Langit malam ini cerah. Tidak ada awan yang nampak. Bulan sabit dan bintang-bintang menggantung di atas langit, berkemerlap indah, terlihat seperti gliter emas yang ditaburkan di sebuah kanvas hitam.
Arisa berjalan keluar gedung lab, bergidik ketika hawa dingin perbukitan menyergap. Padahal ini masih pukul tujuh. Belum terlalu malam, tapi udaranya sudah seperti lewat tengah malam. Udara di tempat tinggi selalu saja begitu.
"Mau pulang?" Biru tiba-tiba muncul di sebelah Arisa, bertanya.
Arisa mengangguk. Ia memang akan pulang. Ia harus melembur untuk menyelesaikan proyeknya sebelum fajar menyingsing esok hari.
Lagi pula, semua orang yang Arisa kenal sudah dikembalikan ingatannya. Hanya sisa beberapa yang tak terlalu dekat dengannya saat di basecamp. Fadilah, Riva, Nabila, Ziza, Lulu, Ali, dan Teguh sudah. Deretan nama yang masih ia ingat—meskipun bukan nama asli. Mereka masih orang yang menyenangkan di ingatan yang berbeda.
Dan ya, berarti Arisa akan jadi satu-satunya orang dengan ingatan yang berbeda di dunia ini. Merasa terakhir tidur di tahun 2028, tetapi ternyata bangun tidur di tahun 2062. Menakjubkan. Tiga puluh empat tahun jauh terentang. Seolah seperti manusia purba... tapi hanya otaknya.
"Yaudah, ayo pulang bareng," tawar Biru.
Arisa tersenyum lebar. "Oke, ayo! Aku lupa kalau rumah kita satu kompleks, Blue."
Biru terkekeh.
Mereka berdua berjalan bersisian keluar gedung lab, menuju komplek perumahan terdekat yang hanya berjarak puluhan meter. Keadaan luar sepi. Para warga benteng pastinya sudah beristirahat, lelah setelah seharian melakukan pembersihan di luar benteng. Lebih-lebih seperempat dari jumlah personil yang merupakan para ilmuwan tidak ikut karena mengurusi proses pengembalian ingatan.
Biru dan Arival sendiri masih membantu membersihkan, tetapi izin pukul empat untuk menemani teman-temannya yang akan melakukan proses pengembalian ingatan. Terkecuali Arisa yang akhirnya meminta uluran waktu.
Dasar anak sultan. Beruntung ibunya memang ilmuwan terkenal.
"Mau begadang, ya?" Biru tiba-tiba bertanya. "Udah sampai mana ngetiknya?"
Arisa menoleh, mengangkat kedua alis. Kakinya tidak sengaja menendang kerikil saat berjalan, membuat bunyi klontang saat kerikil itu mengenai tong sampah. "Kamu tahu itu?" tanyanya.
Biru mengangguk. "Jurnal kan? Atau novel true story? Ibu yang cerita soalnya."
Arisa ber-oh ria, mengangguk mengerti. Akhir-akhir ini Biru memang memanggil Ibunya ibu, bukan Bibi Arin seperti sebelumnya. Kekeluargaan warga benteng memang se-erat itu. Setiap sudutnya pasti saling mengenal, bahkan sudah dianggap saudara sendiri. Dua puluh tahun bermukim di tempat sama, hal itu tentu saja tidak diragukan.
"Novel true story, sudut pandang orang ketiga," jelas Arisa. "Syukur Ibu emang suka nulis sejak SMP. Jadi nggak susah-susah amat nyelesaiin itu selama tiga hari," lanjutnya. Ia sekarang terdengar seperti writting-maniac. Menyelesaikan kisah beribu-ribu words hanya dalam waktu tiga hari.
Gila sekali.
Arisa berhenti melangkah ketika sampai di depan rumahnya. Ia menghadap Biru, ingin bertanya sesuatu, tapi urung. Tapi berpikir dua kali, Arisa akhirnya bertanya, mengingat ini untuk kepentingan proyeknya.
"Kamu sama Aris asli punya hubungan apa, Blue? Sedeket apa? Aku pengen tahu buat ceritaku," ujarnya, yang malah mengingatkan pada Merapi dan Susan yang ternyata sudah menikah.
