Tentara Russia dari Divisi Kedua Tajikistan dibantu Tentara Belarusia Soviet, Prussia, dan Azerbaijan tengah berusaha memasuki Kota Yovon yang dikuasai oleh Pemberontak Tajikistan. Mereka menguasai beberapa rumah dan bangunan di sisi luar Kota Yovon dan melakukan serangan dari posisinya.
Mortar saling terjatuh dari kedua belah pihak. Tentara Pemberontak menembakkan mortar untuk mempertahankan Kota Yovon yang telah dikepung oleh Tentara Russia dan sekutunya, begitupula dengan Tentara Russia yang menghujani mereka dengan mortar untuk merebut Kota Yovon yang diduduki oleh pemberontak.
"Sangat disayangkan jika tempat seindah ini harus menjadi arena pertempuran," keluh Ludwig Albert Wilhelm von Nassau-Dietz sambil menembakkan pelurunya dari atas sebuah bangunan. Tembakannya membunuh salah seorang ulama yang merupakan tokoh central dari pemberontak Tajikistan di Kota Yovon.
Setiap kali Albert menarik pelatuknya, di saat itu pula musuh-musuhnya jatuh berguguran. Dengan segala keberaniannya Albert memasuki wilayah musuh tanpa diketahui oleh mereka.
Albert mendengar puluhan langkah kaki yang tengah melangkah ke arah dirinya.
"Sepertinya mereka menemukanku. Kalau begitu, saatnya pertarungan jarak dekat." Albert menarik pedangnya dan berjalan menuju ke arah sebuah tangga di mana sumber suara itu berasal.
Ada sekitar lima belas Tentara bersorban hitam dengan AK-47 yang mereka genggam tengah menaiki tangga menuju ke tempat di mana Albert bersembunyi.
"Salah satu rekanku sempat melihat ada orang yang masuk ke sini. Aku yakin sniper musuh bersembunyi di sini."
Sebuah kaleng kosong terjatuh di bawah kaki mereka. Albert melempar kaleng tersebut untuk memberikan informasi bahwa dia ada di gedung ini.
Salah seorang bersorban hitam memungut kaleng tersebut, "Tebakanmu benar, Mahmoud. Dia ada di sini. Semuanya bergeraklah secara hati-hati."
Mereka bergerak dengan hati-hati dan tiba di lantai atas. Suasana di sini begitu hening dan sunyi. Sang Komandan mengintruksikan Tentaranya untuk berpencar.
Albert menjatuhkan beberapa barang untuk menarik perhatian musuh. Dia juga melempar lampu sehingga menimbulkan ledakan dari suara gas lampu.
Salah seorang Tentara musuh memasuki ruangan tersebut dan ketika dia melihat Albert sedang asik duduk sambil merokok, dia segera memberondong Albert.
Albert berlari dengan cepat menghindari berondongan peluru yang ditembakkan musuhnya, dia menarik pedangnya menebas leher musuhnya.
Tentara musuh segera memasuki ruangan di mana terjadi kontak senjata. Mereka begitu kaget ketika Albert melempar kepala rekannya yang telah dia bunuh.
"Pergilah dari sini jika kau tidak ingin bernasib buruk sepertinya," ujar lelaki berambut lancip berwarna pirang kecoklatan, berbadan tinggi kekar yang mengenakan kacamata hitam.
"Sialan kau, orang Kafir!"
Mereka menembaki Albert, tetapi dia menangkis berondongan peluru musuh dengan pedangnya. Albert menembakkan kilatan petir berwarna hitam kemerahan dan langsung membunuh ketiga orang musuhnya dan menimbulkan kerusakan pada ruangan tersebut.
Tentara Pemberontak begitu kaget melihat petir yang ditembakkan oleh Albert dan orang yang mereka cari muncul dari balik asap dan debu yang begitu tebal sambil menggenggam pedangnya.
