"Aku tak peduli kau berbicara dengan siapa, aku tidak mau tahu dan aku juga tahu dengar." Jawab Karenina ketus.
"OK, bagus kalau begitu, kau cukup yakin dan percaya padaku, apa yang aku katakana padamu tadi bukanlah sebuah kebohongan, aku mencintaimu."
"Hm." Jawab Karenina singkat lalu menyeruput coklat hangat miliknya.
"Ayo makan, aku sudah lapar." Kata Alfredo, lalu seperti biasa Karenina mengambilkan nasi beserta lauk pauknya ke atas piring Alfredo.
"Terimakasih."
"Hm."
"Aku pulang besok pagi menjelang subuh."
"Apa tak bisa kau berhenti saja jadi DJ di club malam, aku menghawatirkanmu."
"Kita sudah membahas hal ini Alfredo, jika kamu lupa dan kamu juga sudah menyetujuinya. Ingat?" Kata Karenina sambil menoleh pada Alfredo.
Alfredo manrik nafas panjang, lalau mengangguk pasrah. "Aku akan ikut bersamamu."
"Kenapa?"
"Aku tak mau sesuatu terjadi denganmu,"
"Tidak aka nada yang terjadi denganku."
"Aku tak perduli pokoknya aku harus ikut."
"Baiklah terserah padamu saja, asal kau jangan mengangguku saat bekerja, OK?"
"Oke Nyonya Alfredo."
"Kita belum menikah." Kata Karenina dengan ketus.
"Besok siang kita menikah." Ucap Alfredo singkat tap imampu membuat Karenina langsnung tersedak minumannya.
"Uhuk…uhuk…"
Alfredo langsung bangkit lalu menepuk pelan pundak Karenina, "Tak perlu terburu-buru, atau aku terlalu mengagetkanmu?"
Karenina mengeleng, lalu menyuruh Alfredo duduk kembali, "Lanjutkan makanmu."
"Kau pandai memasak Karen, aku suka, setelah menikah kau ingin tinggal dimana? Aku sudah membeli sebuah rumah untuk kita, jika kau tidak keberatan, atau kau ingin kita tetap tinggal disini juga tidak masalah. Aku akan mengikuti kemauanmu." Kata Alfredo sambil mengunyah makanannya. Karenina hanya terdiam namun matanya menatap pada Alfredo, tanda ia menyimak apa yang di sampaikan oleh laki-laki itu.
"Kita tinggal disini saja, ini rumah orang tuaku aku mereka selalu di dekatku saat aku berada di rumah ini."
Alfredo menatap Karenina dengan tersenyum tipis, lalu mengangguk setuju, "Aku hanya ingin kau merasa nyaman."
"Terimakasih."
"Jam berapa kau berangkat ke club nanti?"
"Jam 10 malam."
"Baiklah, aku ikut denganmu."
"Kau bercanda?"
"Aku tidak pernah bercanda jika itu menyangkut dirimu calon istri. Aku tak ingin sesuatu terjadi padamu, aku tak suka laki-laki hidung belang menatap tubuhmu dengan tatapan lapar."
Karenina menghabiskan coklat hangatnya lalu menjawab ucapan Alfredo, "Baiklah terserah dirimu saja." Karenina bangkit lalu mengambil piring yang tadi digunakan oleh Alfredo lalu mencucinya.
Alfredo duduk di sofa depan televise sambil menonton berita terkini, selang sepuluh menit Karenina ikut duduk di samping Alfredo sambil membawakan buah pepaya yang sudah dipotong kecil-kecil, lalu menyodorkannya pada Alfredo.
Alfredo menoleh, lalu mengambil sendok garpu yang di berikan oleh Karenina lengkap dengan sepotong papaya di atasnya.
"Terimakasih." Ucap Alfredo sambil tersenyum.
"Hm." Jawab Karenina dengan tatapan mata yang tertuju pada layar televise.
"Sungguh kasian, mereka mau berobat saja harus berjalan sejauh itu, bagaimana kalau ada perempuan yang akan melahirkan? Kan kasian." Ujar Karenina saat melihat berita di televisi yang mengulas tentang minimnya sarana kesehatan di sebuah pulau.
Alfredo menoleh pada Karenina, terlihat wajah serius Karenina saat melihat berita di televisi, lalu dia tersenyum.
"Kalau begitu bangun saja rumah sakit disana, bereskan?" Ucap Alfredo lalu mengambil satu potong buah papaya dengan sendok garpu.
"Aku tidak punya uang sebanyak itu."
"Bahkan kau punya calon suami yang kaya raya."
