Masa orientasi mahasiswa baru hari ini telah memasuki hari ketiga, lucu juga ia harus mengulangi kejadian sepuluh tahun yang lalu, saat Rania masih muda dengan jilbab di kuncir.
Saat ini di masa pandemi ini, mahasiswa tidak harus hadir di kampus, pengenalan kampus, pengenalan fasilitas, pengenalan mata kuliah semua dilakukan dengan zoom video.
Hari pertama dan hari kedua berjalan biasa-biasa saja.
Menginjak hari ketiga, mahasiswa baru boleh hadir dengan memperhatikan protokol kesehatan, bermasker dan duduk berjarak.
Mungkin Rania datang terlalu pagi hingga ia harus menunggu di tepian kolam kecil, bersandar di ujung gazebo yang berdiri tunggal.
Hingga kemudian ia melihat segerombolan mahasiswi dengan baju atasan hitam dan bawahan putih.
Rania melangkah menuju ruangan yang telah disiapkan. Ia ikuti langkah gerombolan mahasiswi tadi. Deretan bangku berjajar dengan jarak kurang lebih setengah meter.
Ada meja panjang menghadap tepat di barisan bangku untuk para mahasiswa baru.
Meja itu diberi alas berwarna merah hati. Ada ornamen vas bunga kristal juga bunga mawar putih mekar. Dua yang mekar berada di kanan kiri, ditengahnya yang masih kuncup. Ornamen tersebut menambah indah suasana.
Hingga mata bulat Rania tertuju pada sebuah sosok yang sangat dikenalnya.
Rania menuju sosok tersebut dengan tatap mantap.
"Selamat pagi Bapak, " Suara Rania ketika matanya bertabrakan dengan mata dosen tampan yang sudah ia kenal sejak lima tahun yang lalu. Dosen ini yang dulu menyuruh Rania untuk kuliah tanpa biaya. Dosen ini yang dulu iba dengan nasibnya, meski ia juga berniat untuk mencicipi manisnya asmara yang menggeliat di tenda lelakinya.
Dosen ganteng yang usianya hampir purna itu terkejut.
"Kamu, ?"
"Inggih,"
"Rani kan ?"
"Betul, "
Rania tersenyum, manis semanis gula Jawa.
"Iya, ini Rania, pak. Rania yang dulu kumal dan dekil."
"Sekarang lebih matang, cantik dan dewasa.'
Suara dosen tersebut memuji. Mungkin ia tidak menyangka akan bertemu Rania disini, di tempat ini.
Mungkin juga ia merasa ada memori yang datang dan pergi menyapa ingatannya, membuatnya tersenyum sendiri sambil sesekali menatap mahasiswa baru yang lalu lalang memenuhi ruangan. Juga beberapa panitia yang sedang sibuk mempersiapkan tempat berlangsungnya masa orientasi mahasiswa baru.
Nampak beliau mendekati tempat duduk Rania. "Nanti temui aku ya, " suaranya memastikan.
"InsyaAllah, "
"Ini nomer Wa ku,"
"Rania sudah punya, pak."
"Oh ya ?"
"Iya pak,"
"Okelah "
Dosen itu berlalu. Meninggalkan ruang orientasi mahasiswa baru sambil bersenandung tembang kenangan. Langkah ringannya menyusuri tangga biru menuju ruangan para dosen terlihat sangat tegap, sambil ia sesekali membenahi letak jasnya yang tidak rata.
"Tenang saja pak, bapak masih tampan dan berwibawa meski berpakaian seadanya. " suara itu pernah membuat jiwa lelakinya terusik.
Lima tahun yang lalu. Dan kini pemilik suara yang sempat mengusik itu berada di dekatnya.
Ia sangat terpesona, tidak menyangka taqdir akan bermain-main dengan dirinya.
Dosen itu, pak Yuda, ia tahu misi Rania datang kemari.
Bukan dirinya target yang dimaksud Rania. Ada yang lain, ada yang sedang diincar oleh Rania, dan boleh jadi ini adalah bagian dari pembalasan dendam.
Ia yakin, insting hukum yang ia asah setiap hari bermain-main lincah di telinganya.
Ia tahu kemana arah Rania menuju dan ia hanya akan jadi pemirsa dalam permainan ini, boleh jadi dirinya akan jadi figuran atau bahkan jadi pemeran protagonis yang bersahabat dengan pemeran utama. Entahlah.
Acara penutupan masa orientasi pun berlangsung. Rangkaian acara yang sudah ditata rapi terlewati.
Panitia begitu pandai mengemas acara hingga membuat para mahasiswa baru terkesan.