"Wow, lihatlah, akhirnya orang yang kita cari muncul juga. Albert, si petir pitam Nassau-Dietz," kata sang Komandan musuh. "Kalian semua, ambil pedang kalian dan penggal orang kafir tersebut."
Tentara Pemberontak Tajikistan yang tersisa mengambil pedang mereka dan memekikkan kalimat takbir. "Allah Akbar! Allah Akbar!"
Mereka berlari ke arah Albert, "Kalian semua hanyalah para iblis busuk yang menggunakan Agama untuk tujuan busuk kalian. Kalau begitu, aku akan mengirim kalian ke api yang abadi."
Pedang-pedang mereka saling beradu dengan Albert dan Albert menghindari serangan dari musuh-musuhnya. Pedangnya yang berwarna putih dan memancarkan cahaya berwarna merah delima di tengah kegelapan. Pedang Red Dahlia merupakan salah satu benda pusaka yang ditemukan oleh Albert saat dia tengah berpetualang di Belarusia Soviet. Pedang yang bisa memancarkan cahaya berwarna merah di dalam kegelapan itu merupakan pedang pusaka peninggalan klan Nassau-Dietz.
Pedang red dahlia itu menjatuhkan para Tentara pemberontak Tajikistan dan mencabut nyawa mereka. "Kini hanya ada kita berdua. Jika kau berkenan, beri tahu namamu?"
"Namaku adalah Nuri Sharif," jawab Lelaki bersorban hitam itu.
"Baiklah, aku akan mengingat namamu itu sebagai seorang pengecut yang mengorbankan rekannya," balas Albert.
Nuri Sharif menarik kedua Pedangnya dan segera berlari menuju ke arah Albert. Mereka bertarung dengan begitu sengitnya. Nuri Sharif menyerang Albert secara membabi buta sehingga Albert hanya bisa bertahan.
Albert berlari dan menuruni tangga ke bawah diikuti oleh Nuri Sharif yang mengejarnya.
Albert melemparkan sebuah granat asap untuk melemahkan musuhnya, namun Nuri Sharif masih berdiri dengan kokohnya.
"Kau berhadapan dengan orang yang salah," kata Nuri Sharif.
"Kurasa kau yang berhadapan dengan orang yang salah," balas Albert dengan penuh percaya diri.
Albert kembali berlari sambil menembakkan kilatan-kilatan petir berwarna hitam untuk melumpuhkan musuhnya. Setiap kilatan petir hitam yang Albert tembakkan selalu dikembalikan oleh Nuri Sharif sehingga mereka berdua melakukan jual-beli serangan dari jarak jauh.
"Kau hebat juga bisa membalikkan setiap seranganku," puji Albert.
"Aku hanya mengembalikannya kepada pemiliknya," balas Nuri Sharif dengan santai.
Nuri Sharif berlari dengan sangat cepat dan tebasan pedangnya merober bagian dada pada seragam militer Albert. Beruntungnya Albert mengenakan mithril, sehingga serangan mematikan dari Nuri Sharif tidak menimbulkan luka parah pada tubuhnya.
"Mithril," pikir Nuri Sharif.
Albert memberikan pukulan keras ke arah wajah musuhnya sehingga Nuri Sharif terpental beberapa meter.
Albert memasukkan pedangnya ke dalam wadahnya, "Kalau kau bisa membalikkan seranganku. Maka akan kuhabisi kau dengan tangan kosong."
Albert berlari ke arah musuhnya yang terjatuh dan Nuri Sharif segera bangkit untuk melawannya. Kali ini Albert menunjukkan kemampuan fisiknya yang begitu kuat. Dia menghindari setiap tebasan pedang dari Nuri Sharif dan memberikan pukulan yang telak pada dadanya.
Albert memukul tubuh musuhnya secara membabi buta lalu dia melakukan tendangan memutar yang menghempaskan tubuh musuhnya. Nuri Sharifpun bangkit dan mereka berdua bertarung secara tangan kosong.
