Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Swords Of Resistance: Endless War [Indonesia]

๐Ÿ‡ฎ๐Ÿ‡ฉVLADSYARIF
--
chs / week
--
NOT RATINGS
273.7k
Views
Synopsis
Sebuah kisah fantasi di Alam Semesta paralel tentang pertarungan politik dari para Raja dan Penguasa. Dimulai dari peperangan, intrik politik, hingga drama kehidupan. Cerita ini hanya fiksi belaka. Kesamaan nama tokoh, tempat, kejadian, dan sebagainya hanyalah kebetulan dan atau terinspirasi dari hal-hal tersebut.
VIEW MORE

Chapter 1 - Bab 1, Aksi Teror Yang Gagal

Saarbrucken, Federasi Prussia

Tiga unit TSF tipe F-5 Freedom Fighter milik Bavaria tengah terbang memasuki wilayah udara negara Prussia dari arah timur, tepatnya wilayah Nassau-Westaphalia. Ketiga unit TSF tersebut hanya sedang melakukan provokasi untuk memancing pihak Prussia.

[TSF, kepanjangan dari Tactical Surface Fighter, yaitu mecha dalam serial Muv-Luv.]

Ketiga Pilot tersebut merasa senang bisa melakukan sebuah penghinaan terhadap musuh bebuyutan mereka. Prussia memiliki hubungan yang buruk dengan negara-negara Jerman, meskipun Prussia dan mereka memiliki Bahasa yang sama, ditambah setelah berakhirnya Perang Besar, atas inisiatif dari salah seorang Pejabat Prussia, negara Jerman dipecah belah menjadi beberapa negara kecil.

Pemerintah Prussia segera membalasnya provokasi yang dilakukan oleh Bavaria dengan mengirimkan satu unit TSF MiG-23 Cheburashka Mecklenburg-Schwerin yang dipiloti oleh seorang perempuan dari klan Mecklenburg-Schwerin yang bernama Maria Catherine Victoria von Mecklenburg-Schwerin.

Perempuan berambut pendek tersebut segera menghubungi ketiga pilot dari Negara Bavaria dalam sebuah komunikasi video.

"Kalian bertiga pergilah untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dan untuk menjaga perdamaian di kawasan," perintah Maria kepada ketiga Pilot F-5 Freedom Fighter.

"Pergi, buat apa kita pergi. Kami hanya ingin melihat tanah yang telah kalian rebut seenaknya," balasnya dengan nada angkuh. Lelaki berambut pirang gondrong bergelombang itu mengacungkan jari tengahnya. Dia adalah Hermann Heinrich Bauer, Kapten dari Tim 19. "Hai manis, bagaimana jika kita berhubungan seks. Aku sangat menyukai gadis-gadis Prussia yang cantik juga seksi," godanya.

Maria diam dan tidak menggubris hinaan dari ketiga Pilot Bavaria tersebut. Bagi Maria, hinaan tersebut adalah betapa bukti bahwa mereka Orang-orang yang tidak bermoral dan berakhlak rendah.

"Jadi, Orang-orang Bavaria itu tidak bermoral yah," kata Maria. "Aku yakin kau pasti Orang yang memperlakukan Ibumu dengan begitu buruk, mengingat kau melontarkan kalimat yang tak senonoh pada Perempuan," lanjutnya. "Terlebih kau mengucapkannya pada seorang perempuan berusia delapan belas tahun. Sungguh orang-orang tak bermoral, walaupun tak semua orang Bavaria demikian."

TSF tipe MiG-23 Cheburashka Mecklenburg-Schwerin berdiri di pinggiran sungai, berhadapan dengan tiga unit TSF F-5 Freedom Fighter yang turun dari udara dan berdiri di seberangnya.

Mereka bertiga keluar dari kokpit mereka, tiga Pemuda berpakaian Pilot berusia sekitar dua puluh empat tahun dengan postur badan yang tinggi dan kekar. Mereka bertiga lalu melepas Helm mereka dan memegangnya di samping pinggang mereka.

Maria keluar dari dalam kokpitnya. Dia mengenakan seragam militer berwarna hitam dengan beberapa hiasan berwarna emas dan Pedang di bagian kiri tubuhnya.

"Kau memang cantik," goda Hermann.

"Jadi cosplayer seperti dia adalah seleramu, yah, Herman," kata salah seorang rekannya yang bernama Stephan Albert Jansen.