Rania duduk dibarisan paling depan namun memilih tempat di ujung agar dirinya bisa memantau keadaan dan mengikuti jalannya kegiatan hingga tuntas tanpa perlu takut berjumpa wajah-wajah yang mengenalnya.
Rania, menatap satu persatu wajah panitia dan beberapa dosen muda yang duduk di hadapannya.
Rupanya memang sudah dipersiapkan bahwa acara penampilan dosen ini di lalui dengan menampilkan dosen ganteng dan cantik untuk memunculkan minat dan semangat mahasiswa baru.
Ini bagian dari trik sebuah pelayanan dan diakui oleh Rania trik mereka berhasil.
Rania yang menikmati sajian mereka kadang tertawa lepas, kadang tersenyum kadang juga terbelalak. Mereka demikian atraktif. Seperti sudah terlatih.
"Oke, kita tutup acara orientasi mahasiswa baru ini dengan doa."
Rania terkejut, ia melihat jam tangan merk rolex yang melingkar di pergelangan tangan mungilnya.
Pukul 14.00 WITA
Ia ingat akan janjinya pada pak Yuda. Dosen tampan yang tadi mendekatinya.
Usai acara ditutup, Rania pun menuju ruangan pak Yuda.
Masih yang dulu kah ? atau sudah berubah. Rania melangkah saja. Toh. nanti bisa tanya bila telah sampai disana.
Rania tersenyum manis, sangat manis sambil menunggu episode selanjutnya.
******
Pagi itu di kampus nya,
Usai acara panjang dan pertunjukan beberapa dosen tampan juga cantik yang ditampilkan acara ditutup. Rapi dan bagus sekali panitia mengemas acara tersebut.
Rania menuju ruangan yang dulu pernah ia lewati, ia melewati jalan panjang beraspal, memasuki pintu lebar dan ruangan besar. Ada ruangan penerima tamu disana, semacam customer care atau customer servis, Rania tiba-tiba seperti mengingat sesuatu. Ia seperti terbang pada peristiwa menyakitkan lima tahun yang lalu.
Di ruangan ini ia pernah meminta belas kasih dari seseorang yang pernah ia anggap suami. Di ruangan ini ia pernah mengemis demi kesamaan hak yang ia sandang dan di ruangan itu ia pernah menjadi pembohong demi rasa iri dan dengki nya.
Ia pernah harus melewati tangga biru yang masih saja bercat biru ini dengan hati yang sangat hancur.
Ketika kedatangannya malah menemui jalan buntu.
Padahal saat itu ia dalam keadaan haus dan lapar. Ia ditinggal sembunyi entah dengan maksud apa.
Saat itu Rania menikah dengan salah satu dosen di kampus ini. Menikah dan disembunyikan. Rania mau saja karena ia berharap hidupnya akan tertolong.
Tapi ternyata tidak. Lelaki itu menikahinya bukan untuk membangun keluarga sakinah melewati jalan Tuhan dengan kebenaran namun hanya karena ingin dianggap jantan dan berhasil, itu saja.
Hal itu terbukti dari perilaku buruk sang dosen. Rania tahu, tidak semua dosen di kampus ini berbuat tidak baik seperti lelaki yang pernah jadi suaminya. Seandainya pun ada itu tak lebih dari oknum saja.
Hari itu Rania menangis di ruangan pak Yuda. Tubuhnya bergetar dan ia pun terisak-isak.
"Sudahlah Ran, jangan menangis. Biar Tuhan yang membalas semua tingkah laku buruknya."
Rania masih terisak ketika ia menerima genggaman pak Yuda. Uang kertas berwarna merah terlipat diantara jemarinya.
"Ini untuk apa?" suara Rania parau.
"Kamu membutuhkannya,"
"Bukan hanya ini," Rania terisak lagi.
"Aku tahu, tapi lawan mu itu orang kuat. Kamu harus jadi kuat dulu baru melawan."
Rania mulai faham.
"Rani butuh sikap tegas dan tanggung jawab mas,"
"Aku tahu, tapi saat ini keinginanmu hanya akan jadi sampah Rania."
"Apapun alasannya kamu telah sepakat nikah di bawah tangan, iya kan ?"
Rania mengangguk-angguk.
"Kesepakatan itu adalah dasar dari terbentuknya sebuah kejadian dengan asas suka sama suka. Kamu tidak bisa menuntut lebih karena dari awal kamu telah sepakat. Pulanglah, tenangkan dirimu, fikirkan langkah selanjutnya. Semoga uang di tangan mu cukup."
Kenangan itu kembali tergores dari tinta kecil ingatan Rania dalam kanvas kehidupannya.