Pertarungan mereka berdua terjadi begitu sengit, di mana mereka berdua saling jual-beli pukulan, dan juga tendangan. Pertarungan ini terjadi begitu sengit dan karena Albert masih muda dan tenaganya lebih besar sehingga Albert berhasil mejatuhkan Nuri Sharif.
"Kau masih hidup saja, brengsek!" kata Albert dengan nafas terputus-putus.
Albert menarik tubuh musuhnya yang sudah lemah ke ruangan di mana dia menembaki musuh-musuhnya. Dia mengangkat tubuh musuhnya dan melemparnya dari ruangan tersebut. Tubuh Nuri Sharif terjatuh dari gedung tersebut dan hancur berkeping-keping dengan darah dan organ tubuh yang berceceran.
"Pergilah ke neraka, sialan!"
Albert menghampiri dispenser yang ada di ruangan tersebut dan meminum airnya. Meskipun dia mendengarkan puluhan langkah kaki, Albert terlihat sangat tenang, karena itu suara langkah kaki dari rekan-rekannya.
Dia mengambil walki-talki dan berkata, "Gedung Yovon, Albert, clear."
"Baiklah, kami akan ke gedung seberang."
Dari atas gedung di mana Albert tengah berada, dia melihat puluhan Tentara Russia maju menyerang musuh yang tengah bergerak ke tempat di mana dia sedang berada. Suasana di sekitar gedung tersebut yang sempat hening kini menjadi berisik dengan desingan peluru serta ledakan ketika Tentara Russia yang bentrok dengan Tentara pemberontak Tajikistan untuk membebaskan Kota Yovon.
Albert kembali mengangkat senapan WKW Wilk miliknya yang dia tinggalkan dan menjatuhkan para musuh-musuhnya dari atas gedung.
"Sepertinya kau habis babak belur, Albert," suara seorang lelaki dan mesin tank yang bergemuruh terdengar di telinganya dengan jelas.
"Sialan kau, Maximilian," umpat Albert.
"Istirahatlah sejenak, biar aku, dan Tentara Russia yang membereskan sisanya," balas Maximilian via telepati. Tank T-90MS itu mengarahkan turetnya ke arah timur dan dinaikkan enam belas derajat untuk menyerang posisi musuh yang berada di atas sebuah gedung.
"Tembak!" perintah Maximilian.
Tank T-90MS itu menembakkan pelurunya dan menghancurkan target yang bersembunyi di sebuah gedung berjarak seratus dua puluh satu meter dari posisinya. Suara tembakkan benar-benar keras.
Kepala dan telinga Albert sakit akibat suara tembakan tank tersebut, dia mengumpat pada Maximilian, "Keparat kau, Maximilian! Kau menembak musuh di saat telepatimu masih aktif! "
Maximilian hanya terkekeh mendengar umpatan yang dilontarkan Albert.
"Maaf kawan, aku lupa menonaktifkan telepatiku." Maximilian menonaktifkan kekuatan telepatinya. Tank T-90MS berwarna hitam kehijauan itu bergerak menuju ke arah timur. Maximilian membuka katup tanknya dan menjentikkan kedua jarinya sehingga mengeluarkan kilatan petir berwarna hitam yang langsung menyambar musuh-musuhnya. Kilatan petir itu terdengar sangat keras layaknya gemuruh petir di tengah badai.
Albert yang tengah menyandarkan tubuhnya ditembok sambil memakan sebuah biskuit coklat mengumpat dalam hatinya, "Sialan kau, Maximilian. Bermain dengan petir di saat aku sedang istirahat."
Dua Orang Tentara Russia dari etnis Tajik datang menghampirinya, "Apa kau tidak apa-apa, Tuan Albert?" tanya salah seorang di antara mereka.
"Aku baik-baik saja," jawab Albert sambil memakan biskuitnya.
