahkan yang sebentar lagi mencapai puncaknya, entah untuk yang kesekian kalinya.
Marisa sudah pasrah, entah kesekian kali suaminya berkata, sebentar lagi. Hingga membuat ia tertidur, di bawah suaminya.
Nampak senyuman bangga dari wajah Aldrict. Dengan perlahan ia menggeser tubuhnya. Menyelimuti tubuh polos istrinya. Mengecup seluruh wajah istrinya tak henti. Tangan kekarnya, memeluk sang istri dengan berbisik di telinganya.
"Aku sangat mencintaimu, Marisa. Aku tidak akan membiarkan kau menangis, aku berjanji!" Ia mengelus rambut istrinya, hingga membuat Marisa menggerakkan kepalanya. Namun, Aldrict memberinya kenyamanan hingga membuat istrinya kembali tertidur dengan nyenyak.
___________________**__________________
Rotherham Secondary School District,
Sekolah menengah grade 4 di District, Edensor adalah tempat wisata dan desa buatan. Adam tinggal di distrik, bersama para peternak di daerah ini.
Pagi telah menyapa, berganti malam. Saat ini, Adam sudah siap dengan seragamnya. Rambut yang pirang disisir rapi, menyempurnakan ketampanan wajahnya.
Daniel siap dengan kemudinya, akan mengantarkan keponakan kesayangannya. Saat ini, ia juga ingin mengabdikan dirinya di sebuah klinik kesehatan di desa ini. Selagi menunggu keponakannya bersekolah.
Adam berlari akan menghampiri pamannya, teriakan suara neneknya menghentikan langkahnya.
"Adam, sayang... Makan siang-Mu!" Neneknya keluar dari dapur, Adam menepuk dahinya pelan. Ingin rasanya ia tak membawa kotak makan itu. Tapi, itu tidak mungkin. Ia merasa perutnya sudah penuh. Bukankah, mereka juga sudah membayar pihak sekolah untuk menyiapkan makan siang untuknya. Lalu ini apa lagi, memangnya ia memiliki perut seperti karung. Ia terus menggerutu namun tubuhnya berbalik dan menampakan senyuman. Ia tak ingin melukai perasaan neneknya, dengan berat hati ia mengambil kotak makan itu.
"Terimakasih, grandmam." Senyuman terlukis indah dari wajah anak beranjak remaja itu.
"Ia sayang, apa obatnya sudah kau masukan dalam tasmu, cucuku?" tanyanya dengan mengelus pucuk kepala cucu laki- lakinya.
"Sudah dong, grandmam, Adam permisi!" Ia hendak melangkahkan kakinya.
"Sepertinya ada yang lupa?" Neneknya mengetuk- ngetuk kedua pipinya.
"Oh, Astaga, hampir lupa!" Adam mencium kedua pipi neneknya, seketika senyuman indah menghiasi wanita lanjut usia itu meski nampak beberapa kerutan di wajah putihnya. Adam berbalik dan berjalan tergesa menghampiri pamannya.
"Hati- hati! Jangan lupa minum obatnya!" Teriakan sang nenek masih terdengar dari dalam mobil, ia melambaikan tangannya, begitu pun Adam yang sudah berada di dalam mobil.
Adam menatap kesal pria disebelahnya yang terus terkekeh menertawakannya. Ia memukul tangan pamannya dengan tas ransel yang ia bawa.
. "Sakit, Dam!" protesnya.
"Bodoh amat! paman nyebelin!"
"Wah, bagaimana kalau temanmu tahu ternyata kau anak manja," godanya dengan tangan tetap memegang kemudi.
"Diamlah, atau ku robek mulutmu, paman!" sentaknya.
"Siapa yang mengajarkan kau bicara tidak sopan!" Nada bicaranya naik satu oktap merasa heran dengan cara bicara Adam.
"Aku sering melihat tontonan Mamy!" jelasnya.
"Putra mahkota tidak di perkenankan berbicara tidak sopan!" tukasnya.
"Apaan sih, Paman nyebelin! Pokonya, aku mau kaya anak- anak pada umumnya," ucapnya dengan membuang muka.
"Ish, ish. Begitu saja marah!" Adam tak bergeming, ia sudah muak dengan ocehan pamannya. Ia menatap luar jendela menikmati indahnya perjalanan.
Sampai di gedung sekolah, Adam terpaku. Baru kali ini, ia merasakan dan melihat banyak teman seusianya. Ia tak pernah menyangka akan mempunyai kesempatan bersekolah di tempat umum.