Ia tepiskan kenangan buruk itu, ia usap seluruh peluh yang menggantung di hatinya. ia bereskan duka yang bersemayam dilantai-lantai fikirannya. Ia harus hadir sebagai wanita bersih.
Masa lalu itu tidak boleh terungkap hari ini, masih terlalu dini, episodenya belum tuntas, belum selesai.
Ia ingin menikmati rasa sakitnya sedikit demi sedikit. Ia ingin merasakan perihnya luka itu sedikit demi sedikit.
Lima tahun bukan waktu yang sebentar dan ia ingin berbagi kepedihan itu. Ia ingin membaginya, ia ingin menghabiskannya selama masa kuliah nya berlangsung. Ia ingin lelaki yang pernah menikahinya kemudian mencampakkan nya merasakan deritanya, derita yang sama yang dirasakan Rania.
Bukan hari ini terlalu dini.
Highills nya menapaki tangga biru itu, melangkah ia, sesekali matanya bersirobok pandang dengan beberapa dosen yang lalu lalang. Ia hanya mengulum senyum.
Rania Maya sari.
Begitu nama nya pernah terkenal di sini.
Di tikungan tangga pertama, wajah itu, kacamata minus dan rambut ikal itu. Ia pernah mengenalinya. Mereka berpandangan sesaat.
Kemudian Rania meninggalkan wajah itu terbengong, entah karena ingat atau karena terpana pada wajah cantik Rania.
"Rani kah ?" tanya suara itu, namun Rania melenggang begitu saja. Ia tinggalkan lelaki itu dengan berbagai pertanyaan dan kenangan.
'Mungkinkah itu Rania, wanita yang dulu pernah jadi istrinya. Wajahnya memang lebih halus namun guratnya terasa sama. Cara menatapnya, cara berjalannya semua sama. Meskipun kulit wajahnya jauh lebih halus dari kulit wajah yang ia kenal dulu. Rania mantan istrinya, wajahnya sama persis dengan wajah yang tadi melintas.
Dulu kah ? mantan istri kah ? bukankah ia sama sekali tidak pernah mengucapkan kalimat talak pada wanita itu. Wanita ke dua yang sungguh pernah mengoyak lazuardi lelakinya.
Bila benar itu Rania yang dulu pernah menjadi istrinya maka ia masih punya hak penuh atas diri wanita itu, suara batin pak dosen menggumam. Menggelitik boneka kayu hingga menimbulkan keajaiban tercipta, boneka kayu itu bisa tertawa. Saking lucunya kalimat yang baru saja ia dengar.
Dan sebagai lelaki mapan ia punya ambisi untuk menjadi menang apapun cara dan hasilnya, ia tidak akan mau kalah.
'Tapi mungkinkah itu Rania ?'
'Mungkin ia hanya bermimpi' bukankah Rania jauh sekali, Rania tidak disini dan tidak mungkin itu Rania, wanitanya dulu. Wanita itu terlalu sempurna, tak sebanding dengan Rania nya.
'Mungkin hanya sedikit sama' lelaki itu menepis rasa ingin tahunya.
Ia pun pergi meninggalkan tangga biru itu dengan kenangan. Tangga biru ini pernah jadi saksi jutaan cinta yang menempel di sana. Tangga biru yang hari ini masih biru.
Sebiru rindu yang sebenarnya demikian besar pada Ranianya, hanya saja rindu itu menjadi bersekat-sekat karena kebodohannya. Pak dosen kembali menggerutu. Pertemuan yang baru saja terjadi demikian meresahkan hatinya.
LAGU UNTUK SEBUAH NAMA
Ebiet G Ade
Mengapa jiwaku mesti bergetar
Sedang musikpun manis kudengar
Mungkin karena kulihat lagi
Lentik bulu matamu, bibirmu
Dan rambutmu yang kau biarkan
Jatuh bergerai di keningmu
Makin mengajakku terpana
Kau goreskan gita cinta
Mengapa aku mesti duduk di sini
Sedang kau tepat di depanku
Mestinya aku berdiri berjalan ke depanmu
Kusapa, dan kunikmati wajahmu
Atau kuisyaratkan cinta
Tapi semua tak kulakukan
Kata orang cinta mesti berkorban
Mengapa dadaku mesti bergoncang
Bila kusebutkan namamu
Sedang kau diciptakan bukanlah untukku
Itu pasti tapi aku tak mau perduli
Sebab cinta bukan mesti bersatu
Biar kucumbui bayanganmu
Dan kusandarkan harapanku
Jatuh berderai dikeningmu