"Mungkin dia sangat menyukai Altair," kata salah seorang rekannya lagi yang bernama Hassan Mustafi Shaqiri, seorang Lelaki Bavaria keturunan Albania.

"Kalian berdua diamlah!" gertak Hermann pada kedua rekannya.

"Bisakah kalian pergi meninggalkan Negeri kami," kata Maria.

Hermann tertawa dengan terbahak-bahak mendengar perkataan Maria. Dengan segala kesombongannya dia berkata, "Buat apa kami pergi dari tanah leluhur kami. Apa salahnya kami datang kemari, walaupun itu adalah pelanggaran kedaulatan. Bukankah kami juga punya hak untuk menginjakkan kaki kami di sini."

"Apakah kau memiliki paspor untuk menginjakkan kaki kalian di sini?" tanya Maria sambil menahan amarahnya. "Tunjukkan paspor kalian, jika kalian ingin kemari."

"Buat apa menunjukkan paspor, bukankah lebih bagus menunjukkan kejantanan kami di hadapan gadis manis nan seksi seperti dirimu," goda Hermann.

Mustafi dan Albert sedikit gemetar dan ketakutan ketika dia memperhatikan Maria yang diam membisu sambil menundukkan wajahnya sedikit. Lelaki keturunan Albania itu merasa bahwa atmosfer secara mendadak berubah menjadi dingin, sementara itu Hermann masih menggoda Maria dengan kata-kata yang tak pantas.

"Hei, Mustafi. Kenapa atmosfernya mendadak dingin seperti ini?" bisik Albert.

"Jangan tanyakan padaku," balas Lelaki keturunan Albania tersebut.

Maria segera menarik Ruger-SR-1911-Pistol yang tersimpan di samping paha kanannya. Dia mengalirkan mana berelemen es dan berkata, "Niffelheim." Maria menembak Hermann yang berdiri dengan segala kesombongannya.

Lelaki berambut pirang gondrong itu membeku seketika layaknya patung es. Melihat pemimpin tim mereka membeku, membuat Mustafi dan Albert terjatuh ketakutan.

Mereka berteriak secara bersamaan, "Kumohon. Jangan bunuh kami!"

Kedua Lelaki tersebut kemudian ikut membeku seperti Hermann dengan ekspresi ketakutan pada wajah mereka yang terlihat indah untuk dijadikan meme di internet.

Maria menghubungi markas via telepati, "Ketiga penyusup telah aku lumpuhkan sekaligus mendapatkan harta rampasan perang yang berharga."

"Baiklah, kami akan segera ke sana."

.

.

Pihak Bavaria mengirimkan pesan kepada pemerintah Prussia untuk segera membebaskan rakyatnya yang ditahan oleh Prussia. Pemerintah Republik Bavaria mengklaim bahwa rakyatnya sedang disiksa oleh Prussia, walaupun sebenarnya mereka bertiga tengah bermain Xbox 360 di sel mereka masing-masing yang diawasi selama 24 jam non-stop.

Namun Prussia menolaknya, dan menekan Bavaria agar mereka turut membebaskan orang-orang Prussia serta beberapa Publik Figur atau Politisi yang mereka tahan.

Seorang Lelaki berusia sekitar lima puluh tahunan memukul meja kerjanya. "Bajingan, Prussia. Mereka selalu merendahkan kita."

"Kita jangan bertindak gegabah, kita harus menyepakati permintaan Prussia," kata Jean Wilhem de Alle menenangkan Kanselir Bavaria, Wolfgang Albert Gotha yang sifatnya dikenal sedikit tempramental.

"Aku lebih senang jika kita harus berperang melawan mereka."

"Namun sekutu-sekutu kita belum tentu membantu kita," timpalnya cepat. "Kita bisa menekan mereka dengan opsi win-win solution dan menggunakan kelompok Grey Wolves untuk meneror rakyat mereka."

[Grey Wolves, Kelompok Fasis Turki yang merupakan sayap militer dari Partai MHP yang berideologi Nasionalisme Bangsa Turki alias Pan-Turkishm.]

"Win-win solution. Maksudmu?"

"Membebaskan tiga Orang dan menyelamatkan tiga Orang."

"Ide bagus," kata sang Kanselir. "Namun sebelum itu kita akan menyerang gereja di Saarbrucken dengan menggunakan jasa Grey Wolves."