Tidak Dapat dipungkiri, pamannya yang sangat berjasa dalam hal ini.
Memasuki gerbang ia berjalan mengikuti langkah pamannya. Hari ini adalah hari pertama ia masuk sekolah. Masih sangat pagi, siswa yang lain masih beberapa yang datang.
"Kau tunggu disini, paman akan menemui pihak sekolah," pintanya dengan meminta keponakannya duduk di kursi panjang.
Sangat asing, karena selama ini dia bersekolah hanya di kediamannya.
Selang berapa waktu, pamannya datang bersama seorang wali kelasnya. Saat di dalam ruangan Daniel menitipkan keponakannya, menceritakan tantang keadaan kesehatannya.
"Adam," Pria yang baru beranjak remaja itu mengangguk pelan.
"Kenalkan, saya Frans. Wali kelasmu," sapanya dengan mengulurkan tangannya.
"Dengan senyum ramah Adam menjabat tangan guru yang akan mengajar sekaligus jadi wali kelasnya.
Suara riuh tampak dari lapangan sekolah, banyak anak- anak yang sudah berkumpul berbaris rapi. Adam mengerutkan dahinya, Daniel paham atas tatapannya.
"Hari ini Masa Orientasi Siswa, Kau mau mengikutinya?" tanyanya lembut.
"Tentu! Tapi, aku ingin ke toilet dimana toiletnya?" tanyanya.
Frans menunjukan arah toiletnya. Sebelum Adam pergi berlalu. Daniel pamit, banyak yang harus dia urus. Tinggal di daerah pelosok harus mempersiapkan semua yang dibutuhkan untuk menunjang kesehatan Adam.
Toilet yang berada di ujung tembok belakang sekolah, ia memasuki salah satu bilik kamar mandi yang tidak terlalu besar.
Saat mencuci tangannya di salah satu wastafel. Ia dikagetkan dengan sebuah suara. Ia menyambar tas rangsel yang ia simpan didekatnya.
"Bruukkkk …"
Suaranya lebih keras dari yang sebelumnya, ia berjalan perlahan.Tidak ada siapa- siapa di sini, sepi.
Tapi, ia yakin mendengar suara yang mengganggunya. Ia berjalan mendekati tembok tinggi pembatas.
Ia melihat seorang gadis yang tengah berjongkok, dengan membersihkan lututnya, yang sedikit terluka. Gadis yang memakai seragam sama seperti dirinya. Rok tartan di atasi lutut, kemeja putih membalut tubuhnya yang dilengkapi jas dan dasi sama dengannya. Stoking membalut kaki jenjangnya. Adam berpikir, memang seragam sekolah ini, tapi kenapa gadis ini tidak masuk dari arah depan.
Perlahan ia menghampiri, gadis yang tengah membelakanginya saat ini. Gadis itu memungut tasnya yang jatuh atau sepertinya dia lempar ke tanah.
"Kamu siapa?" tanya Adam memberanikan diri, ia sudah tepat berada di belakang gadis itu.
"Maaf, kakak. Saya datang terlambat," ucapnya tanpa membalikan badannya, ia masih sibuk membersihkan seragamnya yang kotor.
"Kakak?" tanyanya heran, "Bahkan aku baru masuk sekolah ini, kenapa kau memanggilku kakak?" tanyanya penuh keheranan. Baru kali ini, Adam masuk sekolah umum, ia masih tampak polos tentang kehidupan sekolah.
"Astaga! Lalu siapa kau?" tanyanya dengan membalikkan badannya.
"Kau murid baru juga?" tanyanya acuh, ia akan berlalu meninggalkan anak lelaki yang masih terbengong melihat gadis di hadapannya.
"Kau …" Adam menujuk gadis di hadapanya dengan jarinya.
Gadis itu mengerutkan dahinya, bahkan ia tak mengenal pria di hadapannya.
"Singkirkan tanganmu, sungguh tidak sopan!" Gadis itu dengan kasar menepis telunjuk pria di hadapannya. Namun Adam masih tampak bengong sambil tersenyum sendiri.
"Maaf, aku berlaku tidak sopan," sesalnya.
"Santai sih, aku tak peduli!" ucapnya hendak berlalu.
"Tunggu!"
"Apalagi!" Gadis itu tampak geram. Namun, Adam hanya terdiam.
"Sepertinya dia gila!" ucapnya dengan berlalu.
"Siapa di sana!" Suara seorang menggelegar.