Chereads / An Empty World (END) / Chapter 54 - 54-Their Memories

Chapter 54 - 54-Their Memories

"Jadi, nama asli kalian siapa?" Arisa bertanya pada dua gadis yang duduk di hadapannya: Fadilah dan Riva.

Mereka bertiga sedang duduk di bangku depan gedung lab, di sebuah taman kecil, sembari menunggu antrian pengembalian ingatan.

"Umur kalian 18 beneran, kan? Nggak berubah..." ujar Arisa lagi.

Riva mengangguk. "Umur kita emang 18, Kak. Namaku Aihizha Khuzi, kalau nggak salah. Namanya susah amat. Padahal Riva lebih enak."

"Riva nama mamakmu." Fadilah membenarkan.

"Biarin. Namamu sendiri emang inget?" tanya Riva.

Fadillah nyengir. "Namaku siapa, ya? Lupa. Ariana Grande mungkin."

"Iyuh, Lucinta Luna kali."

"Huek, si Mas Fatah."

Arisa tertawa, geleng-geleng kepala melihat obrolan dua manusia manusia di depannya.

Ini sudah sore. Beberapa orang sudah dikembalikan ingatan aslinya. Tinggal Arisa, Fadilah, Riva, dan beberapa anak lain. Susan dan Merapi ada di dalam gedung sana, sedang diproses. Setelahnya giliran Arisa, tapi ia malah kelayapan dulu kemana-mana, mengobrol dengan Fadilah dan Riva.

Sebenarnya Arisa tidak ingin dikembalikan ingatannya hari ini.

"Nama asli Kak Red siapa tadi? Arisa? Nggak jauh beda sama nama Arina. Tapi enaknya dipanggil Kak Red aja deh." Fadilah berkata.

Arisa manggut-manggut. "Kalian juga enaknya dipanggil Fadilah sama Riva. Nggak ribet," ujarnya, sembari menatap orang yang sibuk keluar masuk gedung lab karena berbagai macam hal.

Keadaan hening sejenak.

"Nggak nyangka bakal kayak gini," ucap Riva.

Arisa menoleh ke arah gadis itu, tersenyum getir. Fadilah Riva sempat bercerita tadi. Setelah dirinya diculik Arival, keadaan di basecamp jadi tidak jelas. Biru menghilang, kemudian Susan dan Merapi. Lalu, saat sore, mereka tiba-tiba bangun di ruangan putih dengan banyak alat terpasang di tubuh. Bingung karena ada banyak ilmuwan berjas putih mengelilingi. Lalu, bertahap, kebenaran tentang diri mereka datang. Ingatan palsu menyebalkan.

Hei, Arisa juga tidak menyangka. Terlalu banyak kebenaran yang datang. Hal yang tidak diduga sama sekali.

"Astaga, Kim Taehyung! Mataku nggak salah lihat kan?!" Fadilah tiba-tiba berdiri, menunjuk seorang berjas putih yang keluar dari pintu gedung lab.

Arisa menoleh ke arah yang ditunjuk Fadilah. Terlihat V membenarkan letak kacamata, berdiri sembari membawa kertas di tangan. Tampak imut seperti biasa. Dasar, baby face!

"Ya ampun. Iya, beneran Kim Taehyung! Dia belum mati?" Riva ikut histeris.

Arisa terkekeh, geleng-geleng kepala. Orang tua Fadilah dan Riva sepertinya penggemar BTS juga dulunya. Ekspresi mereka berdua mengingatkan Arisa pada teman-teman ibunya yang juga maniak, berteriak histeris hanya karena melihat bias di layar handphone.

"V, sini deh! Ada fans!"

V menoleh, melangkah mendekat.

"Ini Kim Taehyung! Nggak salah lagi, Riv!" Fadilah memegang bahu V tak percaya, mengguncangnya.

"Butuh kamera. Serius, kita harus foto!" Riva berucap nyaris berteriak.

V memasang wajah ngeri, mundur menjauh. "Kalian berdua ngapain sih?" tanyanya tidak mengerti, risih karena tubuhnya diguncang sedari tadi.