Tank T-90MS itu terus bergerak maju lebih dalam melalui jalanan aspal yang berdebu, tipikal kota-kota di kawasan negara bagian Tajikistan selain Dushanbe.
"Untuk sebuah Kota yang terletak di pedalaman Eurasia, Kota ini cukup lumayan. Sisa-sisa peninggalan rezim Russia Soviet begitu terasa," pikir Maximilian melihat bangunan di sekitarnya yang dipenuhi dengan rumah-rumah bergenteng merah.
Berondongan peluru ditembakkan dari bangunan-bangunan di sekitarnya. Roman menghentikan Tank-nya dan segera bergerak mundur.
"Bolehkah aku menembaknya, Maximilian," kata Sobczek.
"Putar turetmu ke arah jam tiga dan turunkan sebelas derajat ke bawah," kata Maximilian dan Sobczek langsung memutar turet tanknya sesuai perintah dari Maximilian.
Dari arah selatan perempatan, sebuah tank T-55 dengan bendera berwarna hitam tengah bergerak maju, di mana sembilan orang milisi berjenggot panjang duduk di atasnya.
"Berhenti, dan tembak!" perintah Maximilian. Para milisi tersebut kaget akan munculnya tank T-90MS di hadapan mereka yang langsung memuntahkan serangannya ke arah tank T-55 berwarna hitam tersebut. Tank T-55 tersebut hancur ketika dihantam tembakan dari tank T-90MS di hadapannya dan menewaskan seluruh pemberontak.
"Kerja bagus, Roman, dan Sobczek," puji Maximilian.
Adzan subuh berkumandang dengan indahnya di Kota Yovon. Baik Tentara Russia maupun Tentara Pemberontak setuju untuk mengadakan gencatan senjata. Kelompok Pemberontak meminta gencatan senjata diadakan selama tiga hari dan Pemerintah Russia setuju dan diberlakukanlah gencata senjata selama tiga hari.
Tiga Orang Lelaki muda tengah duduk di samping tanknya sambil menikmati mie dalam cup yang hangat.
"Sangat disayangkan diberlakukannya gencatan senjata. Padahal aku sudah tidak sabar ingin menghabisi mereka," keluh Sobczak.
"Perang ini bukan hanya di lapangan, tetapi juga di meja diplomasi. Pemerintah Russia juga sadar betul akan banyaknya masalah dalam negeri yang harus dibenahi dan kita di sini hanya untuk membantu Pemerintah Russia sebagai anggota CSO." Maximilian memberikan penjelasan kepada rekannya yang berasal dari etnis Polandia yang terlihat sedang kesal atas diberlakukannya gencatan senjata.
"Tapi gencata senjata ini bisa berakhir jika salah satu di antara kita memulai menyerang," kata seorang Lelaki berambut pirang lancip dan berkacamata hitam yang menghampiri mereka bertiga. "Senang bertemu dengan kalian bertiga, Maximilian, Roman, dan Sobczak." Albert bersalaman dengan ketiga rekannya yang berasal dari Prussia.
"Kau memang yang paling berani, Albert," puji Maximilian. "Mau mie," tawarnya memberikan sebuah mie cup.
Albert menerima mie cup tersebut, "Terima kasih, Max. Namun aku tidak akan memakannya sekarang."
"Tak masalah, karena kau terlihat habis makan," balas Maximilian.
.
.
Pagi hari yang cerah, seorang lelaki berambut pirang, dan bermata biru tengah menaiki kuda berwarna hitam melewati jalanan Kota Obikiik yang berpasir. Ekspresi bahagia terpancar di wajahnya yang tampan meskipun memiliki bekas luka tebasan di bawah kelopak mata kirinya.
Wilhelm menghentikan kudanya yang berwarna hitam di depan tank T-72 berwarna hitam, di mana kekasihnya, Elizabeth Monica Schneider sedang bermain kartu dengan kedua rekannya.
