"Lo kenapa, Lam?" tanya Lala, yang baru masuk ke dalam kelas bersama Genta. Dia duduk kemudian bertopang dagu sambil memandangku lekat-lekat. Sementara Genta sedikit membungkuk masih menempel di belakang Lala.
"Iya, elo kenapa?" kali ini Genta yang bertanya.
"Gue buat salah sama Bu Marita, deh." keluhku, setengah berdesis. Rasanya langitku mau runtuh. Bahkan, gerimis pagi ini seolah mewakili perasaanku. Padahal ini musim panas, tapi sepagi ini gerimis sudah datang seolah mengejek sang mentari yang tak berani menampakkan sinar. Seharusnya, sang mentari lebih berani. Agar gerimis tahu, siapa yang lebih berkuasa di sistem tata surya.
"Kok bisa? Elo nantangin Bu Marita ribut?"
"Elo neror Bu Marita pakek bom?"
"Elo ngadu ke Ricky?" tanya Genta dan Lala bergantian seperti group paduan suara pas upacara bendera saat agustusan di lapangan.
"Enggak gitu, jadi—"
"Selamat pagi, anak-anak!" ucapanku terhenti, ketika Bu Marita masuk ke dalam kelas.