"Lagi-lagi, surat ancaman untuk, Bu Amara. Rupanya Larasati benar-benar sangat dendam dengan, Bu Amara," tukas Larisa sambil memeluk buku diary itu.
Lalu dia pun meraih segelas air putih yang di taruh di meja dekat tempat tidurnya.
Glek... glek....
"Huh, apa yang harus aku lakukan, kalau aku bilang ke Bu Amara, pasti dia tidak akan percaya, dan dia akan semakin membenciku,"
Larisa tampak kebingungan, malamnya yang tenang berubah menjadi gusar. Setelah mimpi itu, dia tidak bisa tidur lagi. Dan terus-terusan memikirkan surat yang baru saja dia dapat.
***
Dan tak terasa malam pun sudah berganti pagi.
"Huh... aku sampai tidak bisa tidur semalaman, coba lihat mata panda ku," tukasnya sambil bercermin dengan handuk yang melingkar di kepalanya.
"Harusnya sehabis mandi merasa segar, tapi aku malah merasa ingin tidur kembali. Semua gara-gara surat itu. Huh, mata panda ku...!" gerutunya, sambil meraih concealer di meja rias.
"Semua demi kehidupan sekolahku, agar tetap baik-baik saja. Dan aku terpaksa belajar tentang hal yang tidak begitu kusukai. Tapi semua tidak terlalu buruk, karna mungkin ada baiknya jika tampil cantik di depan orang agar orang mau menghargai ku,"
Sambil memulas kuas bedak di wajahnya Larisa melirik kearah buku diary yang masih ada selipan surat di dalamnya.
"Apa, yang harus aku lakukan? seorang pecundang sepertiku apakah bisa menjadi seorang pahlawan? mana mungkin Bu Amara mau mendengarkan ku?"
Krompyang!
Terdengar suara benda jatuh dari luar, dan Larisa pun langsung menaruh kuas bedaknya lalu membuka pintu kamarnya.
Ceklek!
"Ada apa, Bu?" tanya Larisa.
"Ibu menjatuhkan nampan stainless itu, bersama gelas-gelasnya. Semua gara-gara ibu sedang buru-buru, Nak!" sahut Ibunya.
"Oh, begitu, yasudah Ibu pergi saja, nanti biar Larisa yang membereskannya," tukas Larisa.
"Ah, iya terima kasih Larisa."
Larisa mengangguk dan Ibunya pun berlalu pergi.
Dengan berpakaian seragam sekolah yang hampir lengkap, Larisa terpaksa membereskan gelas-gelas pecah itu.
Setelah selesai merapikan gelas-gelasnya Larisa pun mengambil alat pel-pelan dan mengepel ruangan itu.
Tapi belum selesai, ibunya malah sudah datang.
"Ya, ampun Larisa maaf ya, gara-gara Ibu kamu jadi kotor lagi," tukas Ibunya.
"Ah, tidak masalah, Bu. Tinggal cuci tangan saja. Lagi pula ini masih terlalu pagi untuk berangkat ke sekolah." sahut Larisa.
"Yasudah kalau begitu, biar Ibu yang melanjutkan. Kamu cuci tangan dan sarapan saja," suruh Ibunya.
"Baik, Bu." Larisa memberikan alat pel-pelan itu ke Ibunya.
"Tadi Ibu habis dari mana? kenapa kelihatannya buru-buru sekali?"
"Oh, Ibu habis dari rumah Bu Rita. Ibu memberitahu beliau bahwa, hewan peliharaannya merusak tanaman milik Bu Rossa tetangga samping rumah kita. Jadi Ibu menyuruh beliau agar segera meminta maaf, karna kalau tidak Bu Rossa pasti akan marah besar. Karna Bu Rosa paling tidak suka jika ada yang merusak tanaman hiasnya apa lagi tidak bertanggung jawab, bahkan hewan peliharaan sekali pun." Jelas ibunya Larisa.
"Tapi, itu kan bukan urusan Ibu, kenapa Ibu harus sekhawatir itu?" tanya Larisa keheranan.
Dan dengan santai Ibunya pun menjelaskan alasannya.
"Mereka itu adalah tetangga kita, ibu tidak ingin mereka bertengkar karna tidak mengerti satu sama lain. Dan berhubung Ibu sudah tahu sifat Bu Rossa, maka Ibu harus memberitahu kepada Bu Rita, agar beliau segera meminta maaf. Bu Rossa membenci orang yang tidak memilik itikad baik."
"Tapi, Bu. Memangnya Bu Rita mau mendengarkan Ibu? dia kan orangnya sangat sombong dan angkuh!"