Astaga.... Jangan berpikir aneh-aneh, Arisa, batinnya. Ucapan Arival tiba-tiba terngiang di otaknya otaknya.
Biru tersenyum. "Nggak asik kalau dikasih tahu sekarang, mungkin di akhir part? Epilog?"
Arisa tertegun. "Setelah ingatanku dikembaliin maksudnya?"
Biru mengangguk. "Ada seseorang lain yang bakal nulis bagian itu nanti. Penutup cerita. Kamu tulis aja opinimu di part sebelumnya."
Arisa manggut-manggut mendengar usul Biru. Ia jadi punya ide.
"Yaudah, Blue. Aku masuk sekarang." Arisa berkata. Ia tidak sabaran menyelesaikan ceritanya yang sudah sampai bab 50. Tersisa beberapa bab lagi untuk sampai akhir.
"Lembur boleh, tapi jangan lupa tidur, Sa. Besok pagi udah harus ada di lab."
"Siap!" Arisa tersenyum, berbalik menuju rumahnya. Ia melambaikan tangan, menatap Biru sampai sosoknya menghilangkan karena pintu yang ditutup.
Arisa menghela napas. Ia kepikiran terus ucapan Arival.
***
Arisa menaruh laptop, berbaring di atas tikar sembari merapatkan jaket, menatap ribuan bintang dari rooftop rumahnya. Ia sedang berpikir keras, mencari judul yang pas untuk bukunya. Dan menatap bintang seperti saat ini mengingatkan Arisa saat Biru mengajaknya naik ke rooftop rumah sakit di permainan pikiran, di dunia kosong.
Emmm, dunia kosong, ya? Bagaimana jika judulnya An Empty World? Atau The Mind Game? Permainan pikiran?
Sepertinya Arisa lebih suka opsi pertama.
Arisa menoleh ketika mendengar suara langkah kaki naik ke atas. Ia pikir itu ibunya, tetapi salah. Arival yang naik ke atas. Sejak kapan kakaknya itu datang ke rumah?
"Hai, dedek. Belum tidur?" Arival bertanya, berjalan mendekat.
Arisa memberi ekspresi jijik, bangkit duduk. "Ngapain ke sini? Udah jam dua belas lebih sepuluh sekarang. Sarah kamu tinggal sendirian?" tanyanya.
"Sarah udah tidur. Capek nangis kayaknya," jawab Arival, duduk disebelah Arisa.
Arisa langsung terdiam. Ia teringat berita heboh beberapa jam yang lalu. Pihak berwenang menjatuhi Arktik hukuman mati. Hukuman itu tidak bisa diganggu gugat. Keputusan final setelah beberapa hari ini dipertimbangkan.
"Tapi Sarah nggak papa kan? Dia terima hal itu?" Arisa bertanya, ikut bersedih.
Sejahat-jahatnya Arktik, Arisa tahu bagi Sarah dan Resa, pria itu tetap seorang ayah. Seseorang yang menjaga, menyayangi, dan melindungi mereka. Seseorang yang membuat mereka tetap hidup dan selamat dari infeksi meskipun caranya salah. Arisa tahu kesedihan yang mereka alami. Ia tahu rasanya kehilangan orang yang dicintai.
Mungkin Sarah ingin ayahnya tetap hidup, menyelamatkannya dari hukuman mati. Tapi di sisi lain, ia pasti berpikir itulah hukuman yang pantas diterima Papanya. Sesuatu yang setimpal meskipun sebenarnya tidak, dan tidak akan pernah ada yang menyetimpalinya.
"Sarah nggak papa. Dia udah terima hukuman itu. Aku cuma takut Sarah sedih dan kepikiran terus. Akhir-akhir dia ngelakuin banyak kerjaan, beberapa lumayan berat. Aku khawatir sama kandungannya."
Arisa membulatkan mata, menoleh ke Arival.
Sebentar.
Apa?
"Kan! Nggak bilang-bilang lagi kan!" Arisa berteriak sebal pada kakaknya. Mengapa orang-orang suka membuatnya terkejut sih? Mengapa orang-orang jahat sekali padanya?