Arisa tertawa melihat ekspresi pemuda di depannya. Fadilah dan Riva pasti teman V juga, mengingat mereka seumuran. Dan bisa bayangkan jika awalnya mereka biasa-biasa saja tiba-tiba berubah jadi tergila-gila? Horror.

"Yaudah, aku pergi dulu, V. Tadi keluar nyariin aku, kan? Susan Merapi udah keluar, kan? Bye... Ini giliranku. Atasin mereka berdua, ya. Sekali-kali jadi Kim Taehyung beneran." Arisa masih tertawa, pergi meninggalkan tiga manusia di belakangnya.

Arisa memasuki gedung lab, berjalan menuju lorong tempat ruangan pengembalian ingatan berada. Susan, Merapi, dan Sara sudah berdiri di depan ruangan sana, seolah sedang menunggunya—atau memang menunggunya. Dan pemandangan yang membuat Arisa mengernyitkan dahi, seorang Merapi dengan santainya merangkul Susan di sebelahnya.

Emm, bukan. Sebenarnya bukan itu yang membuat Arisa heran. Ia hanya tidak mengerti mengapa Susan membiarkan Merapi merangkulnya. Sejak kapan Susan mau dirangkul pemuda semacam Merapi?

"Merapi, Susan, kalian udah nggak inget dunia kosong?" Arisa bertanya ketika sudah berdiri di hadapan mereka berdua, mengetes.

"Ngaco, kan? Sejak kapan Elang Merbabu ganti jadi Elang Merapi?" Merapi berucap tidak terima.

Tamat sudah. Teman-teman seperjuangan Arisa saat di dunia kosong tidak lagi mengingat apapun.

"Sejak kapan di sini? Dicariin ke mana-mana nggak ketemu." Arival yang baru muncul berucap.

"Kamu kenapa sih, Sa? Keliatan aneh. Tadi ngomong apa? Dunua kosong?" Susan kali ini yang bersuara. "Kamu nggak kenapa-napa kan setelah diambil kekebalannya?" ujarnya lagi.

Fix. Susan dan Merapi masih belum tahu apa yang terjadi.

"Nggak ngerti juga, Yank. Arisa kepentok jidatnya deh," ucap Merapi.

Arisa melotot. Ia membuka mulut tak percaya, hampir tersedak. Sebentar, Merapi bilang apa tadi? Yank? Sayang? Pada Susan?

"Ka-kalian..."

Susan dan Merapi mengernyitkan dahi, tambah menatap tidak mengerti.

"Kita kenapa?" Susan bertanya, membuat Arisa menelan saliva susah payah.

Astaga, jangan bilang.

"Biasa aja dong kagetnya." Arival merangkul pundak Arisa yang masih terperangah. "Iya, mereka udah nikah. Sebulan yang lalu. Pengantin baru."

Arisa ternganga. Bagaimana bisa?

"Lebih baik nggak bilang, kan?" Sarah tiba-tiba berucap. "Nanti mereka ilfeel sendiri malahan," katanya.

Arisa masih menatap tak percaya,m meskipun ucapan Sarah barusan mau masuk akal. Lebih baik tidak memberitahu daripada membuat ilfeel banyak pihak.

"Arisa, ternyata udah di sini? Aku cariin ke mana-mana tadi." Seseorang berucap.

Arisa menoleh ke belakang, berkedip melihat sosok Biru yang berjalan mendekat sembari melempar senyum ke arahnya.

Arival menyeringai lucu, berucap pelan ke Arisa, "Jangan mikir aneh-aneh. Kamu sama Biru belum nikah."

Arisa berdecak sebal, menyikut Arival di sebelahnya. Dia tidak memikirkan apa pun. Kenapa kakaknya itu menyebalkan sekali, sih?

"Arisa, sekarang giliran kamu. Ibu udah nunggu di dalam sejak tadi." Sarah mengingatkan.

Arisa terdiam. Ia menggeleng pelan.

"Besok pagi. Please. Aku mau selesaiin sesuatu."