Istri Zhang Xiao Nan menerima foto itu, kemudian di pandanginya. Dan memang di foto keluarga itu, ada suaminya. Meski waktu foto masih berusia tujuh belas tahun, namun wajah suaminya tidak berubah. Memang tampan dan matanya menggambarkan keuletan. Zhang Xiao Nan sedang duduk bersama orang anak wanita berusia sekitar sepuluh tahun, di apit oleh kedua orang tuanya. Dan orang tua lelaki Zhang Xiao Nan, kini berada di hadapannya. Jadi tidak bisa di sangsikan lagi, kalau lelaki tua bernama pak Zhang ini orang tuanya suaminya.
"Bagaimana, Nak…?" tanya lelaki tua itu.
"Ya, saya percaya. Tentu ini Mas Xiao Nan dan ini Bapak bukan?" kata wanita cantik itu sambil menunjuk ke foto.
"Benar, Nak." jawab lelaki tua itu.
"Mari masuk saja, Pak. Saya percaya, Bapak ayahnya suami saya." kata wanita cantik itu lagi berusaha meyakinkan pak Zhang, kalau dia sudah mempercayai lelaki tua bernama Zhang Xiao Tian sebagai ayah suaminya itu.
"Terima kasih." jawab lelaki tua itu.
"Ayo masuk, Pak." kembali wanita cantik itu dengan masih menunjukkan keramahan mengajak Pak Zhang masuk ke rumahnya. Seakan dia benar-benar mengakui kalau lelaki tua itu, ayah dari suaminya. Suaminya, mengaku anak seorang pejabat di luar negeri bernama Rudolf Van Gerlad Von Javan. Tetapi orang itu, bernama Zhang Xiao Tian dan seorang petani miskin penggarap sawah orang. Sungguh sangat berbeda jauh. Walau begitu, meski lelaki tua ini bukan ayahnya suaminya, dia sepantasnya menghormati orang tua. Tidak boleh begitu saja membirakan orang yang datang dari jauh ke Guang Zhou, lalu Guang Zhou malah di telantaarkan. Jiwanya yang penuh kasih terhadap sesamanya, merasa iba melihat keadaan lelaki tua itu.
Zhang Xiao Tian akhirnya menurut masuk. Bahkan Zhou Wei Wei, istri Zhang Xiao Nan mengajak Zhang Xiao Tian langsung masuk ke dalam rumahnya yang besar dan mewah. Sehingga mebuat lelaki tur itu, semakin kagum dengan keadaan rumah anaknya yang sangat mewah. Dia sama sekali tak pernah menduga, kalau anaknya akan bisa menjadi orang yang berhasil atau sukses di Guang Zhou. Rupanya kepergian Zhang Xiao Nan ke Guang Zhou, sebelas tahun yang silam tidak sia-sia. Sebab kenyataannya sekarang dia berhasil menjadi orang.
Lama sekali Zhang Xiao Tian berdiri mematung sambil memandangi seisi ruang tamu rumah anaknya yang sangat mewah. Oh, betapa akan bahagianya istrinya, kalau saja masih hidup dan melihat keadaan anaknya sekarang. Sayang istrinya sudah pergi mendahuluinya. Sehingga tidak bisa menyaksikan bagaimana keadaan anaknya.
"Pak…" Zhou Wei Wei menegur, menyadarkan Zhang Xiao Tian dari lamunannya. Sehingga lelaki tua itu, seketika mengalihkan pandangannya ke arah Zhou Wei Wei yang tersenyum ramah.
"Iya, Nak…" jawab Zhang Xiao Tian.
"Nama saya Zhou Wei Wei, Pak. Bapak bisa memanggil saya Wei Wei." ujar wanita itu. "Oh ya, silakan duduk, Pak."
"Terima kasih Nak Wei Wei." Zhang Xiao Tian menurut dan duduk di sofa empuk berbulu lembut itu. Namun matanya masih memandangi keadaan ruang tamu anaknya yang mewah. Hatinya masih di liputi rasa kagum akan kekayaan anaknya.
"Bapak tentunya lapar. Bagaimana kalau Bapak makan dulu?" ajak Zhou Wei Wei.
"Tidak usah, Nak Wei Wei…" jawab Zhang Xiao Tian.
"Tidak apa-apa… Ayo, Pak." ajak Zhou Wei Wei lagi.