Lebih-lebih Arival yang suka membohonginya. Bilang akan melamar seseorang ketika masalah sudah selesai—padahal sebenarnya dia sudah menikah. Dasar!
Ya ampun... Sarah hamil. Sebentar lagi Arisa akan punya keponakan.
"Kamu nggak nanya. Ngapain aku kasih tahu?" Arival menjawab menyebalkan. Dasar kebiasaan!
Arisa berdecak. "Serah! Bodo amat," ujarnya, "jadinya Sarah udah berapa bulan?" ia bertanya.
"Tiga bulan. Nggak keliatan, ya?"
Arisa tertegun, mengingat-ingat. "Em... Aku aja yang nggak terlalu merhatiin. Lupa," ujarnya.
Tapi jika dipikir-pikir, Sarah itu memang wanita luar biasa. Meskipun sedang hamil, kakak iparnya itu tetap bisa bergerak tangkas menghabisi banyak pasukan penjaga malam itu, saat Biru membawanya pergi dari gedung lab tempat pemanenan beberapa hari yang lalu. Sadis!
"Resa gimana?" Arisa bertanya lagi. Kali ini tentang adik Sarah.
"Resa paling bodo amat. Arktik kayak bukan papanya." Arival menjawab, tersenyum getir. "Resa pasti sedih, tapi dia lebih pilih nggak nunjukin. Masalahnya dia itu suka menyendiri. Kita jadi nggak tahu apa yang sebenarnya dia rasain. Lebih-lebih dia bakal tambah sendiri setelah Papanya pergi."
Arisa menghela napas. Sulit memang. Terlebih pemuda itu masih berusia tiga belas—lebih muda dari usia yang Arisa perkirakan.
Hei, usia tiga belas Arisa saja masih menangis hanya karena sampul bukunya dirobek adiknya—ingatan ibunya sih.
"Tapi Resa kayaknya cowok kuat. Dia bahkan ambil keputusan kasih antivirus meskipun itu berarti mamanya nggak bisa diselamatin lagi."
Arival kini yang ganti menghela napas. "Semoga aja."
Keadaan mendadak hening. Arisa mengambil laptop, mengetik hal yang baru saja ia bicarakan bersama Arival, menambahi satu bab yang masih minim word.
"Udah jadi?" Arival bertanya, menatap layar laptopnya.
"Kurang dikit lagi. Satu bab pendek sama epilog."
"Sini coba baca. Udah tahu mau dikasih judul apa?" Arival mengambil laptop dari tangan Arisa. Kakaknya itu menyentuh cursor halaman Microsoft Word ke bawah.
"An Empty World. Bagus nggak? Aku keinget waktu bangun pertama kali di permainan pikiran dan nggak ada manusia sama sekali. Dunia kosong, An Empty World," jelasnya.
Ngomong-ngomong, Arisa jadi teringat pemuda di sebelahnya juga sempat ia anggap alien sinting, manusia Mars yang sadis tak berperasaan. Arisa sungguh tidak menyangka psikopat itu ternyata kakak kandungnya.
Arival manggut-manggut. "Bagus. Judulnya catchy, bikin kepo. Aku yakin ini bakal jadi buku best seller sepanjang masa."
Arisa mengangguk. Tentu saja. Buku ini kemungkinan besar akan jadi sorotan sejarah di kemudian hari. Meskipun jika ditilik, bahasanya tidak seperti buku sejarah dan terkesan 'suka-suka penulis'.
"Nggak deh, ralat. Isinya hoax. Sejak kapan Arrival nggak ganteng?" ujar Arival saat membaca salah satu graf yang berkata dirinya tidak tampan.
"Udah jangan banyak komen. Bacanya entar aja kalau udah jadi." Arisa mengambil laptopnya kembali.
Arival terkekeh. Tangannya mengacak rambut Arisa yang langsung disampar oleh adiknya.
"Kata ibu tadi buruan selesaiin, terus tidur. Jangan begadang sampai pagi." Arival mengingatkan.
"Hm... Iya tahu." Arisa berkata. Sejurus kemudian ia melanjutkan ucapan, "Oh ya, mau bantuin aku nggak, Val?"
"Bantuin apa?"
"Emm, simpel. Ngetik epilog. Mau kan?"