Adis disaat yang sama diam membeku. Ia mungkin tahu pada akhirnya kita membutuhkan koordinasi face-to-face di lapangan. Tapi disaat yang bersamaan tidak ingin orang-orang ini tahu saat seseorang yang bukan anggota grup perlawanan, menyamar menjadi ketua mereka.
Tangannya mencubit pinggulku. Aku balas mencolek, dengan harapan ia melihat ke arahku. Mata ini menatapnya dalam-dalam lewat dua lubang mata sprei, aku langsung mengangguk. Ia menatapku lama, mungkin bertanya-tanya atas keputusanku gila ini.
"Mohon perhatian!" serunya lantang. Perkumpulan di depanku kembali diam. "Untuk mempermudah pelaksanaan operasi ini, maka permohonan saudara Irman dikabulkan. Untuk saat ini saja, kita bebas untuk membuka jubah."
Semuanya bersorak, seolah ini kemenangan pertama mereka sebelum peperangan yang sebenarnya. Mata Adis menatapku dengan tatapan 'Semoga setelah ini, semuanya berjalan lancar. Karena aku sama sekali tidak tahu apa yang baru saja kau pikirkan membiarkan hasil seperti ini terjadi.'