Dengan penuh rasa sedih sebagai seorang menantu kepada mertuanya, Zhou Wei Wei pun membimbing Zhang Xiao Tian menuju ke ruang makan. Bahkan dengan tlaten dan penuh perhatian, Zhou Wei Wei melayani ayah mertuanya makan.
"Kapan Bapak datang dari Shang Hai…?" tanya Zhou Wei Wei.
"Kemarin, Nak…" jawab Zhang Xiao Tian.
"Lalu di mana kemarin, Pak…?" tanya Zhou Wei Wei lagi.
Dengan panjang lebar akhirnya Zhang Xiao Tian menceritakn bagaimanadia di Guang Zhou kemarin, sebelum dia berhasil menemukan rumah Zhang Xiao Nan, anaknya. Dia tidur di emperan toko. Semua itu dia lakukan, hanya karena rasa inginnya bertemu dengan anaknya yang sudah sebelas tahun pergi meninggalkan dia dan ibu serta adiknya.
"Begitulah ceritanya, Nak Wei Wei…" ujar lelaki tua itu.
Zhou Wei Wei yang mendengar cerita ayah mertuanya itu menarik napas dalam-dalam, turut iba dan sedih. Keterlaluan sekali suaminya. Seharusnya Zhang Xiao Nan memberitahu keberadaannya dan bila perlu, membawa keluarganya ke rumah itu. Dia tidka keberatan kok, malah senang kalau keluarga suaminya ikut dengannya. Karena rumah sebesar ini, akan ceria dan damai. Tidak sepi, seperti sekarang.
"Dari mana Bapak tahu alamat rumah ini….?" tanya Zhou Wei Wei kemudian, setelah mampu menenangkan pikirannya.
"Dari tetangga yang kebetulan sekali sering ke Guang Zhou. Tetangga saya memberitahu, kalau A Nan sekarang hidup dengan kecukupan. Karena sebelas tahun lamanya kami tidak pernah mendengar kabar beritanya, akhirnya saya berusaha mencari-carinya." jawab lelaki tua itu.
"Jadi ibu sudah meninggal, Pak?" tanya Zhou Wei Wei.
"Iya, dua tahun yang lalu…" jawab lelaki tua itu.
"Oh, saya turut berduka, Pak." ucap Zhou Wei Wei.
"Semua sudah berlalu, Nak Wei Wei…" ujar lelaki tua itu.
"Ya, namun saya sangat menyesalkan tindakan suami saya. Kenapa kok tidak pernah memberitahu di mana keberadaan keluarganya." kata Zhou Wei Wei dengan wajah masih menggambarkan kemurungan, turut sedih mendengar cerita ayah mertuanya itu.
"Mungkin A Nan sibuk, Nak Wei Wei…" hibur lelaki tua itu.
"Sesibuk-sibuknya orang ya, Pak. Pasti ada waktu untuk memberitahukan keberadaan keluarganya. Atau pulang menjeguk keluarganya di Shang Hai. Tetapi Mas Xiao Nan tidak… padahal saya sudah berulang kali menasehatinya, agar mas Ziao Nan mau memperkenalkan saya dengan keluarganya namun mas Xiao Nan selalu saja mencari alasan ini dan itu…" keluh Zhou Wei Wei dengan di ikuti tarikan napasnya dalam-dalam, seakan dia menyesalkan tindakan suaminya yang seolah-olah hendak menutupi keberadaan keluarganya itu. Dengan kata lain, suaminya seakan tidak mau lagi mengakui keluarganya. Atau mungkin suaminya malu? Karena di mengaku keturunan darah biru, ternyata tidak. Ayahnya hanya buruh tani biasa. Padahal itu tidak baik. Bagaimanapun keadaan kedua orang tuanya, tetap saja merekalah yang telah berjasa dalam membina hidupnya dari semenjak lahir. Jasa orang tua, sangatlah besar. Sulit di ikur dengan materi apapun. Hanya rasa terima kasih dan pengakuan dari anaknya saja, mereka sudah gembira. Seakan melupakan bukti baik yang telah mereka tanamkan pada anaknya selama itu.
"Makanlah, Pak. Nanti setelah makan, mandi…" ujar Zhou Wei Wei.
"Tapi Bapak tidak punya salin, Nak." kata lelaki tua itu tidak enak.
***
To Be Continue…
Terima kasih buat kalian semua yang sudah membaca chapter ini. Sampai jumpa di chapter berikutnya ya~