"Sang Pangeran Hohenzollern-Sigmaringen datang untuk menjemput seorang bidadari dari Prussia," seru Margareth akan kedatangan Wilhelm dengan mengendarai Kudanya.
"Mau jalan-jalan denganku, Monica," ajak Wilhelm sambil menepuk pelan bagian belakang mudanya.
"Boleh," balas Monica. Perempuan berambut coklat dan bermata biru itu berdiri. "Maafkan aku kawan. Aku ingin pergi kencan dulu."
"Tak masalah, Monica," kata Agatha.
Monica lalu menaiki kuda tersebut dan duduk di belakang Wilhelm. Lelaki itu segera memacu kudanya menuju ke sebuah tempat bersama dengan kekasihnya yang tengah memeluk dirinya dari belakang.
Kuda itu berlari dengan cepat melewati jalanan yang berpasir dan berbatu.
"Kita akan pergi ke sebuah tempat yang sangat indah," kata Wilhelm.
Kuda berwarna hitam itu menaiki jalan yang terjal dan di balik sebuah bukit kecil itu, ada ladang bunga dengan berbagai macam bunga yang indah dan berwarna-warni. Mayoritas bunga-bunga tersebut didominasi oleh Bunga Tulip, Siyavush, dan Zardak. Monica terlihat terpana akan indahnya hamparan bunga yang berwarna-warni sejauh mata memandang.
"Kau tahu darimana ada tempat seindah ini?" tanya Monica.
"Salah seorang rekan Tajik-ku," balas Wilhelm. "Dia bilang, perang ini harus segera berakhir agar taman surga ini tidak rusak."
Monica turun dari kuda tersebut dan dia melangkahkan kakinya di atas sebuah jalan setapak yang berada di tengah hamparan ladang bunga tersebut. Wilhelm berjalan di belakang Monica.
"Keindahan ini benar-benar menghipnotis," ungkap Monica yang begitu takjub, "Sepertinya kau selalu tahu di mana tempat-tempat yang indah."
Wilhelm tersenyum simpul mendengar kalimat yang dilontarkan oleh kekasihnya, "Manusia akan selalu menyatu dengan alam dan manusia sangat mencintai keindahan. Ini adalah anugerah dari Sang Pencipta serta bukti akan kebesaran-Nya."
Wilhelm memetik beberapa kuntum bunga tulip yang berbeda warna dan menyerahkannya kepada Monica, "Bunga ini sama indahnya seperti dirimu, Monica."
Monica menerima bunga pemberian Wilhelm, "Terima kasih, Wilhelm. Meskipun ini terlihat biasa saja, namun bagiku ini luar biasa."
Wilhelm terkekeh mendengar jawaban dari Monica, "Aku senang kau mau menerima pemberian sederhana dariku."
"Menurutku ini begitu mewah, karena dibuat oleh Tuhan."
Wilhelm kaget ketika Monica secara tiba-tiba menarik tangannya dan berlari ke sebuah bukit kecil di depannya dan dari atas bukit tersebut, mereka berdua melihat beberapa orang bersenjata yang tengah mengeksekusi orang-orang dengan menembak kepala mereka. Mayat mereka bergeletakan dan darahnya mengotori bunga-bunga yang berwarna indah.
Melihat pemandangan tersebut membuat Monica marah. Dia menarik kedua belatinya dan berlari menuju ke arah mereka.
"Tunggu, Monica," kata Wilhelm berusaha menghentikan kekasihnya.
Orang-orang bersenjata itu menembaki Monica, tetapi dia menangkis peluru yang mereka tembakan. Sepasang belati yang Monica genggam tersebut menjatuhkan beberapa milisi bersenjata.
"Aku harap tidak terjadi hal-hal buruk setelah kau membunuh para pemberontak," kata Wilhelm. "Ayo, Monica. Kita pergi dari sini."