Akhirnya sepulangnya dari sekolah Alex dan Larisa pergi ke rumah Bu Amara.
"Jadi ini rumahnya? tidak salah alamat, 'kan?" tanya Larisa.
"Iya benar. Memang ini rumahnya." Jawab Alex.
Dan mereka berdua pun mulai memasuki gerbang rumah Bu Amara.
Dan setelah itu mulai menekan tombol belnya.
Tak berselang lama, pintu pun di buka dan Bu Amara sendiri yang membukakan Pintu itu.
"Selamat siang, Bu Amara," sapa Alex dengan sopan.
Sementara Larisa pun hanya menunduk, karna merasa sapaannya susah di wakili oleh Alex.
"Loh, kalian ada perlu apa datang kemari?" tanya Bu Amara.
"Anu, Bu, kami...."
"Larisa ingin memberitahu sesuatu kepada Bu Amara," kata Alex menyela pembicaraan mereka.
"Yasudah, ayo masuk ke dalam." Tukas Amara.
***
Dan setelah duduk sambil menyeruput teh hangat, Larisa dan Alex mulai bercerita kepada kepala sekolah mereka itu.
"Larisa," Alex menyikut pelan Larisa, untuk memberi kode agar Larisa mengeluarkan buku diary dan surat itu.
"Bu, i-ini." Tukas Larisa sambil menyodorkan bukunya.
"Apa itu?" tanya Bu Amara.
"Itu, buku diary Larasati, dan di dalamnya ada surat ancaman yang di tujukan kepada Bu Amara." Jelas Larisa.
"Hah, apa?! dari mana kalian bisa mendapatkan buku diary itu?!" tanya Bu Amara dengan ekspresi kagetnya.
"Maaf, Bu. Tapi kami tidak bisa memberitahu dari mana kami mendapatkannya, dan sebaiknya Bu Mara membaca sendiri tulisan surat itu." Kata Alex.
Dan Bu Amra pun membaca surat itu, tapi dia sama sekali tidak merasa kaget. Karna sebelumnya dia juga sudah pernah mendapatkan surat ancaman seperti itu.
"Surat bodoh ini lagi! dia pikir bisa menakut-nakuti ku dengan surat bodohnya ini!" Bu Amara langsung berdiri dan menyobek-nyobek surat itu.
"Bu, jangan di sobek!" teriak Larisa.
"Sama sekali aku tidak takut! bahkan walau dia sudah menjadi setan sekalipun!" tegas Bu Amara.
"Tapi, Bu. Larasati tidak main-main, bahkan dialah yang sudah membunuh Santi," jelas Larisa.
"Huh, aku tidak peduli, selamanya rahasia ini akan tetap aku simpan bahkan sampai aku mati. Karna aku tidak sudi masuk penjara hanya karna perbuatan kekanakan ku dimasa lalu!" tegas Amara.
"Kalau, begitu beri tahu kami, apa benar Bu Amara yang telah membunuh Larasati? dan jika memang benar, dimana Ibu membuang jasadnya? " tanya Alex.
"Wah, kalian berani menuduhku ya?! apa kalian benar-benar sangat ingin tahu siapa pembunuhnya? dan juga dimana mereka membuang jasadnya?" tanya Amara dengan nada menantang.
"Tentu saja Bu Amara, keluarga Larasati juga berhak tahu, dimana saat ini dia berada. Dan kalau pun sudah mati, setidaknya jasadnya harus dikubur dengan layak!" tegas Alex.
"Hey, kalian tidak usah mencari tahu yang bukan urusan kalian! dan aku tegaskan bahwa yang membubuh Larasati itu bukan aku. Jadi kalian sudah datang di tempat yang salah!"
"Baik, kami memang tidak punya bukti kalau Bu Amara, yang telah membunuh Larasati, tapi kami punya bukti kalau Bu Amara sudah membully Larasati, bahkan sampai membuatnya menjadi tuli!" tukas Alex lagi.
"Apa?! dari mana kalian bisa tahu tentang itu?!"
"Ini! dari buku ini!" Alex mengangkat buku diary itu, "bahkan Larasati, menuliskan pernah di dorong oleh Bu Amara dan Seruni, hingga menyebabkan dirinya keguguran!"
"Apa?! keguguran! kalian jangan mengada-ngada, saat itu dia masih seorang siswi berusia belasan tahun, mana mungkin dia hamil dan sampai keguguran?" Amara pun tampak bingung dan keheranan.
Amara benar-benar tidak tahu jika Larasati pernah hamil, karna Anton dan keguguran karna ulahnya beserta kawan-kawannya.
Lalu perlahan Larisa mendekat kearah Amara dan menceritakan apa saja yang sudah dia baca dari catatan diary Larasati itu. Karna Amara memang belum sempat membacanya, dia baru membaca suratnya saja.