"Kita akan menyerang mereka pada waktu yang telah ditentukan di saat Matahari terbit dari arah timur."

"Apakah sempat dalam waktu sesempit itu, Tuan Kanselir?"

"Tidak, ini sudah lebih dari cukup, mengingat Grey Wolves jauh lebih diandalkan daripada kelompok gangster sejenisnya."

"Baiklah, Tuan Wolfgang. Aku akan menghubungi sahabat Turkiku." De Alle lalu membungkukkan badannya kepada Tuan Kanselir, dan pamit undur diri dari hadapannya.

Ekspresi wajahnya terlihat sangat bahagia. Lelaki berbadan besar dan gendut itu mengirimkan sebuah pesan telegram kepada Pemimpin Prussia. Pesan itu berbunyi, "Yang terhormat Stadtholder Alexander Friedrich Wilhelm Viktor Nikolaus Romanovich von Hohenzollern. Semoga engkau sehat selalu dan dicintai oleh rakyatmu. Aku mohon bebaskan tiga Pilot kami dalam waktu dua hingga enam hari dan kami akan membebaskan tiga tahanan Prussia yang kami tahan. Kita akan saling menukar dan negerimu akan selalu aman. Aku tahu Stadtholder Prussia adalah Orang-orang yang bijak. Hormat saya, Kanselir Wolfgang."

.

.

Di atas sebuah Istana, sambil menikmati pemandangan yang hijau dan angin yang berhembus sejuk. Seorang Lelaki berambut hitam dan bermata merah yang mengenakan seragam Perwira Militer berwarna hitam, tengah minum teh hijau ditemani dengan sang Istri tercinta. Seorang Perempuan berambut hitam panjang bergelombang dan bermata biru yang mengenakan pakaian gaun panjang berwarna biru gelap.

"Meminum teh itu ada seninya, Niko," ujar Ibu Negara Prussia, Elizabeth Juliana Fredericka Victoria von Battenberg, "Aku mempelajarinya ketika berlibur di Jepang. Saat itu usiaku masih tujuh belas tahun."

"Bukankah kau masih terlihat seperti berusia tujuh belas tahun, meskipun sudah empat dekade," balas Stadtholder Nikolaus dengan senyuman jahil pada Istrinya.

Suara berisik mengganggu waktu santai yang tengah dinikmati oleh dua Orang berkedudukan tinggi di Prussia. Stadtholder Nikolaus segera mengambil ponselnya dan membuka pesan yang masuk. Pesan itu datang dari Kanselir Republik Bavaria, yang berbunyi, "Yang terhormat Stadtholder Alexander Friedrich Wilhelm Viktor Nikolaus Romanovich von Hohenzollern. Semoga engkau sehat selalu dan dicintai oleh rakyatmu. Aku mohon bebaskan tiga Pilot kami dalam waktu dua hingga enam hari, dan kami akan membebaskan tiga tahanan Prussia yang kami tahan. Kita akan saling menukar, dan Negerimu akan selalu aman. Aku tahu Stadtholder Prussia adalah Orang-orang yang bijak. Hormat saya, Kanselir Wolfgang."

Juliana menatap suaminya yang tengah terdiam sambil membaca Telegram dari Kanselir Wolfgang Albert. Meskipun tidak menunjukkan ekspresinya. Namun Juliana tahu bahwa suaminya sedang marah.

Nikolaus membalas pesan tersebut, yang berbunyi, "Ular seperti kalian jangan pernah mencari masalah dengan Burung Elang!"

Sang Stadtholder memberikan perintah kepada Menteri Dalam Negeri-nya, dia mengirimkan pesan telegram yang berbunyi, "Perintahkan kepada Stasi untuk memperketat penjagaan di seluruh pintu perbatasan, serta mengawasi setiap orang yang keluar-masuk."

.

.

Saarbrucken, Federasi Prussia

Abdul Hamid tengah mengamati bangunan Ludwigskirche yang bergaya Lutheran-Baroque. Setiap harinya dia selalu melewati gereja yang merupakan ikon dari Kota Saarbrรผcken sebelum pulang ke kamar kosnya. Dia adalah seorang lelaki Turki yang merupakan simpatisan dari organisasi radikal, Grey Wolves.