Karenina menoleh pada Alfredo lalu berkata, "Untuk menyuruhmu tidak mengusur panti asuhan saja kau minta aku menjadi istri kedua mu? Lalu sekarang apa yang kamu inginkan dariku untuk pembangunan sebuah rumah sakit di daerah terpencil, yang membutuhkan uang milyaran."
Sekarang giliran Alfredo yang menatap penuh pada sosok Karenina, sosok gadis yang membuatnya jatuh cinta hanya pada pandangan pertama, di kala itu, ya waktu itu yang membuat Alfredo langsung jatuh cinta padanya.
"Hidup tak hanya persoalan untung dan rugi." Lalu Alfredo menarik nafas panjang.
"Lalu kenapa aku harus menjadi istri keduamu hanya untuk sebuah panti kalau hidup tak hanya persoalan untung dan rugi?"
"Karena kamu milikku."
"Atas dasar apa?"
"Ini." Alfredo meletakkan telapak tangan Karenina di dadanya. Terasa detak jantung Alfredo yang berdetak teratur, Keduanya saling tatap selama beberapa menit hingga Karenina menarik tangannya dengan kasar dari dada Alfredo.
Alfredo tersenyum kecil lalu kembali berbicara, "Ngomong-ngomong kau ingin mahar apa untuk pernikahan kita besok?"
Karenina tampak berpikir sejenak, lalu kembali menoleh pada Alfredo, "Rumah sakit di daerah terpencil tadi." Ucapnya dengan dingin tanpa senyuman sedikitpun.
"Aku kabulkan." Ucap Alfredo, Sontak Karenina langsung melotot tak percaya karena sejujurnya dia tak pernah peduli tentang mahar, dia hanya menguji Alfredo saja, namun tak disangka bahkan Alfredo tak perlu berpikir lama untuk menyetujui permintaannya.
"Kamu serius?"
"Kamu pikir aku sedang bercanda?"
"Tapi untuk membangun rumah sakit itu sangat mahal, dananya bahkan__" telunjuk Alfredo menghentikan bibir Karenina yang hendak melanjutkan ucapannya.
"Tidak selamanya hidup itu hanya tentang persoalan untung dan rugi."
"Al.."
"Aku harus menelpon seseorang agar apa yang kau inginkan segera terlaksana." Alfredo lantas mengambil ponselnya di kantong celana, lalu Ia menekan nama seseorang hingga tak berapa lama tersambung dengan orang yang Ia hubungi.
"Hallo, Frans."
"Hallo Alfredo." Jawab Frans seorang anak buahnya yang menjadi kepala cabang perusahaannya di pulau yang di tuju Karenina untuk pembangunan rumah sakit.
"Tolong segera cari lokasi untuk pembangunan rumah sakit di daerah pedalaman Kalimantan, nanti daerah pastinya akan aku kirim."
"Kenapa tiba-tiba kau ingin berinvestasi di daerah terpencil?"
"jangan banyak Tanya, lakukan saja apa yang aku perintahkan."
"Baik lah Al."
"Bagus, Terimakasih Frans, maaf menganggumu malam-malam begini."
"Tidak masalah."
"Selamat malam."
"Malam Al."
"Siapa itu Frans?" Tanya Karenina.
"Dia adalah sahabat lamaku, dan sekaligus pimpinan cabang perusahaanku di Kalimantan." Ujar Alfredo lalu mengusap kepala Karenina dengan sayang.
"Al aku_"
"Semua untukmu, kamu jangan khawatir, aku takkan miskin hanya karena uang beberapa milyar."
"Dasar sombong." Cibir Karenina.
Alfredo tertawa terbahak, "Kau baru menyadari kalau aku sombong?"
"Bahkan sejak pertama bertemu denganmu aku sudah tahu jika kamu itu memang sombong."
"Kenapa baru mengatakannya sekarang?"
"Terlalu malas untuk berdebat denganmu."
"Tapi aku suka berdebat denganmu."
"Membuang waktu."
"Tapi aku senang membuang waktuku denganmu."
Karenina menyandarkan kepalanya di sofa sambil memutar bola matanya malas.
"Kau juga seorang perayu."
"Itu hobbiku merayumu."
"Hanya aku?"
"Tentu saja."
"Bagaimana dengan istrimu."
"Jangan kau sebut dia saat aku bersama mu."
"Aku tak mengerti jalan pikiranmu."
"Suatu saat kau tak hanya akan mengerti jalan pikiranku, kau bahkan akan memahami hati dan jiwaku."
"Aku bisa pastikan jika nilai ulangan bahasa Indonesia mu saat bersekolah dulu pasti selalu mendapat nilai 100."
Alfredo tertawa terbahak lalu mencubit hidung mancung Karenina.