"Ibu tidak peduli, Nak. Perkara beliau mau mendengarkan Ibu atau tidak, yang terpenting Ibu sudah mengingatkannya, karna masa iya, kita akan membiarkan hal buruk terjadi kepada orang yang kita kenal, padahal kita tahu jika kejadian buruk itu akan terjadi kepadanya. Sementara kita, malah terdiam acuh hanya karna takut tidak di dengar atau takut tidak di hargai?" jelas Ibunya Larisa.
Dan mendengar ucapan sang Ibu, akhirnya Larisa tahu apa yang harus dia lakukan saat ini.
Dia memutuskan akan memberitahu semuanya kepada Bu Amara. Perkara beliau mau mendengarnya atau tidak. Larisa tidak peduli, yang terpenting dia sudah mengatakannya.
Dia sudah merasa cukup menjadi seorang pecundang yang tak mau melawan meski tahu dia sedang di bully. Dan karna hal itu membuatnya tidak mau menjadi pecundang lagi karna diam saja melihat nyawa orang dalam bahaya, hanya karna rasa takut, tidak di dengar.
"Yah, aku tahu apa yang harus akan aku lakukan." Tegas Larisa.
"Tahu apa?" tanya Ibunya.
"Ah, tidak. Terima kasih ya, Bu!"
Larisa langsung masuk kedalam kamarnya dan meraih tas gendongnya, lalu bersiap-siap pergi ke sekolah.
"Bu, Larisa berangkat dulu ya," tukasnya sambil mencium punggung tangan sang Ibu.
***
Sesampainya di sekolah, Larisa bertemu dengan Audrey dan dua temannya.
Ketiga sekawan itu sudah mulai masuk sekolah hari ini.
Tapi Audrey masih menggunakan bantuan tongkat untuk berjalan, karna kakinya belum sembuh total, akibat cedera jatuh dari tangga waktu itu.
Mereka bertiga menatap Larisa dengan tatapan tajam, tapi mereka tidak berani melakukan apa pun, karna mereka takut hal buruk akan terjadi lagi kepada mereka.
Sementara, Larisa malah masih ketakutan, dia takut jika Audrey akan membalas dendam kepadanya.
Larisa kembali berjalan menunduk seperti biasanya.
"Hey! Larisa!" teriak Alex memanggilnya.
Larisa pun menengok kearahnya.
"Alex...,"
"Masuk ke kelasnya bareng yuk!" tukas Alex sambil merangkul pundak Larisa.
Dan melihat hal itu membuat Audrey menjadi semakin geram, dia begitu cemburu dengan Larisa.
"Sial! si Cupu itu sudah mengambil Alex dariku!" gerutunya dengan mata melotot.
"Sabar, ya Beib!" tukas Sisi dan Nana yang serempak menenangkan Audrey.
***
"Alex, aku boleh minta tolong tidak?" tanya Larisa.
"Tolong? tolong apa?"
"Antar aku bertemu, Bu Amara,"
"Hah, mau apa?!"
"Ada sesuatu yang harus ku katakan kepadanya, tapi jujur aku takut jika hanya sendirian menemuinya," tutur Larisa.
"Ah, baiklah. Aku akan mengantarmu ke sana," jawab Alex.
"Terima kasih Alex."
Alex mengangguk.
Dan saat Larisa dan juga Alex hendak masuk kedalam ruangan Bu Amara.
Beliau malah tidak ada di tempatnya. Rupanya hari ini Bu Amara sedang cuti.
"Wah, masa iya kita harus ke rumahnya?" tukas Larisa.
"Hah! untuk apa kita menemui kepala sekolah galak itu?!" tanya Alex.
"Pokoknya penting, Lex. Ini masalah hidup dan matinya. Ini tentang dia dan Larasati." Jelas Larisa.
"Larasati, bilang apa? ingin membunuhnya?"
"Iya, tapi Bu Amara masih ada harapan selamat, jika beliau mau mengakui semuanya."
"Tapi, tidak mungkin, Larisa! dia itu sangat sombong dan ambisius, mana mungkin dia mau mengakui semua perbuatan di masa lalunya?! itu sama saja dia bunuh diri!"
"Kita, coba saja, Alex. Masa iya kita akan membiarkan Bu Amara mati begitu saja. Kita bicara saja, perkara dia mau mendengar atau tidak yang terpenting kita sudah berusaha memberitahunya."
"Larisa, Larisa! kamu itu terlalu baik!" cantas Alex.
"Aku, mohon, Lex. Bantu aku ya," tukas Larisa memelas.
To be continued