Lelaki itu berfoto selfie di depan Ludwigskirche dengan ekspresi senyumannya yang terlihat ramah. Memang dia tidak terlihat mencurigakan, mengingat dia sudah tiga tahun hidup di Saarbrucken sebagai seorang Mahasiswa Jurusan Kimia di Universitas Saarbrucken. Namun, Maria yang tengah membeli sebuah es krim di dekat Ludwigskirche bisa merasakan aura jahat dari lelaki keturunan Turki tersebut.

Lelaki itu membawa sebuah tas yang di dalamnya ada sebuah drone kecil yang telah dipasang sebuah peledak. Abdul Hamid berjalan ke arah sebuah gang yang kecil dan sepi dan melangkahkan kakinya ke ujung gang tersebut. Dia mengeluarkan drone yang telah dipasang bahan peledak berkekuatan tinggi dan menerbangkannya ke atas sebuah bangunan dan mendaratkannya di atas atap bangunan tersebut.

Lelaki Turki itu berjalan ke arah luar sambil menerbangkan drone miliknya.

Maria yang berdiri di atas bangunan tersebut segera menembaki drone tersebut dengan Ruger-SR-1911-Pistol yang telah dia aliri energi mana untuk mematikan daya ledaknya, sehingga drone tersebut tidak akan meledak.

"Aku hanya mematikan daya ledaknya. Dia tidak akan sadar bahwa dronenya tidak akan bisa meledak."

Gereja tersebut tengah ramai dikunjungi oleh banyak jemaat. Abdul Hamid tersenyum bahagia ketika melihat banyaknya kerumunan. Drone itu meluncur ke bawah dan dia menekan tombol ledak.

"Bingo!" teriaknya.

Drone itu jatuh, namun tidak meledak. Seorang anggota Stasi yang berada di kerumunan jemaat, segera mengambil drone tersebut, dan membantingnya hingga hancur. Setelah itu, dia lalu membuangnya ke tempat sampah.

Abdul Hamid membanting remot drone miliknya dan mengumpat kesal.

"Sial! Sial! Sial! Kenapa harus gagal?"

"Gagal kenapa?" tanya Maria yang secara tiba-tiba muncul di belakangnya sambil menodongkan pedangnya. "Gagal membom gereja, maksudku."

"Jika iya kenapa, hah!"

Dia lalu menyerang Maria dengan sepasang pisau tersembunyi yang ada dibalik kedua tangannya. Mereka berdua bertarung di tengah keramaian. Maria menghindari serangan dari Abdul Hamid. Namun Lelaki Turki itu segera berlari ke arah seorang Perempuan yang tengah menggendong anaknya dan menodongkan Hidden Blade ke arah lehernya.

"Turunkan senjatamu, atau Perempuan ini akan mati!"

Abdul Hamid perlahan mundur sambil mengancam perempuan yang ketakutan tersebut.

"Freezing Time," ujar Maria.

Seketika aliran waktu mendadak berhenti selama beberapa detik. Perempuan itu bergerak dengan cepat dan membanting tubuh Abdul Hamid. Setelah itu, Maria mematahkan kedua tangan dan kedua kaki musuhnya. Maria menyumpal mulut musuhnya dengan lakban yang secara kebetulan dia bawa.

Waktu pun kembali normal seperti sedia kala. Abdul Hamid menggerutu kesakitan ketika dia telah sadar bahwa kedua tangan dan kakinya telah dipatahkan oleh Maria.

Dua orang sipil yang merupakan anggota Stasi segera menghampirinya dan menangkapnya. Mereka lalu membawa lelaki Turki itu untuk diinterogasi.

.

.

Kanselir Wolfgang memukul tembok ketika dia tahu bahwa seorang anggota Grey Wolves yang dia sewa untuk melakukan aksi teror ditangkap oleh Stasi. Pemerintah Prussia mempublikasi aksi teror yang gagal tersebut dan menekan pemerintah Bavaria untuk segera memenuhi tuntutan Prussia.

Kanselir Wolfgang juga mendapatkan tuntutan dari para keluarga ketiga Pilot TSF Angkatan Udara Bavaria yang ditahan oleh Pemerintah Prussia.

Untuk menjaga pamornya dan wibawanya. Akhirnya Pemerintah Bavaria memenuhi tuntutan Prussia. Ketiga Pilot tersebut dibebaskan dan pulang kembali ke negara asalnya dan disambut oleh Keluarga mereka di Bandara Muenchen.

Maria yang tengah menonton berita di Televisi bergumam, "Sepertinya kawasan sungai Rhine akan memanas."