"Bu, saya mohon, akui saja perbuatan Bu Amara terhadap Larasati dulu, dan minta maaflah kepadanya dan keluarganya. Karna perbuatan Ibu sudah kelewat batas, Bu Amara tidak tahu tentang masa Sulit dan betapa beratnya yang sudah di lewati Larasati dulu!" tutur Larisa.
"Hey! stop! memangnya siapa kamu itu? berani sekali menceramahiku. Aku tidak peduli dengan perempuan aneh itu, jadi lebih baik kalian pergi saja dari sini!" tegas Amara.
"Tolong, Bu Amara! dengarkan saya, ini semua juga demi kebaikan Ibu, jadi tolong dengarkan saya, akui semua dan tunjukkan dimana jasad Larasati. Supaya Larasati tenang dan Ibu selamat dari terornya!" mohon Larisa.
"Selamat macam apa kalau pada akhirnya aku masuk penjara?! Kalian ingin karirku hancur ya?!" tanya Amara dengan mata melotot tajam.
"Tapi, Bu Amara, apa itu tidak lebih baik dari pada nyawa Ibu terancam dan juga selamanya Bu Amara akan hidup dalam penyesalan?"
"Diam kalian! sebaiknya kalian pergi sekarang juga atau saya akan panggilkan petugas security, dan kamu Larisa!" Amara menunjuk Larisa, "pilih tetap bersekolah atau saya keluarkan?!" ancam Amara.
Akhirnya mereka berdua menyerah dan memilih untuk pulang.
Apalagi setelah mendengar ancaman Bu Amara yang akan mengeluarkan Larisa pun semakin membuat Larisa ketakutan.
Walaupun begitu, Larisa sangat menyayangkan sikap Amara yang masih saja kekeh tidak mau mengatakan yang sebenarnya. Padahal sebagai seorang kepala sekolah dan usianya sudah sangat matang.
Harusnya Amara menjadi pedoman sekaligus teladan bagi seluruh anak didiknya.
Tapi pada kenyataannya, dia malah masih rela merahasiakan perbuatan buruk yang pernah dia lakukan kepada teman sekelasnya dulu.
Bahkan dia pernah mencelakainya hingga membuat Larasati tuli, tapi tidak ada itikad baik untuk meminta maaf kepada keluarga Larasati, dan malah seolah menyembunyikannya begitu saja, serta menganggap itu semua adalah hal yang sepele.
Dia masih saja, menganggap gadis seperti Larisa dan Larasati itu adalah orang yang pantas untuk di bully.
Tak peduli dengan sestatusnya kini yang seorang kepala sekolah.
Yang harus menentang keras dan menghentikan tindakan itu.
Namun nyatanya malah dia membiarkannya begitu saja, padahal dia tahu jika selama ini Larisa sering di bully oleh Audrey dan kawan-kawannya.
Tapi dia seolah acuh.
Mungkin karna ibunya Audrey yang dulunya adalah sahabat karibnya, sehingga dia seolah tutup telinga dengan kabar pembullian yang di lakukan Audrey kepada Larisa.
***
"Larisa, kamu tidak apa-apa, 'kan?" tanya Alex.
Larisa menggelengkan kepalanya, "Tapi aku masih memikirkan nasib, Bu Amara, Lex!"
"Sudah biarkan saja, kita sudah mengingatkannya. Dan sekarang apa pun yang terjadi dengannya sudah bukan urusan kita lagi," tandas Alex.
***
Esok harinya, di depan gerbang sekolah.
"Eh, Seruni. Tumben kamu datang kemari," sapa Amara, kepada Seruni sahabat karibnya.
"Ah, iya aku sedang mengantarkan putriku." Jawab Seruni.
"Mau, mampir dan mengobrol di ruanganku, dulu?" tanya Amara.
"Ah, boleh, lagi pula hari ini aku sedang free!" jelas Seruni.
"Ok, kalo begitu, ayo kita minum teh bareng!" ajak Amara sambil menggandeng tangan Seruni.
Tapi baru saja memasuki ruangan Amara, Seruni tiba-tiba merasakan bulu kuduknya mulai merinding. Dan saat itu dia kembali teringat kejadian saat itu, dimana dia di serang oleh Larisa yang sedang di rasuki oleh arwah Larasati.
Dan ketika dia melihat di ruangan bagian dalam, tiba-tiba dia melihat sekelebat bayangan yang sangat mirip dengan Larasati.
Sontak hal itu membuat Seruni mengurungkan niatnya untuk masuk kedalam ruangan Amara.
"Maaf Amara, sepertinya aku tidak bisa mengobrol denganmu hari ini!" ucapnya sambil ketakutan.
"Hey, memangnya kenapa?!" tanya Amara.
"Dia, dia ada di sini!" tukas Seruni sambil berlalu pergi.
"Hey, tidak perlu takut aku punya i—" merogoh sesuatu di dalam sakunya.
"Lain kali saja!" teriak Seruni sambil berlari.
To be continued